View Full Version
Senin, 14 Jan 2013

CIIA: Data 24 DPO Poso yang Dirilis Kepolisian Invalid

JAKARTA (voa-islam.com) – Seperti diberitakan sejumlah media, aparat Kepolisian melalui Kapolres Poso AKBP Eko Santoso merilis 24 orang Daftar Pencarian Orang (DPO). Rilis tersebut sudah disebar di seluruh Kepolisian Sektor di Kabupaten Poso dan Polres di Sulawesi Tengah. Nama-nama orang yang diburu pihak aparat juga disebarkan ke masyarakat umum.

Mereka adalah: Mamat, Santoso alias Abu Warda, Alian San alias Pak De alias Komandan, Hendro, Taufik Buraga alias Upik Lawanga, Herman alias David, Fadlun alias Lun, Faris dan Anto.

Selanjutnya ada Sugiatno alias Su alias Abiny Irul, Can alias Fajar alias Muhammad Fuad, Ambo Intan alias Ambo alias Pambo, Ali Sannang alias Papa Kairul, Imron, Azis alias Papa Sifa, Sugir alias Yanto alias Mas Yanto dan Busro alias Dan alias Atif.

Kemudian ada Maskoro alias Daeng Koro alias Abduu Salam alias Sabar, Joko alias Kadir, Samil alias Nunung, Bogar, Hadit, Salahudin alias Jon, dan Ambo.

Selain itu, mulai Jumat (11/1/2013), Polri juga menggelar Operasi Maleo Aman I di Poso hingga akhir Januari 2013. Sebanyak 1.185 anggota Polri dan 170 personel TNI dikerahkan untuk mendukung operasi tersebut.

Menanggapi rilis 24 DPO yang dikeluarkan aparat kepolisian, pemerhati kontra-terorisme, Harits Abu Ulya menemukan fakta bahwa data yang disampaikan aparat itu invalid.

Menurut Harits, diantara 24 orang tersebut ada yang sudah meninggal dunia namun masih dirilis aparat sebagai DPO.

“Satu contoh fakta lagi invalidnya data aparat, rencana operasi Polri dengan sandi Maleo Aman 1 dengan mengerahkan personil 1.185 polisi dan 170 TNI dengan lokasi di Poso dan DPO berjumlah 24 orang. Dari daftar nama yang menjadi DPO ada yang sudah tewas tapi masih ada dalam daftar DPO, contoh; seorang yang bernama Maskoro alias Daeng Koro alias Abdul Salam alias Sabar,” ungkap Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), kepada voa-islam.com, Senin (15/1/2013).

Dari data aparat yang tidak valid itu, kata Harits justru akan menimbulkan pelanggaran hukum dalam operasi di lapangan.

“Nah, kita bisa melihat apa dampak kesalahan-kesalahan identifikasi dan penetapan DPO? Sangat besar berpeluang adanya pelanggaran demi pelanggaran hukum pada saat operasi aparat di lapangan,” ucapnya.

Di sisi lain, dari berbagai tindakan aparat khususnya Densus 88 yang telah melakukan berbagai pelanggaran hukum termasuk BNPT, Harits menegaskan agar kedua institusi tersebut dimintakan pertanggungjawabannya dan diaudit sumber pendanaannya.

“Sudah saatnya Densus 88 dan BNPT perlu diaudit dananya dan dimintai pertanggungjawabanya, lebih-lebih jika operasi tersebut menggunakan APBN alias uang rakyat. Apa karena dananya banyak hibah dari negara Amerika Cs lantas hanya bisa bertanggungjawab kepada Amerika, dengan cara makin intensifnya operasi di lapangan untuk perang melawan ‘teroris’ versi doktrin negara donatur Amerika Cs?” pungkasnya. [Ahmed Widad]


latestnews

View Full Version