View Full Version
Kamis, 18 Jan 2024

Negara Agraris kok Impor Beras?

 

Oleh: Nuraisah Hasibuan, S.S.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menambah impor beras pada tahun ini sebanyak 1,5 juta ton. Padahal sebelumnya kuota impor beras sudah dikeluarkan sebanyak 2 juta ton. Sehingga total jumlah impor beras yang dikeluarkan sebanyak 3,5 juta ton.

Jokowi mengungkapkan Indonesia butuh impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada pangan. Faktor utama penyebabnya adalah jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah. Menurutnya, setidaknya ada 4 - 4,5 juta bayi  yang baru lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan pangan bertambah pula tiap tahun. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 280 juta jiwa dan setiap orang butuh beras.

Namun jika alasan penambahan impor beras adalah jumlah penduduk, mengapa di tahun 2018 ketika penduduk Indonesia tidak sebanyak sekarang, pemerintah juga mengimpor beras sampai 2,2 juta ton? Dimana pada saat itu Bulog mengalami overstock sehingga ratusan ribu beras di gudang Bulog rusak dan harus dimusnahkan.

Lagi, jika alasan penambahan impor adalah banyaknya jumlah penduduk, ada baiknya berkaca pada India. Negeri Taj Mahal itu, meski penduduknya berjumlah 1,4 miliar namun mereka justru bisa menjadi eksportir beras. Kunci keberhasilan merrka adalah keseriusan pemerintah menangani soal pangan tersebut.

Di Indonesia sendiri, masalah utamanya adalah kurangnya luas lahan padi sawah. Lahan pertanian banyak yang sudah beralih fungsi  menjadi wilayah perumahan, perkantoran, dan perusahaan-perusahaan. Banyak petani yang merelakan sawahnya untuk dibeli para pengembang properti karena putus asa dengan usaha bertani.

Impor besar-besaran yang dilakukan pemerintah menyebabkan harga beras nasional tidak lagi mampu bersaing dengan harga beras impor yang murah. Akibatnya seringkali pada saat panen raya, para petani harus banting harga demi berasnya bisa tetap laku. Padahal ongkos tanam yang secara mandiri, juga waktu tunggu panen yang cukup lama telah menguras banyak biaya dan tenaga. Jadilah para petani banting setir menjual lahan pertaniannya dan beralih profesi menjadi pedagang atau buruh. Alih fungsi lahan-lahan persawahan secara besar-besaran inilah yang menjadi pemicu turunnya produksi beras dalam negeri.

Dampak selanjutnya akibat kurangnya produksi beras, harga gabah kering panen (GKP) jadi tinggi. Sehingga harga beras menjadi mahal. Maka untuk menjaga harga beras di pasar tetap stabil, pemerintah lalu mengambil kebijakan impor. Yang mana masyarakat bisa beralih pada beras impor yang lebih murah. Akhirnya akan lebih banyak petani yang merasa lebih baik tidak bertani lagi dan menjual sawahnya.

Demikianlah daur ini terus berulang-ulang, yang pada akhirnya menyebabkan hancurnya ketahanan pangan kita. Sangat jelas jika kebijakan  impor adalah solusi praktis yang tidak solutif. Bahkan sungguh ironis, negara agragis seperti Indonesia sampai menjadi importir beras terbesar ke-5 dunia setelah Filipina, Tiongkok, Irak, dan Nigeria. Kesemuanya adalah karena pengurusan yang keliru.

Padahal Allah SWT telah menjadikan sumber daya alam cukup untuk seluruh umat manusia, jika dikelola dengan benar. Itulah sebabnya dalam Islam, kekuatan pangan negeri adalah hal yang sangat urgen. Sama pentingnya seperti kekuatan militer. Sebab, jika negara berdaulat atas urusan pangan rakyatnya, negara akan terhindar dari impor yang berpotensi diintervensi negara eksportir.

Negara Islam akan mendukung penuh upaya produkaisi pangan, diantaranya memberi kemudahan bagi para petani untuk mengakses bibit terbaik, memfasilitasi petani dengan teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan subsidi, membangun infrastruktur demi kelancaran distribusi.

Pemerintah Islam juga melarang penguasaan lahan oleh para kapitalis (pemilik modal) dan mengupayakan tanah terkelola dengan maksimal. Tanah yang masih produktif harus tetap diberdayakan untuk menghasilkan bahan pangan. Tidak boleh dialihfungsikan menjadi perumahan, lokasi bisnis, dan pabrik. Hal ini untuk menjaga agar produksi pangan tercukupi bagi seluruh rakyat.

Harga pasar akan diserahkan sepenuhnya pada pasar. Pemerintah hanya akan memonitor jalannya jual beli dan segera turun tangan menghilangkan distorsi yang ada di pasar jika ada, misalnya dikarenakan penimbunan atau kartel.

Dukungan penuh dari pemerintah ini akan menggiatkan petani untuk terus berproduksi. Sehingga apabila pengurusan pangan dikelola dengan sebaik ini, maka kebutuhan impor pun akan dapat dihilangkan. Wallahu a’lam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version