Oleh: Jeng Nana,
Komunitas Bakoel Bervisi Surga
Huru-hara harga minyak goreng turun, sukses membuat jiwa para emak meloncat girang. Ga tanggung-tanggung strategi perkerabatan pun disiapkan. Taktik buying dengan mengerahkan seluruh anggota keluarga siap dijalankan. Mulai dari suami, nenek, kakek, anak, cucu kalau pun bisa, bergerak kompak dalam satu komando membeli migor subsidi. Walhasil, kisah satu keluarga yang berhasil memborong puluhan migor kemasan 2 liter, tak ayal membuat keluarga lain yang gagal buying migor ngiri dan nelangsa. Tak terkecuali saya, sedih hiks.
Sebagai bakoel peyek, turunnya harga migor pastilah sangat ditunggu dan diburu. Keliling dari satu mini market ke mini market lain tak ayal ikutan saya lakukan. Tapi tak satu pun si kuning langsat berada di peraduan etalase dengan harga manis. Kalaupun ada beberapa yang masih bertengger di toko sembako harganya bikin meringis. Padahal migor ibarat jantung yang bikin mekarnya peyek. Kalau migor hilang di pasaran, apa iya mau dikukus saja si peyek? Kalau migor jadi mahal, apa masih ada yang mau beli sekeping peyek yang awalnya seribu jadi dua ribu? Hmm, dilema bakoel peyek.
Panic buying migor memang klop banget dengan jiwa emak. Tak hanya bakoel peyek, semua emak pastilah berkutat dengan migor untuk menghidangkan menu bagi keluarga tercinta. Apalagi hampir semua menu nusantara identik dengan goreng dan tumis. Maka aksi borong memborong migor sepertinya wajar saja bagi kaum hawa untuk menyelamatkan aset kebutuhan dapurnya. Namun, kemanakah kemudian hilangnya nurani keibuan yang seringnya ga tegaan? Kemanakah empati seorang emak yang biasanya selalu mikirin emak yang lain? Apalagi rata-rata para emak itu adalah emak muslimah. Kok kayak ga pas aja ya sikap kemaruk punic buying hingga bikin yang lain ga kebagian.
Bukan karena protes ga kebagian migor subsidi ya, saya jadi ikutan numpahin uneg-uneg. Bagaimanapun jiwa emak yang meronta harus diluruskan supaya tidak merembet menjadi kekacauan dalam istananya di dapur, hihihi peace. Kembali pada masalah empati, para emak mungkin lupa merhatiin bagaimana hidupnya telah berubah secara perlahan tanpa ia sadari menjadi lebih individualis. Dulu masih banyak emak yang suka manggilin teman-teman anaknya ngumpul, ramai-ramai dibuatin nasi goreng, atau hanya dimasakin nasi dengan ikan asin dan sambal. Senang berbagi sayur dan lauk ke tetangga, pinjam sotel dan cobek, sisir kutu, serta berbagi hal-hal sederhana dengan yang lain.
Sekarang, nuansa berbagi sangat jauh dari kehidupan emak. Para emak metro kalau pun ngumpul bawaannya pamer kepememilikan masing-masing. Yang ga mampu nunjukin branded harus siap di delete dari pertemenan. Bukannya tanpa sebab, hampir bisa dipastikan gaya emak mile saat ini lebih dipengaruhi kehidupan yang berbasis sekulerisme. Kehidupan yang nilai atau aturan agama just dikekepin di ruang privat. Jangan bawa-bawa agama, ngomong agama cukup di masjid dan mushola aja. Kalau sudah begini, standar yang dipakai dalam keseharian bukan lagi benar salah dalam pandangan agama, tapi diterima atau tidak oleh pandangan manusia. Gawat.
Alih-alih mikir para emak lain yang juga butuh minyak, yang ada hanya mikir diri sendiri, egois. Tak lagi sabda baginda Rasul menjadi panutan, bahwa "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat". (HR. Bukhari)
Jadi ngeh kalau para emak gosong empatinya akibat individualisme yang mengurat erat dalam kehidupan sekuler. Kayaknya makin ke sini para emak harus makin disadarkan tentang hidupnya. Bahwa kehidupan yang carut marut adalah akibat dipisahkannya aturan agama dari kehidupan, yang kemudian mencabut fitrah ke-emak-an dan kemanusiaan. Sesama manusia saling mendzalimi dan tak lagi peduli. Jika kita ingin kehidupan kembali baik dan fitrah manusia terkendali, tak ada pilihan lain kecuali kembali pada aturan Sang Maha Baik Allah swt dan mencampakkan kehidupan sekuler. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google