Oleh: Abdurrahman Anton (Lembaga Advokasi Umat ANSHORULLAH)
Semenjak 21 Desember 2004, MK membacakan putusan judicial review UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam amarnya, MK membatalkan tiga pasal dalam UU Migas, yaitu Pasal 12 Ayat (3), Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 28 Ayat (2).
Terkait harga BBM, Pasal 28 Ayat (2) yang berbunyi, ”Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar,” dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
MK sependapat dengan dalil pemohon bahwa liberalisasi harga BBM/BBG dapat mengancam hak rakyat atas harga yang terjangkau (affordable price). Karena itu, campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga harus menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Pasal 28 Ayat (2) yang mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan pemerintah tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut MK, seharusnya harga BBM dan gas bumi dalam negeri ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu.
Pertama, tugas pemerintah menyediakan bahan bakar migas bagi kesejahteraan rakyat.
Kedua, pemerintah tidak boleh berbisnis dengan rakyat, sebab jika demikian maka rakyat akan menjadi komoditas yang rentan untuk dieksploitasi kekuasaan.
Ketiga, migas dimiliki oleh negara untuk sebesar-besarnya kemanfaatan masyarakat umum.
Keempat, kedaulatan rakyat itu menjadi patokan utama yang harus dipenuhi bukan nilai ekonominya, sehingga subsidi menjadi sangat wajar dan perlu diterapkan bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Kelima, kenaikan harga BBM yang berpatokan pada harga pasar jelas bertentangan dengan tujuan Negara untuk Kesejahteraan Rakyat. Bahkan telah melanggar Konstitusi Negara.
Ingat Pelanggaran terhadap Konstitusi Negara berpotensi pada Impeachment Presiden.
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Tidak memenuhi lagi syarat sebagai presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 6 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Jika Presiden tidak mampu lagi melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat maka sebaiknya segera BERHENTI agar rakyat jelata tidak lebih menderita.