View Full Version
Senin, 06 Oct 2014

Bukan Haram Pemilihan Ketua MPR Dengan Cara Voting!!

JAKARTA (voa-islam.com) Mega, Jokowi dan PDIP, sesudah klenger, akibat kalah memperebutkan kursi pimpinan DPR, maka sekarang 'ngemis-ngemis' kepada Koalisi Merah-Putih dengan mengajukan calon dari DPD. Bahkan, mengharamkan pemilihan pimpinan MPR dengan jalan voting.

Dibagian lain, Partai Amanat Nasional (PAN) mengkritik pernyataan politisi PDI Perjuangan Pramono Anung yang menyebutkan sepanjang sejarah pemilihan pimpinan MPR tidak pernah dilakukan dengan cara voting, tapi dilakukan dengan musyawarah mufakat.

Anggota DPR Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan, pernyataan Pramono Anung tersebut tidak benar dan jauh dari fakta. Karena, pemilihan Ketua MPR lewat mekanisme voting sudah dilaksanakan sejak pemilu 1999 dimana kala itu ada banyak calon yang muncul untuk ikut bertarung.

Antara lain, kandidat ketua MPR yang ada saat itu M. Amin Rais, Husnie Thamrin, Nazri Adlani, Matori Abdul Djalil, Ginandjar Kartasasmita, Kwik Kian Gie, Hari Sabarno, dan Yusuf Amir Faisal. Masing-masing kandidat itu dinominasikan oleh para pendukungnya untuk menduduki kursi ketua MPR.

"Fakta historis seperti ini semestinya tidak dilupakan, kan belum begitu lama. Semuanya masih mudah diingat dan segar dalam memori dan ingatan banyak orang," ujarnya  kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/10/2014).

Ia menjelaskan, pemilihan pimpinan baru MPR saat itu dilaksanakan pada malam hari tanggal 3 Oktober 1999, kemudian anggota MPR yang ikut memilih tercatat 647 anggota. Menurut dia, sebelum pemilihan, konstalasi politik mengerucut kepada dua nama, yaitu M. Amin Rais dan Matori Abdul Jalil.

Namun, setelah pemungutan suara M. Amin Rais akhirnya keluar sebagai pemenang dengan 305 suara dan Matori Abdul Jalil 279 suara.

"Pemilihan itu berlangsung sangat demokratis. Syukurnya, semua pihak menerima hasil itu dengan lapang dada. Tidak ada yang walk out dan membuat pernyataan yang menyudutkan pemenang," ujarnya.

Selain itu, voting dalam pemilihan pimpinan MPR pernah juga dilaksanakan pada tahun 2004. Bedanya, pemilihannya dilaksanakan dengan sistem paket dan ada tiga paket kala itu.

Yakni, paket A (Koalisi Kebangsaan) mengusulkan nama Sutjipto (PDIP), Theo L Sambuaga (Golkar), Aida Zulaika Ismeth Nasution (DPD) dan Sarwono Kusumaatmaja (DPD). Kemudian, paket B (Koalisi Kerakyatan) mencalonkan Hidayat Nurwahid (PKS), AM Fatwa (PAN), HM Aksa Mahmud (DPD), dan Dr Mooryati Soedibyo (DPD). Sementara, paket C memilih abstain.

Pemilihan yang diikuti 668 dari 675 anggota MPR dilaksanakan siang hari tanggal 6 Oktober 2004. Hasil akhir pemungutan suara adalah Paket A 324 suara, Paket B 326 suara, Paket C 13 suara (abstain), dan terdapat 10 suara tidak sah.

Jadi, kata Saleh, berdasarkan fakta historis itu, pemilihan ketua MPR lewat voting sudah pernah ada dan tidak ada masalah. Karena itu, tidak tepat dan tidak benar disebut bahwa voting dalam memilih pimpinan MPR sebagai sesuatu yang ahistoris di pentas politik nasional.

"Perlu ditelusuri apa motif Pramono Anung dalam menyampaikan pernyataan seperti itu. Jangan-jangan hanya untuk menggiring opini bahwa pemilihan pimpinan MPR lewat voting dianggap tidak sah. Kalau itu yang dimaksud, tentu muatan politiknya sangat besar. Kasihan masyarakat dengan opini yang tidak berdasar seperti itu," tandas Ketua DPP PAN itu. 

Para gembong PDIP, seperti Mega, dan Koalisi Indonesia Hebat, alias partai pendukung Jokowi, yaitu dari PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPPI, mendadak melangsungkan pertemuan di rumah Mega, Jalan Teuku Umar, membahas konstalasi politik, berkaitan dengan pemilihan Ketua MPR. Bahkan, Mega menyuruh Wiranto menghubungi SBY, tapi hasilnya nihil. [jj/dbs/voa-islam.com]

 

latestnews

View Full Version