Oleh: Naila Dhofarina S.Pd
Afghanistan, negara yang sedang hangat dibicarakan dunia paska deklarasi kemenangan Taliban. Mujahidin ini berhasil menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan.
Banyak negara besar berhasrat menguasai Afghanistan, namun mereka semua berakhir dengan kalah perang. Setelah hampir 20 tahun menjajah, AS mengikuti jejak para pendahulunya yaitu Inggris (Abad ke-19) dan Uni Soviet (1979—1989). Kepergian AS dari Afganistan adalah sebuah kekalahan—jika ditinjau dari tujuan awal perang tersebut. Presiden AS George W. Bush pada 2001 mengatakan tujuan AS adalah “untuk membubarkan basis operasi terorisme di Afganistan dan untuk mengalahkan rezim Taliban”.
Yang terjadi, sebelum angkat kaki, AS justru bernegosiasi panjang dengan Taliban yang kekuatannya makin kuat. Siapa pun yang mengamati Afganistan akan bisa melihat bahwa AS mulai serius merencanakan penarikannya dari Afganistan sejak 2010, sehingga dari situlah Amerika mulai bernegosiasi dengan para pemimpin senior Taliban.
Mengapa masih saja tidak ingin membiarkan Afghanistan?
Menurut Presiden Pusat Analisis dan Kajian Data (PKAD), Slamet Sugiono, jawabnya adalah karena Afganistan adalah negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah dan kekhawatiran munculnya kekuatan global Khilafah di sana.
Afganistan dikenal sebagai negara yang terkurung daratan (landlock). Wilayahnya didominasi pegunungan dan gersang. Namun, di balik itu semua, menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Pada 2010, Ahli geologi AS memperkirakan bahwa Afganistan memiliki kekayaan mineral hampir satu triliun dolar AS atau setara Rp14.000 triliun (kurs Rp14.000). (Kompas.com, 20/8/2021)
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Mass menegaskan bahwa sekutu AS akan berhenti menyediakan bantuan ke Afganistan jika Taliban mengambil alih kekuasaan di negara tersebut dengan menerapkan Khilafah. Karena menurutnya, Afganistan tidak akan bisa bertahan tanpa bantuan internasional.
“Kami tidak akan memberikan sepeser pun lagi ke Afganistan kalau Taliban mengambil alih semuanya, memberlakukan hukum syariat dan mengubah negara ini menjadi Khilafah,” katanya. (jppn.com, 13/8/2021)
Bagaimana di Indonesia?
Ternyata apa yang terjadi di Afghanistan menjadi bahan narasi untuk memonsterisasi Islam. Seperti yang dilansir dalam laman detiknews.com, 24/8/2021. Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri mengungkap adanya dampak terhadap Indonesia dari kemenangan kelompok Taliban setelah menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan. Polri menyebut kemenangan Taliban bisa memicu ketertarikan kelompok-kelompok radikal di Indonesia.
Bagi masyarakat yang obyektif akan menilai sepak terjang densus 88 dalam melancarkan programnya atas nama melawan terorisme, yang selalu saja menjadikan Islam sebagai sasaran.
Inilah bukti nyata perang global melawan teror tidak lain adalah perang melawan geliat penerapan syariat secara formal.
﴾ ۞ يٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظّٰلِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka. (Al Maidah 5:51)
Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google