Oleh: Ustaz Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Riba adalah pinjaman dengan pembayaran lebih atau pinjaman dengan mengambil manfaat. Definisi ini berdasarkan hadits Nabi shallahu 'alahi wa salam, "Setiap pinjaman yang mengambil manfaat maka itu riba."
Meskipun hadits ini dhaif menurut para ulama, namun maknanya ini benar sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Karena, sesuai dengan perkataan para sahabat dan para ulama itabi'in serta tabi'ut tabi'in. Oleh karena itu, hadits ini dijadikan oleh para ulama sesudah mereka sebagai kaidah Fiqh.
Hukum riba adalah haram berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma' para ulama.
Adapun dalil keharaman riba dari Al-Qur'an yaitu:
1. Allah ta'ala mengharamkan secara tegas praktik riba. Allah.ta'ala berfirman, "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al Baqarah: 275).
2. Allah ta'ala memerintahkan orang-orang beriman untuk menghentikan praktik riba. Allah ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang beIum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman" (Al Baqarah: 278)
3. Allah ta'ala mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintah-Nya untuk meninggalkan riba. Allah ta'ala berfirman, "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu." (QS Al Baqarah 279).
4. Allah ta'ala berjanji akan memasukkan pelaku riba ke dalam neraka kekal selamanya. Allah ta'ala berfirman, "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekaI di dalamnya." (QS Al Baqarah 275).
Adapun dalil-dalil keharaman riba dari hadits-hadits, Nabi shallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan agar seorang muslim menjauhi riba. Di antaranya:
1. Riba termasuk salah satu dari tujuh dosa besar. Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, "Wahai, Rasulullah! apakah itu? Beliau bersabda, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita beriman yang Ialai berzina" (Muttafaq 'alaih).
2. Dosa riba setara dengan perbuatan dosa seseorang menzinahi ibundanya. Diriwayatkan dari Baraa' bin 'Azib RA، Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang Iaki-Iaki yang menzinai ibu kandungnya." (HR Thabrani).
Salah seorang perawi hadits ini bernama Umar bin Rashid. Dia dhukumi lemah oleh mayoritas ulama hadits.
3. Dosa riba lebih besar dari zina. Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya satu dirham yang didapatkan seorang Iaki-laki dari hasil riba Iebih besar dosanya di sisi Allah daripada berzina 36 kali." (HR Ibnu Abi Dunya).
4. Laknat untuk para pelaku riba. Begitu besarnya dosa riba, maka wajar jika Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam melaknat pelakunya sebagaimana diriwayatkan Jabir RA, ia berkata, "Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa)." (HR Muslim).
Ayat-ayat dan hadits-hadits ini menjelaskan hukum keharaman riba dan bahayanya sekaligus. Adapun hikmah diharamkan riba karena riba mengandung banyak kemudharatan (bahaya), baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat. Oleh sebab itu, Al-Qur'an dan As-Sunnah mengharamkannya.
Terkait dengan polemik Qanun LKS baru-baru ini, maka kita sangat menyanyangkan orang-orang yang mengusulkan atau mendukung revisi Qanun LKS untuk bisa menghadirkan bank konvesional kembali beroperasi di Aceh. Sebenarnya mereka tidak paham syariat khususnya Fiqh muamalah atau Fiqh Ekononi Islam. Mereka menyamakan bank syari'ah dengan konvensional,. Bahkan mereka lebih menyukai bank konvensional yang menerapkan riba daripada bank syari'ah yang menerapkan prinsip Syari'ah. Parahnya lagi, menjelekkan sistim syari'ah yang dipakai oleh bank syari'ah dan menghalalkan riba yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang telah disepakati oleh para ulama. Tentu perilaku ini membahayakan aqidah pelakunya, karena bisa membatalkan keimanannya.
Bank Syari'ah tidak sama dengan bank konvensional. Bank syari'ah tidak menyediakan produk pinjaman dengan pembayaran lebih atau bunga. Karena, pinjaman dengan pembayaran lebih atau pakai bunga adalah riba. Sedangkan riba hukumnya haram. Oleh karena itu, Bank Syari'ah tidak memakai akad atau produk pinjaman dengan pembayaran lebih atau bunga. Jadi bank syari'ah tidak memakai sistim riba. Berbeda dengan bank konvensional yang memakai sistim riba dengan menyediakan prosuo pinjaman dengan pembaylaran lebih atau bunga. Inilah riba yang diharankan dalam Islam.
