Oleh: Tardjono Abu Muas (Pemerhati Masalah Sosial)
Terkesan mentereng dan keren setelah Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) bak melalui jalur bebas hambatan mulus dan lancar jaya ditandatangani oleh delapan dari sembilan fraksi yang ada DPR RI menjadi UU IKN.
Sangat mungkin anggota dewan yang terhormat dari kedelapan fraksi tersebut saat ini telah kebat-kebut keduabelah telapak tangannya bak membersihkan debu dari telapak tangannya, karena usai mensahkan UU IKN, beres!
Tak ada perlawanan yang berarti dari segelintir kubu fraksi (PKS) yang menolak sehingga bak dalam permainan sepak bola kalah telak 8-1. Dengan skore 8-1 ini, bisakah secara matematis menjadi potret mewakili suara rakyat sebesar= 8/9 x 270 juta= 240 juta yang setuju dengan pindah Ibu Kota? Ataukah hanya mewakili suara 8 orang dari 8 fraksi yang hanya "sunuwun dawuh?" Ataukah hanya mewakili sejumlah anggota dewan yang berjumlah = 575-50 (PKS)?
Patut dikhawatirkan UU IKN pun akhirnya tidak akan jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja yang sebelumnya cukup berdarah-darah karena banyak aksi penolakan, akhirnya melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) UU Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat.
Tak menutup kemungkinan UU IKN ini pun akan ada penolakan dan pengajuan gugatan ke MK. Terlepas "bersyarat atau tidak" keputusan dari MK nantinya, yang namanya saja Inkonstitusional tentunya menjadi gambaran suatu hasil kerja yang seakan-akan asal jadi atau bak supir angkot kerja karena kejar setoran.
Padahal produk undang-undang yang dihasilkannya akan digunakan sebagai rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika hasil produknya akhirnya diputuskan MK Inkonstitusional lantas apa jadinya negara ini?