View Full Version
Rabu, 02 Feb 2022

Drama Minyak Goreng

 

Oleh:

Keni Rahayu || Influencer Dakwah Milenial

  

SUATU ketika di negeri Wakanda. Minyak goreng 2L berharga 28. Bagi masyarakat, "ah, mahal. Belinya nanti saja pas butuh.” Berjajar lama di display supermarket, barisan minyak berbagai merk. Butuh waktu lama agar stok minyak goreng berkurang dan habis.

Di hari kemudian, penguasa Wakanda lepas kendali. Entah apa yang terjadi hingga harga minyak goreng melambung tinggi. Dari 28 jadi 40 bahkan lebih, harga per 2L-nya. Masyarakat bingung dan panik.

Tapi penguasa Wakanda welas asih. Mereka baik dan penyayang pada rakyat. Maka mereka turun tangan sebagai gambaran kewenangan. Dipatok harga 14/L. Harga kembali seperti sedia kala seperti sebelum melambung tinggi. Kebijakan ini berlaku mulai besok. Sorak sorai rakyat menyambut bahagia kebijakan penguasanya. 

Hari esok tiba. Agak aneh dan mendebarkan. Seorang pegawai supermarket merasa hatinya berdegup tak karuan. Belum saja pintu supermarket dibuka, calon pembeli sudah antre di depannya. Awalnya lima, kemudian sepuluh dan terus membeludak. Ada apa gerangan?

Seorang calon pembeli bertanya, "jam berapa toko ini dibuka?" katanya. Pegawai menjawab gagap, "sebentar lagi". Pegawai satu dengan yang lain saling bertatap. Mereka takut tokonya hancur berantakan melihat calon pembeli membeludak. Angan mereka bertanya, apakah gara-gara harga minyak turun?

Sebelum toko benar dibuka, sebuah kertas ditempel di pintu. Di kertas itu tertulis: Satu orang hanya boleh beli satu bungkus minyak. Membaca tulisan itu, puluhan calon pembeli yang berjubel di parkiran supermarket merespon dengan ngobrol ke teman belanjanya. Ada pula yang nampak mengambil ponsel dari sakunya, ia menelpon kerabatnya untuk segera datang menyusul. Semua bak mengatur strategi demi bisa mendapat jumlah minyak lebih banyak. 

Detik-detik menuju waktu toko dibuka. Para calon pembeli sudah mengambil ancang-ancang langkah. Sampai pintu terbuka benar, semua pembeli berlari masuk. Yang mereka tuju satu: barisan bungkus minyak goreng yang tertata rapi di bagian depan. Siapa yang sudah dapat langsung ambil posisi di depan kasir. Satu persatu membayar dan pergi.

Namun karena banyaknya pembeli, antrian tak surut pembeli. Bahkan semakin panjang. Anehnya semua membeli minyak goreng dan ada beberapa memegang perintilan kebutuhan lain. Tak butuh hitungan jam, barisan minyak goreng habis. Di-reload pegawai pun, stok di gudang juga habis dalam waktu kurang dari 12 jam. Beuh, rakyat Wakanda apa minumnya pakai minyak goreng kali ya?

Yang tak kalah lucu, dalam barisan minyak goreng ini melahirkan drama epik. Ibu tak kenal anaknya. Suami tak dikenali istrinya. Kakak lupa adiknya. Semua disengaja agar bisa mendapat minyak goreng lebih dari satu bungkus. Padahal kalau dipikir-pikir, ketika satu rumah mendapat minyak goreng berbungkus-bungkus, apa akan dihabisi sendiri semua, atau mau dijual lagi? Bukankah kasihan pedagang kecil yang bisa jadi jauh lebih butuh di waktu ini, dagangannya jadi berhenti karena minyak tak mudah didapati. Kalau dapat pun itu beli ya bukan diberi.

Beginilah gambaran manusia di lingkaran Kapitalisme. Para Kapitalis memanfaatkan psikologi manusia, bahwa mereka mudah takut kekurangan. Dibuatlah kondisi yang menggambarkan minyak itu mahal, langka, susah didapatkan. Punic buying, akhirnya. Ketika harga turun, semua minyak amblas. Padahal harganya sama persis dengan sebelum dimahalkan. Mereka senang, dagangan habis, modal  kembali. Masa bodoh dengan pembeli.

Berbeda sekali dengan penguasa Islam. Penguasa Islam malah memfasilitasi agar semua kebutuhan rakyat secara merata terpenuhi, termasuk kebutuhan dapur seperti minyak goreng. Harga yang melambung adalah bahan evaluasi negara yang kemudian dicari penyebab dan solusinya. Apakah distribusi yang tidak merata, atau bahan yang tidak terkelola sempurna, semua dikaji demi kebutuhan rakyat terpenuhi. Beda fokus. Kapitalisme fokus profit, Islam fokus kesejahteraan rakyat. Kalau sudah tergambar begini, belum tergerak melirik Islam sebagai solusi praktis kehidupan? Kalau aku sih, "YES". Wallahua'lam bishowab.*


latestnews

View Full Version