Oleh:
Putri Hanifah, CHt., C.NNLP || Hypnotherapist, Leraning Facilitator
SETELAH BTS Meal mendunia, kini karir BTS semakin melesat tajam. Bagaimana tidak BTS mendapatkan privilege (hak istimewa) dari Presiden Korea Selatan menjadi utusan khusus untuk budaya dan generasi masa depan. Untuk memuluskan visi itu, BTS difasilitasi paspor khusus sehingga bebas berpergian ke lebih dari 199 negara tanpa harus menggunakan visa. BTS bahkan mendapatkan kesempatan ‘manggung’ dalam pembukaan “The Sustainable Development Goals (SDGs)” pada sidang umum PBB.
PBB sendiri mengakui laman youtubenya mengalami kunjungan drastis oleh netizen. Benar saja, Moon Jae In sukses memilih BTS sebagai utusan khusus budaya sebab mereka bukan boyband sembarangan. Mereka memiliki basis massa yang besar, sehingga apapun kata idolnya, army (sebutan bagi fans BTS) berada di belakang untuk mendukungnya.
Harapan Kim-Gu, presiden ke 13 Republik Korea benar-benar menjadi kenyataan.‘I want our nation to be the most beautiful in the world ‘by this do not mean the most powerfull nation’ beliau menginginkan negaranya menjadi negara Indah di dunia. Berkat keseriusan puluhan tahun yang lalu, hari ini Korea berhasil mentransfer budayanya bahkan menjadi trendsetternya.
Hadirnya BTS menjadi utusan khusus budaya dan generasi masa depan penting untuk kita diskusikan. Pasalnya dengan diutusnya BTS, menuai sisi plus minus. Netizen yang belum melek politik, akhirnya minimal menjadi tahu dengan adanya idolnya yang bersuara. Tapi sisi negatifnya, behind the scene agenda SDGs ini. BTS hanya menjadi duta SDGs yang digembleng dan dijadikan agent of change untuk mempermudah tercapainya SDGs di dunia.
Berbicara tentang program SDGs, sekilas nampakknya mulia. Lagipula SDGs juga merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan yaitu (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Berkurangnya Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; (13) Penanganan Perubahan Iklim; (14) Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Tapi faktanya, apakah SDGs ini benar-benar memberikan kesejahteraan hakiki bagi masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia negara dengan jumlah sumber daya alam terbesar, sekaligus terbesar juga pendukung BTS-nya alias army-nya? Ternyata tidak, pemenuhan berbagai hajat hidup mendasar masyarakat Indonesia semakin sulit. Baik itu pangan, air bersih, sandang maupun perumahan, pemukiman, pelayanan kesehatan, pendidikan, energi. Padahal sudah beberapa tahun berjalan, ternyata menyisakan kesengsaraan rakyat yang semakin mendalam.
Bagaimana kabar pangan di Indonesia? Sudahkah semua rakyat merasakan arti sejahtera? Sedangkan kesejahteraan suatu negeri diukur dari gross domestic product (GDP). Jika kesejahteraan suatu negara dihitung menggunakan GDP, bagaimana dengan masyarakat pinggiran dan di bawah kolong jembatan yang tidak memiliki penghasilan? Ironis! Jutaan jiwa menderita kelaparan dan jutaan anak menderita stunting. Ibarat tikus mati di lumbung padi.
Di zaman modern ini sulitkah mencari air bersih? Bukankah masyarakat sering mendengarkan iklan alat untuk mengolah air bersih, masa iya sampai di zaman ada mesin pengolah air, masyarakat masih kesulitan mengakses air bersih. Jika benar adanya, berarti memang ada salah tata kelola. Benar saja, air hari ini dikapitalisasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Tidak semua masyarakat bisa membelinya begitu saja. Padahal 1400 tahun yang lalu Rasulullah sudah berwasiat kepada kita “Sesungguhnya kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Seharusnya jika PBB serius mengentaskan program ini, hentikan koorporasi besar yang memprivatisasi mata air di seluruh negeri. Sebab tanpa air bersih sangat berbahaya bagi kesehatan bahkan keselamatan jiwa seseorang.
