View Full Version
Rabu, 31 Jul 2013

Road For Peace: Berbagi Cerita tentang Informasi, Budaya, & Bahasa

Catatan Perjalanan R4Peace (Bagian III)

Ada yang menarik dan berkesan ketika Tim HASI (Hilal Ahmar Society Indonesia) dan dua wartawan asal Indonesia bergabung dengan Road For Peace (R4P) dimana MaSSSA (Pertubuhan Solidariti Madani Malaysia) -- NGO Malaysia sebagai pelaksananya.

Kami tidak hanya sekedar mengikuti konvoi kemanusiaan, tapi juga saling bertukar informasi, saling mengenal satu sama lain sesama aktivis kemanusiaan, mencoba memahami bahasa yang berbeda, dan budaya satu sama lain, tak terkecuali soal makanan.

Begitu menginjak bumi Malaysia, banyak hal yang kami pelajari disana, terutama bahasa Melayu orang Malaysia. Saat memasuki bandara misalnya, kita baru tahu bahwa tandas adalah istilah dari toilet atau kamar kecil alias WC. Atau lepaskan kasut (sepatu) saat memasuki musholla. Atau Ramadhan disini sangat seronok yang artinya ramai. Bagi orang Indonesia, tentu saja kata seronok orientasinya adalah hal yang negatif.

Rupanya, bahasa Melayu di Malaysia juga banyak dialek (logatnya). Kami tim R4P asal Indonesia sempat kesulitan untuk memahami bahasa mereka. Kami sedikit mengerti dengan dialek Melayu Kuala Lumpur. Tapi, jika diantara mereka bercakap dengan dialek Kelantan atau Pulau Pinang, kami kembali terbengong-bengong, tanda tak paham. Meski kami mencoba memahami maksudnya. Lama-lama lidah kami orang Indonesia berlagak Melayu. Meski ucapan kami juga kurang dipahami orang Malaysia.

Lucunya lagi, saat kami mendengar koordinator R4P asal Malaysia menyebut kata “kebocoran” saat berada di mobil lewat talky-talky yang kami dengar. Kami tim R4P asal Indonesia mengira, kata kebocoran itu bermakna ada tangki bensin mobil yang bocor, ternyata kebocoran disini bermakna ada yang kebelet pipis, dan mobil yang berjalan diminta berhenti sejenak, mampir ke pom bensin untuk membuang air kecil.

Jika di Indonesia, minimarket seperti Seven Eleven (Sevel) dijadikan tempat nongkrong anak muda, sementara di Thailand, Sevel menjadi tempat persinggahan para pengemudi di setiap pom bensin.

Di Sevel, jika mencari minuman dan makanan pun tidak boleh sembarang. Kami harus terlebih dulu melihat logo halal pada produknya. Maklum, Thailand adalah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Di pelataran kantor, rumah, atau pom bensin bahkan disimpang jalan, kerap terlihat sebuah altar sesembahan dan sesajenan yang dilakukan oleh pemeluknya.  

Bukan hanya tim R4P asal Indonesia yang belajar memahami bahasa Melayu Malaysia, beberapa rekan NGO Malaysia pun belajar dan mencoba memahami bahasa Indonesia. Kami orang Indonesia pun melontarkan bahasa Alay (Indonesia gaul) yang pengucapannya sedang popular di  Tanah Air. Misalnya seperti galau, masalah buat loe, ciyus, miapah, nih yee, dan sebagainya. Temen NGO Malaysia pun meniru ucapan kami sambil tersenyum.

Tak kalah seru, ketika buka puasa bersama. Ada perbedaan nama ketika menyebut jenis makanan masing-masing negara. Bukan hanya itu, kami orang Indonesia merasa heran ketika pengendara motor di Malaysia perbolehkan masuk ke jalan tol hingga ke badan jalan. ”Gilee bener, motor boleh masuk ke jalan tol,” kata kami tikm R4P asal Indonesia.

Saat memasuki negeri Thailand, kami terbengong-bengong kembali dengan bahasa dan tulisan orang Thai. Kami pun banyak bercakap lewat bahasa isyarat. Sementara tak banyak orang Thai yang bisa berbahasa Inggris. Yang kami coba cari tahu dari bahasa Thai adalah Kap pung Kap yang artinya terima kasih.  

R4P tak sekedar perjalanan yang mengesankan, tapi juga sebuah pengalaman untuk memahami bahasa dan budaya yang berbeda masing-masing negara.[desastian]


latestnews

View Full Version