Oleh KH Bachtiar Nasir
SEMOGA hingga hari ini, para sahabat surga yang saya cintai senantiasa berada dalam sehat wal ‘afiat, prima untuk berbuat taat, hingga selalu siap menjauhi maksiat. Mengisi waktu-waktu dengan hal-hal yang bermanfaat serta selalu bersemangat berjihad bersama Al-Qur’an dalam rangka menebar maslahat.
Hari ini, dimana himpitan ekonomi semakin terasa; banyak orang yang merasa ketakutan. Takut tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan keluarga, takut terkena harga-harga kebutuhan pokok terus melambung tinggi, takut anak tidak bisa sekolah dengan baik, dan banyak hal lainnya. Namun, sebenarnya, menghadapi ketakutan itu hanyalah bisa dengan satu cara yaitu memperbanyak ketaatan dan ketawakalan kita kepada Allah Ta’ala. Terutama dengan shalat. Jaga dan dirikanlah shalat pada waktunya karena shalat adalah perbuatan yang dicintai Allah Ta’ala dan merupakan pintu rezeki yang utama; selain tiang agama. Juga perbanyak sedekah, meski dengan yang sederhana seperti sebuah senyum.
Yakinlah, bahwa sebenarnya takut yang kita rasakan saat ini, akan mengantarkan kita pada kebahagiaan yang tidak pernah kita sangka sebelumnya. Bagaimana membuat rasa takut itu mengantarkan kebahagiaan? Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat An-Naziat 40-41:
وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰىۙ فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).”
Takut itu sebenarnya terbagi menjadi menjadi dua jenis. Ada takut ibadah dan ada takut yang bukan ibadah.
Takut ibadah itu yang dikaitkan dengan rasa takut kepada maqom (kedudukan) Allah Swt. Takut ini mendorong amal saleh serta menjauhkan diri dari maksiat dan keputusasaan. Yang kedua adalah takut yang bukan ibadah bahkan bisa dihinakan oleh Allah Swt yaitu takut kepada selain Allah dan mendatangkan keputusasaan. Biasanya datang dari syetan, bukan dari Allah Azza wa Jalla.
Takutnya seseorang yang hanya ditujukan kepada keagungan Allah Ta’ala dan membuatnya mampu menahan nafsunya akan mengantarkan orang tersebut pada surga Allah, sebagai rumah abadinya. Ada pula sebenarnya takut yang mubah (boleh) yaitu takut kepada hewan buas atau takut pada penguasa yang dzalim. Akan tetapi, takut yang seperti ini tidak boleh lama-lama dibiarkan karena bila menguasai hati, maka akan mendatangkan kemurkaan Allah. Karena, sesungguhnya binatang buasa atau penguasa dzalim sekalipun adalah mahluk Allah Ta’ala yang pastinya tidak akan berdaya di hadapan kekuasaan Allah Al-Qawiy.
Namun, ada pula takut yang hina. Yaitu takut pada diri sendiri; dalam artian takut pada sesuatu yang hanya timbul karena diri sendiri yang melebih-lebihkan. Seperti takut akan imajinasi berupa hantu atau monster, takut pada binatang menjijikkan yang menjadi-jadi karena kita yang bereaksi berlebihan sehingga menjadi sugesti, atau memaklumkan takut pada sesuatu karena tren. Misalnya merasa phobia gelap karena kalau tidak merasa takut gelap, maka merasa “tidak seseru” teman lain. Ini biasanya diidap oleh remaja. Ketakutan yang dilebih-lebihkan ini akan membuat diri kita menjadi hina dilihat oleh Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, mari kita fokus pada takut yang membuat diri kita semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kenapa rasa takut untuk beribadah ini penting di dalam Islam? Karena rasa takut ini diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyempurnakan keimanan. Takut adalah bagian dari keimanan dan ketauhidan kita kepada Allah saja.
Kemudian, rasa takut seperti apa yang akan mendatangkan kebahagiaan? Mari kita pahami terlebih dahulu prinsip yang Allah Ta’ala berikan berikut ini. Bahwa, sesungguhnya di balik kesulitan ada dua kebahagiaan. Orang yang manakala mendapatkan kesulitan dan ketakutan berzikir dan terus bergantung kepada Allah Al-Mu’min, akan mendapatkan dua kebahagiaan. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat Al-Insyirah ayat 5 dan 6:
فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ
“Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
Inilah nikmatnya ketakutan dan kesulitan bagi orang-orang yang beriman. Ketika ketakutan itu benar-benar digunakan untuk semakin mendekat kepada Allah Azza wa Jalla dan dia bisa menahan hawa nafsunya demi ketaqwaan tersebut, maka ia akan mendapatkan ganjaran kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat berupa surga yang abadi.
Rasa takut adalah pilar dari tauhid selain cinta, tawakal, dan harap. Barang siapa yang sudah pandai menempatkan rasa takutnya hanya kepada Allah, maka seluruh dunia dan isinya akan takut pada dirinya. Namun sebaliknya, bila rasa takutnya kepada sesama mahluk melebihi rasa takutnya kepada Allah, maka setanlah yang akan menjadi “konsultan” rasa takutnya. Dan, seisi dunia akan membuatnya ketakutan. Hingga pada sesuatu yang sebenarnya biasa saja dan bukan apa-apa bagi orang lain.
Lalu, mengapa seseorang harus bisa menahan dan mengendalikan nafsunya? Karena, kesenangan yang berlebihan terhadap sesuatu yang bersifat keduniaan akan membuat orang terjerumus ke dalam maksiat kepada Allah dan rasa takutnya kepada Allah, di saat itu tentu akan menguap begitu saja. Begitu pula dengan kesedihan yang berlebihan. Inilah pentingnya merasa takut kepada kekuasaan Allah dan selanjutnya mampu menahan hawa nafsu.
Rasa takut yang mulia dan dikendalikan dengan keinginan beribadah kepada Allah ini, juga termasuk ke dalam kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi yang datang dari ketaatan kepada Allah Ar-Rahiim, akan benar-benar menghadirkan sosok yang mampu menampilkan akhlak terbaik yang terbit dari hati. Bukan sekadar kepura-puraan, protokoler, atau lip service belaka. Namun, datang dari hati yang tulus karena ingin mendapatkan rida dari-Nya.
Kembali kepada rasa takut dan berbagai rasa yang ada dalam diri kita; sebenarnya semua rasa itu boleh saja ada dalam diri kita. Karena, Allah ciptakan semua itu untuk mendorong kita melakukan yang terbaik dan bermanfaat. Nah, sekarang adalah waktunya bagi kita untuk mengevaluasi diri sendiri; apakah emosi atau segala rasa itu, lebih banyak mendatangkan maslahat atau mudharat?
Terakhir, apa yang kemudian dapat membuat hawa nafsu cepat mereda agar rasa takut kita pada Allah tetap terjaga? Ingatlah kita pada perjumpaan di suatu hari, dimana kita akan berhadapan langsung dengan Allah Ta’ala. Dengan setumpuk dosa dan menggunungnya catatan maksiat yang telah kita lakukan. Maka, kengerian yang kita rasakan akan hari itulah yang akan dengan cepat meredakan hawa nafsu yang berkecamuk dalam hati kita, melecut timbulnya takut, dan mendorong berbuat taat. Insyaallah.*