Perumahan
Hingga saat ini, terdapat jutaan keluarga yang hidup di tempat tidak layak huni. Padahal rumah adalah tempat berlindung bagi setiap rumah tangga. Ada aurat Ibu dan Anak Perempuan yang harus dijaga. Sedangkan masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dibawah kolong jembatan, di pinggiran jalan sedangkan di sisi lain terdapat kesenjangan yang amat besar dengan adanya pembangunan kota mandiri dan smart city.
Pelayanan Kesehatan
Tak perlu berbicara panjang lebar tentang layanan kesehatan, masyarakat merasakan sendiri bagaimana sulitnya mendapatkan akses layanan ditengah pandemi yang menyangkut hidup dan mati. Masyarakat berobat dengan hasil uang jerih payahnya sendiri lewat program BPJS. Sudahlah bayar sendiri, ketentuan pembayaran premi yang memberatkan hingga saksi penggeberan tagihan kerapkali terjadi.
Pendidikan
Pendidikan di negeri ini juga menyisakan PR besar yang menganga. Seolah pandemi menguliti kondisi pendidikan di Indonesia. Sebelum pandemi saja menyisakan PR yang sangat besar, apalagi ketika pandemi terjadi. Tak heran ada banyak mahasiswa yang depresi karena harus mempertanggungjawabkan studinya sekaligus mencari biaya untuk membayar harga perguruan tinggi, belum lagi mahasiswa yang meninggal lantaran kesulitan mencari sinyal dan banyak hal.
Berapa banyak guru yang belum diangkat menjadi pegawai negeri? Sedangkan pengabdiannya sudah bertahun-tahun lamanya, gaji guru dengan artis kok lebih besar gaji artisnya. Belum lagi kondisi kurikulum yang fokus pada angka dan IPK, menyebabkan banyak mahasiswa kehilangan esensi mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sudahlah begitu kampus di install program MBKM yang sangat kental aroma liberalisasinya.
Energi
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang tadi saya tuliskan, sesungguhnya api merupakan representasi dari energi (baik itu bensin, listrik, batu bara dll) keberadaannya juga tidak boleh diprivatisasi oleh individu atau korporasi untuk dijadikan bisnis yang dijualbelikan ke rakyat. Allah memberikan kekayaan berupa energi untuk memenuhi hajat hidup manusia. Jika dijualbeli seperti hari ini, lihat saja kita menyaksikan kesenjangan yang nyata. Harga listrik dan BBM semakin dirasakan masyarakat luas. Sedangkan asing sudah sejak lama menancapkan benderanya di negeri ini menjadi bagian yang menikmati. Ironis!
Maka pidato BTS yang mana yang membuat kalian terpesona wahai adik-adikku? Sungguh, sekali lagi BTS hanyalah duta yang akan menginfluence adik-adik semua untuk turut menjadi bagian yang menggerakkan SDGs ini, pemuda dengan berbagai potensi yang dimilikinya kadang dengan mudahnya menjadi sasaran empuk 'pemberdayaan' berbagai pihak. Pemuda digadang-gadang sebagai pembawa obor agenda 2030 karena diposisikan sebagai mitra sekaligus pekerja demi tercapainya Agenda 2030. Artinya, pemuda tidak boleh hanya menerima manfaat kebijakan. Mereka harus terlibat dalam pembangunan berkelanjutan, dan menciptakan iklim (mandiri) dalam dunia kerja.
Sejatinya pemberdayaan pemuda demi menyukseskan SDGs 2030 yang diyakini akan menjadikan dunia lebih baik sejatinya hanya ilusi. Sebab janji kesejahteraan hanya berlaku untuk para kapitalis dan korporasi global. No Free Lunch alias tidak ada makan siang gratis. Terinspirasi perjuangan peliknya karir BTS bertahun-tahun sebelum debut boleh, tapi turut menjadi bagian yang menyuarakan sesuatu yang bertentangan dengan agama kita, jangan! Apalagi poin kesetaraan gender, yang meniscayakan kita menerima pelaku keluarga feminis alias LGBT. Sudah saatnya mengubah referensi pemuda hari ini dengan referensi para sahabat Rasul yang tenaganya diwakafkan untuk sesuatu yang abadi, Islam! Sebab hanya dengan Islamlah sejatinya permasalahan kompleks ini akan selesai.*