View Full Version
Sabtu, 18 Sep 2021

Pejabat Menumpuk Harta, Disparitas Sosial Makin Nyata

 

Penulis:

Eresia Nindia Winata, S.T. || Ibu rumah tangga

 

LUPAKAN dulu data kelabu dari BPS tentang jumlah penduduk miskin di Indonesia yang mencapai angka 27.54 juta per Maret 2021 lalu. Lupakan juga bahwa Yusuf Rendy Manilet, Ekonom CORE Indonesia, mengatakan upaya penurunan rakyat miskin selama 10 tahun terakhir menjadi seolah sia-sia sejak COVID-19 menerkam Indonesia. Karena, masih ada tren yang meningkat selama pandemi selain angka pengangguran, apa itu? Harta pejabat. Ya, di tengah terpaan pandemi, kekayaan pejabat justru mengalami tren kenaikan signifikan.

 Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengungkapkan, terdapat kenaikan harta para pejabat sebesar 70 persen setelah pihaknya melakukan analisis terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama setahun terakhir. Pahala juga mengungkap, ada 58 persen menteri yang kekayaannya bertambah lebih dari Rp 1 miliar. Sementara, 26 persen menteri kekayaannya bertambah kurang dari Rp 1 miliar. Selain itu, 45 persen kekayaan anggota DPR bertambah lebih dari Rp 1 miliar, sementara 38 persen anggota dewan yang melaporkan kekayaannya bertambah kurang dari Rp 1 miliar. (merdeka.com, 09/09/2021)

Tidak hanya Menteri dan anggota DPR, Komisi Antirasuah juga mencatat kenaikan harta kekayaan pejabat daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Terdapat 30 persen gubernur dan wakil gubernur yang melaporkan kekayaannya bertambah di atas Rp 1 miliar. Sementara, 40 persen lainnya melaporkan kekayaannya bertambah kurang dari Rp 1 miliar. (kompas.com, 10/09/2021)

Setidaknya terdapat lima menteri dalam kabinet Jokowi yang mengalami kenaikan harta signifikan selama setahun terakhir. Pertama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dengan penambahan harta Rp 481 M, disusul Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar dengan kenaikan harta Rp 67.7 M, disusul Menhan Prabowo Subianto dengan penambahan harta Rp 23.3 M, nomor empat adalah Menteri Komunikasi Johnny G Plate dengan penambahan harta 17.7 M, terakhir nomor lima Menag Yaqut Cholil Qoumas yang kekayaannya bertambah lebih dari 1000 persen senilai Rp 10.2 M.

 

Ironi Disparitas Sosial

Di saat rakyat terpukul karena bisnisnya harus gulung tikar, belum lagi banyak yang dirumahkan, pejabat di atas sana justru memperkaya diri. Seharusnya bukan hanya audit kekayaan yang dilakukan, tapi juga mengusut dari mana sumber kekayaan itu berasal.

Karena kenaikan harta tak wajar sejak menjadi pejabat pemerintahan justru harus menjadi red flag bagi KPK. Mengapa meningkat serentak saat menjabat? Mulai Menteri, DPR, hingga tingkat pemerintah daerah, ada apa? Kita butuh kritis dan menganalisis, jika kenaikan itu berasal dari bisnis, maka bisnis apa yang selama pandemi menjadi digdaya dan memiliki profit ratusan miliar?

Imbauan jubir Menteri komunikasi dan Informatika, Dedy Permadi, bahwa tak boleh ada rakyat yang lapar selama pandemi seolah menjadi angin lalu. Karena fakta di lapangan tidak sesuai. Kita jangan lupa pada mantan Mensos Juliari Batubara, yang tega menilap uang sepuluh ribu rupiah per paket bansos. Dalam dua kali putaran pembagian bansos saja, Juliari ‘berhasil’ mendapat 17 M. Kejadian serupa sangat mungkin terjadi pada pejabat pemerintah lainnya.

Pemerintah sibuk memperkaya diri, sementara rakyat sibuk menangis karena laparnya sampai ke ulu hati. Ironi ini menjadi fakta tidak terbantah di tengah sistem demokrasi yang melahirkan oligarki.

 

Demokrasi Mahal dan Korup

Demokrasi terbukti mahal. Hanya orang-orang dengan kekayaan melimpah dan memiliki akses pada pengusaha kaya yang bisa mencalonkan diri untuk dipilih. Dengan modal miliaran yang harus digelontorkan selama kampanye, maka pejabat manapun yang terpilih akan punya kebutuhan mendesak untuk mengembalikan modal. Tak terlepas para menteri yang berdiri di kabinet dengan keterwakilan partai dan politik transaksional.