Bank syari'ah hanya menyediakan produk qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga).. Hukumnya boleh, bahkan sunnat. Karena ini siifatnya ta'awun (tolong menolong). Namun produk ini bersifat terbatas, tidak diperuntukkan untuk setiap orang. Produk ini hanya diberikan kepada lembaga keummatan yang dipercayai. Karena, bank membutuhkan biaya operasional. Maka bank harus mencari keuntungan yangvdiperoleh dengan akad musyarakah, mudharabah dan bai'u murabahah untuk menutupi biaya kebutuhan operasional ini. Bila tidak, maka bank menjadi bangkrut.
Bank Syari'ah memakai sistim bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh dari kerjasama dalam investasi yang halal antara Bank Syari'ah dengan nasabah berupa akad musyarakah dan mudhabarah dengan persentase yang telah disepakati. Bagi hasil ini ditentukan berdasarkan untung dan rugi. Keuntungannya tidak ditentukan dari awal dengan persentase tertentu. Jadi, bagii hasil bisa bervariasi setiap bulanmya sesuai kondisi untungan yang diperoleh oleh pihak bank dari investasi dana nasabah.
Adapun untuk pembiayaan, Bank Syari'ah memakai akad bai'u murabahah, yaitu jual beli dengan mengambil keuntungan tertentu yang telah disepakati dan diketahui atau disebutkan pada saat akad. Produk inilah yang sering disalahpahami oleh kebanyakan orang dengan menyamakannya-dengan produk pinjaman pada bank konvensional dengan pembayaran lebih atau bunga.
Di samping itu, Bank Syari'ah juga menggunakan produk wadi'ah yaitu penitipan. Dalam produk ini, nasabah tidak diberikan keuntungan atau bagi hasil. Karena sifatnya penitipan atau amanah, bukan kerja sama untuk investasi yang bisa memghasilkam keuntungan..
Dalam kajian Fiqh Muamalah, Musyarakah, mudharabah, bai'u murabahah dan wadi'ah dibolehkan dalam Islam. Semua produk inii merupakan produk Bank Syari'ah yang dipraktekkan sesuai dengan prinsip syari'ah atau Fiqh Muamalah.
Inilah yang membedakan bank Syari'ah dengan bank konvensional. Jadi, perbedaannya terletak pada akadnya. Berbeda akad bisa sama hukumnya dan bisa pula berbeda hukumnya. Akad inilah yang menentukan hukum suatu perbuatan itu mubah atau haram sesuai dengan ketentuan syariat.
Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan ini, saya berikan contoh perbuatan zina dan menikah. Praktek keduanya sama yaitu hubungan badan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (jima'). Namun hukumnya berbeda. Nikah hukumnya sunnat atau wajib. Adapun zina hukumnya haram. Yang menbedakannya adalah akadnya. Dengan akad nikah, hubungan badan laki-laki dan perempuan menjadi halal. Sebaliknya zina hukumnya haram karena tidak ada akad nikah. Jadi, suatu hukum itu halal atau haram tergantung kepada akadnya..
Begitu pula perbedaan pinjaman dengan pembayaran lebih (bunga) yang dipraktekkan di bank konvensional dan jual beli murabahah yang dipraktekkan di bank syari'ah. Praktiknya serupa namun tidak sama. Keduanya serupa dalam prakteknya yaitu membayar lebih kepada bank, namun akadnya tidak sama. Bank konvensional memakai akad pinjaman. Inilah riba. Adapun bank syari'ah memakai akad jual beli murabahah. Maka hukumnya berbeda. Riba hukumnya haram, namun jual beli murabahah hukumnya mubah.
Kesimpulannya, Bank Syari'ah tidak sama dengan bank konvensional. Bank konvensional memakai sistim riba dalam prakteknya. Adapun bank syari'ah tidak memakai sistim riba dalam prakteknya, namun memakai sistim bagi hasil dan keuntungan sesuai dengan prinsip syari'ah.
Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) Aceh, Dosen Fiqh Muamalah pada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), dan Anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara