Oleh:
Muthiah Raihana S.TP, M.P || Pengajar Kewirausahaan di Al-Izzah, Batu
BULAN ini menjadi realisasi keputusan pemerintah di bulan Maret 2021 menyoal impor 3 juta ton garam. Alasan klasik terus dilontarkan penguasa, yaitu masalah kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas garam lokal tak mencukupi kebutuhan nasional yaitu 4,6 juta ton. Sementara kemampuan produksi industri garam dalam negeri hanya 1,5 juta ton (Kompas.com,25/09/2021).
Kualitas garam petambak tak masuk kriteria garam industry karena memiliki, kandungan NaCl (Natrium Klorida) rendah. Dampaknya, data per September 2020 masih ada 738.000 ton garam rakyat yang tidak terserap industri (merdeka.com, 21/03/2021).
Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah lautannya mencapai 3,25 juta km2 yang melebihi luas daratannya yang hanya sekitar 2,01 juta km2. Memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia mencapai 54,7 ribu km (kkp.go.id). Bisa dibayangkan betapa besar potensi negeri ini, jika hanya untuk memproduksi garam pastilah mumpuni.
Seolah tak ada kesungguhan kebijakan negara untuk mengatasi masalah berulang, malah menunjukkan penguasa hanya terus beretorika dengan kemarahan dan alasan-alasan pembenaran dalam mengambil kebijakan impor yang pro pada para kapital dan terus membuat sengsara rakyat. Padahal dengan mengimpor garam tidak hanya mematikan petambak, tatapi mematikan negara sendiri karena terus terjerat dengan hutang luar negeri.
Rakyat butuh aksi nyata swasembada untuk mengatasi masalah impor yang tidak hanya memfasilitasi pemburu rente dari impor produk vital. Rakyat butuh solusi tuntas, bukan hanya tambal sulam dari sistem kapitalis neoliberal yang akan semakin suram. Yaitu sistem islam dari sang Pencipta Alam Raya.
Bagaimana islam memberi solusi masalah impor garam?
Islam memiliki aturan yang sempurna dan sudah terbukti mampu mensejahterahkan rakyat. Jika mengacu pada apa yang dilakukan Rasulullah saw saat menerapkan islam secara kaffah dan dilanjutkan kekhilafahan selama 13 abad. Maka akan tampak kejelasan visi, misi, dan strategi yang akan mampu menciptakan kesejahteraan dan kemandirian negara.
Model kepemimpinan islam berbeda dengan model ideologi kapitalis hari ini. pemimpin dalam islam bukan sebagai pedagang yang berhitung materi demi keuntungan dan tega memalak rakyat.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Pemimpin dalam islam memiliki power utama dalam menjalankan semua kebijakan negara. Yang akan melindungi rakyat dan membela hak-hak mereka.
Untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian, Islam memiliki konsep politik dan ekonomi yang khas sebagai supra sistemnya. Kebijakan ekonomi dan politik dibagi menjadi politik dalam negeri dan luar negeri.
Politik ekonomi dalam negeri islam haruslah mengarah pada visi,misi dan strategi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Sehingga harus dipisahkan visi,misi dan strategi kebijakan dalam mengatur supply (penawaran) dan demand (permintaan) dalam negeri dengan hubungan dagang luar negeri.
Negara akan membangun kemandirian pasar dalam negeri dengan mengatur mulai dari hulu ke hilir. Dari produksi, distribusi dan konsumsi dalam kuantitas dankualitas yang dibutuhkan. Negara harus berlepas dari intervensi oligarki dan korporasi. Setiap pejabat negara sebagai pengatur urusan umat dituntut bekerja keras dan berfikir kreatif sehingga deman dengan supply bertemu di satu titik. Kualitas terus ditingkatkan dengan melakukan riset mutakhir. Berkolaborasi dengan dunia pendidikan. Mendanai dengan optimal dari kas Baitul Mal.
Dalam ekonomi islam, tambak garam bagaikan air mengalir (mâu al-iddu) yang merupakan sumber daya yang tidak terbatas. Posisinya tidak boleh dimiliki oleh swasta atau dikelola asing, tetapi kepemilikannya adalah umum menjadi milik umat.
Sebagaimana Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Demi kesejahteraan rakyat, negara wajib memenuhi kebutuhan garam. Bahkan wajib dikelola oleh negara jika membutuhkan penanganan khusus dengan biaya yang tidak sedikit untuk menghasilkan kualitas garam yang baik. Bisa dibayangkan, jika seandainya saja potensi pasar yang besar terhadap garam didalam negeri dikelola negara dengan baik, justru akan membuka banyak lapangan pekerjaan yang akan menggerakkan berbagai sektor ekonomi yang lain.
Sedangkan visi,misi dan strategi dalam perdagangan internasional dengan negeri luar, visi utamanya bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tetapi sebagai upaya menyebarkan risalah islam ke seluruh dunia. Maka negara akan memilah dengan siapa ia bekerja sama. Pada negara yang memusuhi islam maka tidak ada perjanjian dagang sama sekali sehingga tidak ada celah untuk menjajah negeri muslim. Sedangkan pada negara yang tidak memusuhi islam, boleh ada perjanjian dagang. Yaitu pada produk yang dibutuhkan dalam proses revolusi industry. Tujuan lainnya agar mendapat hard currency, yaitu mata uang dari negara tersebut sehingga lalu lintas perdagangan internasional tetap terjaga.*