Oleh KH. Bachtiar Nasir
Bismillahirrahmanirrahiim.
Al-Anfal ayat 24:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَجِيبُوا۟ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ ٱلْمَرْءِ وَقَلْبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila ia menyerumu pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu dikumpulkan.”
Ada sekerat daging di dalam diri kita, jika itu baik maka baik hidup kita, bila itu buruk maka buruk hidup kita. Segumpal daging itulah yang disebut dengan jantung secara anatomi dan subtansi harfiah. Namun, dalam subtansi maknawi, segumpal daging itulah kalbu atau hati. Kalbu adalah alam dalam jiwamu dan yang menentukan siapa dirimu. Itulah subtansi diri kita.
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Mari kita masuki rahasia terdalam yang ada dalam kalbu. Di sini, kadang tidak semua manusia mampu dan mau menyelaminya dengan baik. Padahal inilah sebenarnya kunci berbahagia atau merasa nelangsanya kita hidup di dunia ini.
Dalam ayat 24 surat Al-Anfal, Allah menegaskan bahwa Ia berada di antara manusia dengan kalbunya. Artinya, Ia dekat sekali dengan seorang hamba dan tidak ada yang dapat disembunyikan oleh seseorang dari Allah Azza wa Jalla. Karena, sejatinya hanya kepada-Nya setiap urusan manusia berasal dan hanya kepada-Nya kelak segala apa yang ada dalam hidup seorang hamba akan berpulang dan berkumpul dalam genggaman-Nya. Termasuk hati dan nyawa.
Oleh karena itu, Allah ingin menegaskan pada hamba-Nya bahwa dengan hati pula Ia dapat melihat “siapa sebenarnya” hamba-Nya. Seorang yang benar-benar ikhlas menyembah kepada-Nya dan apa adanya melakukan segala hal demi taat; atau hanya berpura-pura taat karena ada apa-apanya.
Sungguh, untuk mengetahui dan menguji kualitas seorang hamba pula, Ia-lah Yang Maha menguasai dan menguasai hati ciptaan-Nya. Oleh karena itu, ada saatnya kita tidak menginginkan sesuatu, tetapi harus dikerjakan . Ada kalanya kita inginkan sesuatu, tetapi sekeras apa pun usaha yang kita lakukan, tetap tidak bisa kita dapatkan. Inilah sesungguhnya titik kritis antara iman dengan kufur, antara taat dengan maksiat.
Seperti, ada orang kafir yang sesungguhnya mengagumi orang-orang beriman. Namun, ada semacam penghalang dalam kalbunya yang membuatnya terseret menjauh dari nuraninya. Semakin ia ingin mendekat pada iman, semakin terseret ia menjauh dari keimanan yang ingin genggamnya. Atau, terkadang ahli maksiat juga tidak ingin terus menerus berbuat maksiat dan berkubang di dalam kemaksiatan. Namun, ada semacam sekat di dalam hatinya membuat dia tidak kuasa menolak kemaksiatan dan akhirnya terus-menerus terjerembab di dalam “lumpur hidup” kemaksiatan.
Begitu pula, terkadang kita terjerumus dalam kemaksiatan, padahal hati kita tidak ingin melakukannya. Namun, semakin berusaha kita lepas, semakin kuat jerat maksiat itu mengikat. Inilah fase dimana Allah Ta’ala mungkin belum ridha kita melakukan ketaatan atau mungkin ingin menguji; apakah kita bahagia melakukan kemaksiatan itu ataukah kita benar-benar membencinya.
Inilah hakikat Allah Rabbul Izzati berada di antara diri dan kalbu kita sendiri. Allah Ta’ala Mahatahu apa yang sebenarnya ada dalam hati kita, bahkan tahu sesuatu yang kita ingkari sekalipun. Allah Yang Mahaagung hanya ingin tahu, apakah kita benar-benar ingin keluar dari kemaksiatan dan benar-benar berontak ingin lepas dari maksiat tersebut; atau masih ada setitik ruang hati yang menerima kemaksiatan itu.
Yang Allah Al-Lathif inginkan, sejatinya hanyalah kejujuran yang ada dalam hati kita. Apa yang ada di dalam hati, sebenarnya Allah sudah tahu semuanya. Namun, kejujuran, keberserahan, dan keinginan untuk bangkit keluar dari kemaksiatan-lah yang Allah inginkan. Allah Azza Wajalla hanya akan menarik keluar hamba-Nya dari kubangan dosa, manakala ia ingin meninggalkan. Bila seorang hamba masih “menikmati”, maka sekeras apa pun mulutnya menjerit meminta tolong dan bertaubat, makai sampai kapan pun ia akan tetap dalam kondisi itu. Karena, menaati Allah sejatinya ada di dalam hati dan pembuktian lewat perbuatan, bukan dengan perkataan.
Berhati-hatilah dengan kondisi kalbu kita. Bila terlalu lama menikmati dosa, maka tentu hidup kita semakin kehilangan cahaya dan menderita. Lantas apa yang harus kita lakukan agar hati kita tidak terlalai dalam dosa dan bangkit dari “kematiannya”?
Berdoalah selalu, “Yaa Muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘alaa diinik.” Mohonlah Allah Azza wa Jalla selalu memberikan keteguhan hati di atas Ad-Diin ini karena Dialah Yang Mahakuasa untuk membolak-balikkan hati hamba-Nya untuk taat atau untuk beralih.
Ingatlah kata kuncinya, bahwa iman akan bertambah dengan ketaatan dan iman akan menurun dengan kemaksiatan. Maka, barang siapa yang imannya sedang menurun dan hatinya sedang “mati” dalam perangkap maksiat, bangkitlah dengan agenda-agenda ketaatan. Inilah “pemberontakan” yang akan membebaskan diri. Inilah “pemberontakan” yang akan menyebabkan datangnya pertolongan Allah Yang Mahaperkasa.
Berontaklah dari jerat maksiat dengan bergegas melakukan hal yang mendekatkan pada taat. Sucikanlah diri dengan wudu, dirikan shalat, ambil Alquran dan bacalah. Lanjutkan dengan dzikir memohon pertolongan Allah Swt dan yakinkanlah Dia bahwa hati kita sungguh ingin hidup kembali dengan cahaya-Nya.
Lanjutkanlah dengan doa,“Ya musharrifal qulub, sharrif qalbi ila to’atika” yang artinya “Wahai Dzat yang mengarahkan hati, arahkan hatiku untuk taat kepada-Mu”. Ini sangat penting, agar Allah Ar-Rahiim berkenan untuk menjaga hati kita tetap tegak dan mengarahkannya tetap dalam Diin-Nya yang lurus.
Fokuskanlah diri untuk senantiasa “terlihat” di hadapan-Nya. Agar Ia berkenan untuk menjaga kita senantiasa istikamah, tidak terhalang kebodohan, dan terjerat maksiat lagi. Sehingga kita sepenuhnya kembali kepada Allah Ar-Rahiim, mendapatkan ridha dan ampunan-Nya. Aamiin Allahumma Aamiin.*