Sistem politik ini membuka ruang menganga bagi perilaku korupsi. Budaya rasuah seolah menjadi sikap yang mudah sekali ditemui. Mulai institusi pusat maupun daerah. Mulai urusan administrasi hingga budget anggaran teknis. Hantu korupsi gentayangan di manapun. Apalagi setelah KPK mulai dikebiri dan diberi rantai agar tindak OTT-nya diharapkan lebih santai.

Kekayaan pejabat yang meroket ini menjadi indikasi kuat ke arah sana. Jika hanya satu dua orang yang mengalami tren peningkatan kekayaan, tentu masih bisa dianggap wajar. Namun jika 70% pejabat serentak kaya bersamaan, dengan persentase kenaikan harta yang tidak main-main, maka ada borok dalam sistem politik negeri ini. Disparitas sosial makin kentara, keadilan sosial sekedar slogan semata.

 

Pejabat Hisabnya Berat, Jangan Gila Harta

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR Tirmidzi).

Khulafaur rasyidin tau betul bagaimana menjalankan hadits di atas selama menjadi pemimpin. Tidak hanya diterapkan pada diri sendiri, namun para khalifah juga mengawasi dengan ketat para pegawai pemerintahan yang mengalami kenaikan harta yang tak wajar.

Khalifah Umar bin Khaththab ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat peningkatan harta yang tidak wajar, mereka diminta membuktikan bahwa hasil kekayaan yang mereka dapat bukanlah hasil korupsi atau hal haram lainnya. Bahkan, Khalifah Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah, terlebih jika diketahui hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan negara.

Umar bin Khaththab ra. selalu menghitung dan mencatat kekayaan wali dan amil sebelum diangkat sebagai pejabat. Setelah masa tugasnya selesai, jumlah kekayaan pejabat tersebut dihitung kembali. Apabila pejabat tersebut terbukti memiliki kekayaan tambahan yang diragukan dari mana perolehannya, kelebihan harta pejabat tersebut akan disita atau dibagi dua.

Tindakan Umar bin Khaththab ra. ini pernah dilakukan terhadap Abu Sufyan sepulang dari mengunjungi anaknya, yaitu Muawiyah, yang menjabat sebagai wali pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab ra.. Amirulmukminin menduga Muawiyah membekali ayahnya dengan uang dan barang-barang berharga untuk dibawa pulang. Umar mengirim utusan ke rumah Hindun dan Abu Sufyan. Sesampainya di Hindun, utusan tersebut berkata, “Perlihatkan kepadaku dua wadah yang baru engkau terima dan berikanlah keduanya.” Utusan itu kembali menemui Khalifah dengan membawa dua buah wadah, ternyata di dalamnya terdapat uang sebanyak 10.000 dirham. Uang tersebut diambil oleh Amirulmukminin dan diserahkan ke baitulmal.

Pejabat di masa kekhilafan Islam tidak gila harta. Keberadaan harta di sisi mereka justru menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena takut akan hisabnya kelak di yaumil akhir. Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan istrinya, misalnya, rela mendermakan harta kekayaannya demi rakyat. Mereka lebih memilih hidup sederhana dibanding menanti hisab berat di akhirat.

Sa’id bin Amir, satu contoh gubernur sederhana yang hidup pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra.. Ia hanya memiliki satu pakaian yang ia kenakan, sampai-sampai ia dikenal sebagai gubernur yang miskin.

Ada pula Abu Ubaidan bin al-Jarrah, sahabat Nabi saw. dan panglima besar penaklukan Negeri Syam. Di dalam rumahnya yang luas, Abu Ubaid hanya memiliki sebilah pedang, baju besi, dan satu kendaraan. Meski khalifah Umar bin Khaththab menyarankan agar ia mengambil sesuatu dari harta berlimpah di sekitarnya, Abu Ubaid menolak. Sang gubernur lebih memilih zuhud dibanding bergelimang harta.

Para pejabat negeri ini harusnya malu. Mereka menumpuk harta saat perut rakyat meronta. Sikap para pemimpin Islam di masa lalu harusnya menjadi teladan dan membuat pejabat tidak gila harta. Karakter terbaik memang hanya akan muncul pada sistem terbaik.*


latestnews

View Full Version