View Full Version
Selasa, 26 Dec 2023

Hukum Merayakan Natal Dalam Islam

Oleh: Ustaz Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Setiap tanggal 25 Desember umat Kristen di seluruh dunia termasuk di Indonesia memperingati hari Natal. Hari Natal  merupakan hari raya agama kristen yang dinyatakan kufur oleh Islam sebagaimana agama lainnya selain Islam. Oleh karena itu, menurut Islam penganut agama selain Islam termasuk kristen disebut kafir. Dan orang yang mati dalam kekufuran akan masuk neraka dan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Inilah ajaran dan aqidah Islam yang wajib diyakini oleh seorang muslim atau orang beriman.

Hari Natal diperingati dan dirayakan oleh umat Kristen sebagai hari kelahiran Yesus Kristus yang diyakini sebagai Tuhan mereka. Dalam ajaran Kristen, Yesus Kristus merupakan salah satu Tuhan dari tiga Tuhan yang disembah yang dikenal dengan sebutan trinitas yaitu Tuhan Bapak (Allah), Tuhan Ibu (Bunda Maria) dan Tuhan Anak (Yesus Kristus). Dengan demikian, jelaslah bahwa peringatan atau perayaan Natal mengandung kesyirikan/kekufuran yang diharamkan dalam Islam. Maka peringatan atau perayaan ini bertentangan dengan Islam.

Namun, sangat disayangkan sebagian umat Islam ikut-ikutan memperingati atau merayakan Natal dengan memakai atribut Natal, menghadiri perayaan Natal, melakukan ritual Natal di Gereja, dan  mengucapkan selamat Natal, serta menyambut atau merayakannya dengan meniup terompet, membakar mercon, kembang api dan lilin, dan sebagainya,

Tentu perilaku sebahagian umat Islam ini bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang mengikuti aqidah dan ritual agama lain termasuk Hari Rayanya karena mengandung kesyirikan dam kekufuran. Terlebih lagi, ini ranah aqidah yang tidak boleh dicampur adukkan antara kebenaran agama Islam dengan kesyirikan dan kekufuran agama selain Islam.

Oleh karena itu, penulis perlu menulis tulisan ini untuk menjelaskan hukum memperingati atau merayakan Natal dan menjelaskan makna toleransi yang benar serta memberikan himbauan kepada umat Islam agar terhindar dari kesyirikan dan kekufuran perayaan Natal dan tidak salah dalam memahami toleransi dan himbauan kepada umat non muslim dan pemerintah agar menerapkan toleransi dengan benar.

Hukum Merayakan Hari Natal

Memperingati atau merayakan Natal dengan segala cara dan bentuk seperti mengenakan atribut Natal, menghadiri peringatan/perayaan Natal, melakukan ritual Natal di gereja, dan mengucapkan selamat Natal serta menyambut atau merayakannya dengan meniup terompet, membakar mercon, kembang api dan lilin, dan sebagainya, bertentangan dengan Islam. Maka hukumnya haram. Bahkan perbuatan tersebut bisa membatalkan keimanan atau keislaman seorang muslim.

Adapun alasan dan dalil keharaman  peringatan/perayaan Natal sebagai berikut:

Pertama: Allah ta'ala melarang kita mengikuti atau meniru aqidah dan ritual serta Hari Raya agama selain Islam. Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang melarang dan mengecam perbuatan tersebut yaitu:

a. Allah ta'ala berfirman: “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 36).

b. Allah ta'ala berfirman: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada akan ada bagi pelindung dan penolong dari Allah”. (Al-Baqarah: 120).

c. Allah ta'ala berfirman: “Kamu tidak mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadalah: 22).

d. Allah ta'ala berfirman: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 42).

e. Allah ta'ala berfirman: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)

f. Allah ta'ala berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. (Al-Kafirun: 6)

Kedua: Natal itu merupakan bagian ritual/peribadatan dalam agama Kristen untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus yang diyakini sebagai salah tuhan dari tiga tuhan dalam ajaran trinitas agama kristen. Jadi, hari Natal itu ajaran agama Kristen yang diperingati dengan ritual tertentu, bukan ajaran dan Hari Raya Islam.

Ketiga: Memperingati atau merayakan Natal berarti mengakui kebenaran agama Kristen yang mengandung kesyirikan dan kekufuran. Maka hukumnya sama seperti orang kafir Kristen. Allah ta'ala berfirman: "Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih." (Al-Maidah: 73).

Keempat: Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang umat Islam untuk mengikuti atau meniru aqidah dan ritual atau Hari Raya agama selain Islam, dengan ancaman yang keras yaitu bukan umatnya, sebagaimana sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda: “Bukanlah golongan kita orang yang menyerupai diri dengan selain kita. Janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya salam orang Yahudi adalah mengisyaratkan dengan jari dan salam orang nasrani dengan melambaikan telapak tangan.” (HR. At-Tirimizi).

Kelima: Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah memperingati atau merayakan Natal. Begitu pula para sahabatnya. Dengan demikian, memperingati atau merayakan Natal merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang dalam agama Islam.

Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam menegaskan bahwa amalan bid'ah ditolak oleh Allah ta'ala. Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang tidak ada petunjuk daripadanya, maka amalannya tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan dari petunjuk kami maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim).

Bahkan Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam mengancam perbuatan bid’ah sebagai bentuk kesesatan dengan sabda beliau: “Wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat sunnah tersebut. Dan hendaklah kalian menjauhi segala perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena  setiap perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmizi).

Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda, “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan itu adalah kitab Allah (Al-Qur'an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah). Dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Muslim).

Imam An-Nasa'i rahimahullah menambahkan, "Dan setiap bid'ah itu kesesatan. Dan setiap kesesatan itu masuk neraka." (HR. An-Nasa'i).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar - syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat Natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah: 1/441)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan kesepakatan para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqaha dalam kitab-kitab mereka.

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,, “Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar juga berkata, “Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkam Ahli Dzimmah, jilid 1 halaman 723-724.

Toleransi Yang Salah dan Sesat

Sebahagian umat Islam mengira bahwa  memperingati dan merayakan Natal dengan berbagai cara dan bentuk tersebut di atas merupakan praktek toleransi beragama yang diperintahkan dalam agama dan hukum/aturan di Indonesia. Mereka mencampur adukkan aqidah dan ritual agama Islam dengan agama lain atas nama toleransi beragama. Ini toleransi yang salah dan sesat.

Islam merupakan agama yang paling toleran. Toleransi beragama merupakan ajaran Islam yang telah dipraktekkan oleh Nabi Shallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para sahabat beliau Radhiyallahu Anhum. Konsep toleransi yang dikenal oleh orang-orang non muslim saat ini telah dikenal terlebih dahulu oleh umat Islam sejak 15 abad yang lalu. Namun toleransi non muslim salah dan melampaui batas, karena sudah masuk ranah aqidah dan ibadah. Mereka punya kepentingan untuk memurtadkan umat Islam.

Toleransi yang benar adalah toleransi yang diajarkan oleh Islam. Dalam Islam, toleransi hanya berlaku dalam persoalan muamalah (hubungan sosial atau persoalan keduniaan) saja, bukan dalam persoalan aqidah dan ritual/ibadah. Islam melarang mencampur adukkan persoalan aqidah dan ritual/badah dengan agama lain. Maka tidak boleh mengikuti aqidah dan ritual/ibadah agama lain. Namun, Islam menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai agama masing-masing serta menghormati agama lain. Jadi, toleransi itu hanya terbatas dalam muamalah. Inilah toleransi yang benar.

Allah ta'ala berfirman: "Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Al-Kafirun: 1-5).

Allah ta'ala juga berfirman: "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah: 8).

Allah ta'ala juga berfirman: "Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (Al-An'am: 108).

Allah ta'ala juga berfirman:, "Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya." (Al-Baqarah: 42).

Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wa Sallam bersikap toleransi kepada orang-orang Yahudi di Madinah dengan membiarkan mereka hidup aman dan berdampingan dengan umat Islam, tidak memaksa mereka masuk Islam dan tidak melarang ibadah dan keyakinan mereka. Beliau bermuamalah dengan mereka dalam urusan dunia seperti jual beli, berkunjung, berbuat baik, menolong dan sebagainya.

Beliau Shallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain dan tidak pula mengikuti ibadah dan aqidah agama lain. Bahkan melarangnya. Begitu pula para sahabat radhiyallahu 'anhum. Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang menyerupai (mengikuti ibadah dan aqidah) suatu kaum, maka dia bagian dari mereka". (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah di atas, maka jelaslah bahwa toleransi beragama yang benar adalah menghormati pemeluk agama lain, memberikan kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan agama masing-masing, dan hidup berdampingan antar pemeluk agama yang berbeda dengan aman dan damai. Inilah toleransi yang benar yang diajarkan oleh Islam.

Adapun mencampur adukkan agama atau mengikuti aqidah dan ritual agama lain seperti memperingati atau merayakan Natal dengan memakai atributnya,  mengikuti perayaannya, mengucapkan selamat Natal, dan sebagainya itu bukan toleransi yang dibolehkan dalam Islam. Ini toleransi yang salah dan melampaui batas yang beetentangan dengan Islam. Bahkan bisa membatalkan keimanan atau keislaman seorang muslim..

Karena itu, penulis mengingatkan berbagai pihak baik dari Muslim, non Muslim dan pemerintah agar menghargai dan menghormati ajaran Islam yang melarang mengikuti aqidah dan ritual agama lain. Jangan menilai sikap toleran atau tidak toleran seseorang dengan memperingati atau merayakan hari Raya agama lain atau mengucap selamat hari raya agama lain. Orang yang mengucapkan selamat Natal atau merayakan Natal dianggap toleran. Adapun orang yang tidak mengucapkan selamat Natal atau tidak merayakan Natal dianggap tidak toleran. Ini pemahaman toleransi yang salah..

