Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
Masih dari Rakernas II PDIP khususnya mengenai Rekomendasi soal Penetapan Calon Presiden.
Seperti telah diduga PDIP tidak berani untuk mengajukan atau menyebut nama Capres meskipun dari kadernya sendiri. Alasannya Pemilu masih lama. "Hak prerogatif Ketua Umum" kata Ganjar Pranowo saat ditugaskan membacakan Rekomendasi tersebut. Rupanya masih disembunyikan walaupun publik menduga nama itu tentu Puan Maharani.
Narasinya adalah : "berdasarkan Keputusan Kongres V Partai, AD/ART Partai, dan tradisi demokrasi Partai adalah hak prerogatif Ketua Umum Partai Professor Doktor Honoris Causa Megawati Soekarnoputri". Megawati pernah mengancam-ancam kader yang dinilai telah melakukan manuver dalam rangka pencapresan. Dan Ganjar Pranowo pun menjadi lunak.
Sebelumnya Partai Nasdem dalam Rakernasnya telah menetapkan tiga nama yaitu Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo sebagai Capres. Untuk menentukan satu nama yang dipilih dari ketiganya diserahkan sepenuhnya kepada Surya Paloh Ketua Umum Partai. Hak prerogatif Ketua Umum.
Para Ketum PAN, PPP dan Partai Golkar bermanuver dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) menggadang-gadang salah satu Ketum untuk Capres. Begitu juga dengan Ketum Gerindra yang mulai gesit kesana-sini dan seperti mau berjodoh dengan Ketum PKB.
PKB sendiri lompat sana-sini pula hingga berkoalisi Semut Merah dengan PKS. Pada umumnya semua berujung pada posisi Ketum sebagai penentu.
Sulit melihat partai-partai politik menampilkan diri sebagai institusi yang berwajah demokratis. Sosoknya otoritarian. Kekuasaan tertinggi senantiasa berada di tangan Ketum. Inilah kecelakaan politik NKRI saat ini. Partai sebagai elemen demokrasi ternyata pamer kekuasaan di depan rakyat sebagai institusi yang jauh dari demokrasi. Suara bawah hanya menjadi etalase dari kepura-puraan dalam berdemokrasi.
Fungsi partai politik di negara demokrasi adalah pendidikan politik, sosialisasi politik, penyalur aspirasi, rekrutmen, partisipasi dan agregasi politik. Partai politik tidak akan mampu mendidik warga agar berjalan di rel demokrasi jika partai itu sendiri berkarakter otoritarian. Munafik jadinya.
Sosialisasi tersendat di tengah kepercayaan rendah. Jangan harap rakyat akan menyalurkan aspirasi melalui partai jika dis-trust terjadi. Partai pun miskin akan partisipasi politik selain hanya melakukan program penggiringan atau mobilisasi. Alih-alih agregasi, partai yang tidak demokratis justru menjadi tukang pecah belah. Rekrutmen pun sarat dengan nuansa kepentingan pendek atau pragmatik.
Partai prerogatif Ketum mudah terkooptasi oleh kemauan pemerintah. Terutama Partai politik koalisi pendukung pemerintah. Partai politik menjadi bulan-bulanan dan tidak berwibawa. Ketum tersandera oleh jeratan atau jebakan baik hukum, politik, maupun ekonomi. Ketum yang bagai kerbau dicocok hidungnya.
Partai politik yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah dan tidak berkhidmat pada kedaulatan rakyat, keberadaannya tidak akan dirasakan. Ia dipandang sedang bermain-main sendiri. Sekedar untuk memperbesar kekuasaannya dari Pemilu ke Pemilu.
Wajar jika dalam salah satu forum diskusi yang dihadiri oleh para mahasiswa, suara kritisnya mempertanyakan bagaimana cara mudah untuk membubarkan partai politik ? Partai politik yang keberadaannya dinilai tidak bermanfaat bahkan berkhianat.
Adanya prerogatif Ketum adalah suara yang menyakitkan. Membunuh demokrasi di lingkungan partai politik yang secara tidak langsung juga membunuh aspirasi rakyat itu sendiri.
Cerdik jika ada anak sekolah yang bertanya apakah Partai politik itu pilar atau perusak demokrasi?