Padahal perbuatan ini membahayakan dan merusak aqidah seorang muslim. Karena adanya kekufuran, kesyirikan, dan pengagungan terhadap syiar agama lain. Maka hukumnya haram dan bisa membatalkan keislaman seseorang berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma' para ulama salaf.

Toleransi beragama bukan berarti boleh berbaur aqidah Islam dengan aqidah non Islam. Namun toleransi yang benar adalah sikap saling menghargai dan menghormati agama yang berbeda, memberikan kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinan dan ajaran agama masing-masing. Maka sikap umat Islam untuk tidak merayakan Natal itu sudah sesuai dengan toleransi yang diajarkan oleh Islam dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila.

Himbauan Untuk Umat Islam, non Muslim dan Pemerintah

Mengingat keharaman peringatan/perayaan Natal dengan segala bentuknya termasuk ucapan selamat hari Natal dan mengingat bahayanya terhadap aqidah umat Islam, maka penulis perlu memberikan beberapa himbauan kepada umat Islam agar terhindar dari kesyirikan dan kekufuran perayaan hari Natal dan tidak salah dalam memahami toleransi serta himbauan kepada umat non muslim dan pemerintah agar menerapkan toleransi dengan benar.

Pertama: Penulis meminta umat Islam agar tidak merayakan Natal dengan segala bentuknya baik dengan cara mengenakan atribut Natal, menghadiri peringatan/perayaan Natal, memberi ucapan selamat Natal dan sejenisnya. Begitu pula penulis meminta umat Islam agar tidak menyambut dan merayakan Natal dengan cara apapun, baik dengan meniup terompet, membakar mercon, kembang api, lilin, dan sebagainya

Kedua: Penulis meminta kepada umat Islam untuk tidak membuat acara atau kegiatan apapun termasuk acara atau kegiatan keagamaan seperti yasinan, pengajian, zikir akbar, dan lainnya pada malam dan hari Natal. Meskipun amalan-amalan tersebut baik menurut pelakunya, namun perlu dihindari pada saat itu agar tidak terkesan merayakan Natal. Hal ini sesuai dengan pengamalan kaidah Fiqh: “Dar ul mafaasid muqaddam min jalbi al-mashaalih” (meninggalkan keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan).

Selain itu juga agar tidak terkesan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan yang dilarang dalam Islam. Allah ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya." (Al-Baqarah: 42).

Ketiga: Penulis meminta kepada para pengusaha atau pemilik tempat acara yang beragama Islam untuk tidak mengadakan acara atau kegiatan yang bertentangan dengan Islam termasuk perayaan Natal pada perusahaan, kafee, hotel, aula, atau tempat mereka.

Keempat: Penulis meminta kepada umat non muslim untuk menjaga toleransi beragama dengan menghormati aqidah umat Islam yang melarang untuk mengikuti atau meniru aqidah, hari raya dan ritual non muslim. Dalam ajaran Islam, agama yang benar itu hanya Islam. Adapun agama selain Islam itu kebatilan dan kekufuran. Selain itu, umat Islam dilarang untuk mengikuti aqidah dan ritual agama lain termasuk hari raya agama lain.

Kelima: Penulis meminta kepada semua pihak perusahaan/lembaga non muslim untuk tidak memaksakan para karyawan/pekerjanya yang muslim untuk memakai atribut Natal dan tahun baru Masehi. Karena hal tersebut melanggar prinsip toleransi beragama dan hukum serta undang-undang negara Republik Indonesia yang telah menjamin kebebasan umat beragama untuk melaksanakan ajaran/keyakinan agamanya masing-masing.

Keenam: Penulis meminta pemerintah untuk melarang umat Islam ikut merayakan Natal dan bertindak tegas terhadap pihak yang sengaja mengajak, membujuk atau memaksa umat Islam untuk memakai atribut Natal dan mengikuti peringatan/perayaan Natal. Karena perbuatan ini telah merusak dan mencoreng toleransi beragama.

Demikian penjelasan penulis mengenai hukum perayaan Natal dalam tinjauan Islam dan makna toleransi yang benar serta saran/himbauan penulis terhadap umat Islam dan umat non Islam serta pemerintah sebagai solusi terhadap persoalan toleransi yang disalah pahami oleh sebahagian umat Islam dengan menyambut  atau mengikuti perayaan Natal dalam cara atau bentuk apapun.

Sebagai penutup, mari kita senantiasa bertakwa kepada Allah ta'ala dan bersikap toleransi dengan benar dengan saling menghormati keyakinan dan ajaran agama lain, memberikan kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan dan ajaran agama masing-masing, tidak mencampurkan keyakinan dan ajaran agama, dan tidak mengikuti aqidah dan ritual agama lain. Semoga kita selalu diberi petunjuk dan dijaga oleh Allah ta'ala dari segala bentuk kesesatan, kebatilan, kesyirikan serta kekufuran.

Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh di Internatiomal Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua bidgar Dakwah PW Persis Aceh, Anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara, ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh dan Wakil Ketua Majelis Pakar PW Parmusi Aceh.


latestnews

View Full Version