View Full Version
Senin, 06 Jun 2022

Gelar Silaturahmi Dai, Gerak Jabar Dorong Lahirnya UU Anti Islamophia Di Indonesia

BANDUNG (voa-islam.com) - Gerakan Islamphobia sudah saatnya diakhiri dengan berbagai hal termasuk dengan perlawan Anti Islamphobia. Diharapkan Gerakan Anti Islamophobia sendiri bisa menjadi alat pemersatu umat Islam itu sendiri.

Demikian disampaikan Ustadz Roinul Balad selaku ketua Gerakan Rakyat Anti Komunis (Gerak) Jabar saat memberikan sambutan dalam acara “Silaturahami Dai se-Jabar” yang dilajutkan dengan diskusi dengan mengambil tema: “Tarik Ulur UU Anti Islamophobia di Indonesia”, di Masjid Al Lathiif Kota Bandung, Rabu (01/06).

Ia menambahkan Gerakan Islamophobia sendiri telah menjadi media untuk memecah belah elemen masyarakat baik internal umat Islam maupun antar sesama anak bangsa. Tindakan Islamophobia ini, lanjutnya, jelas sangat mengganggu bahkan merusak keharmonisan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Padahal umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas, tapi justru takut pada agamanya sendiri. Tentu ini sungguh ironis,” imbuhnya.

Sementara itu Ketua Gugus Tugas Desk Anti Islamphobia, Dr.Ferry Juliantono dalam paparannya menyampaikan bahwa PBB sendiri yang pada 15 Maret 2022 lalu sudah menjadikan “Hari Anti Islamphobia” harusnya menjadi momen bagi pemerintah Indonesia untuk meratifikasi.

“Kami sendiri di Gugus Tugas sudah membuat rancangan UU Anti Islamophobia yang Insya Allah dalam waktu dekat akan kita sampaikan ke DPR RI untuk bisa menjadi UU,” paparnya.

Ferry sendiri menilai bahwa UU Anti Islamophobia di Indonesia sangat penting. Sebab, sambungnya, Indonesia yang mayoritas beragama Islam harusnya dirangkul, dilindungi untuk menjadi kekuatan dalam membangun NKRI yang sangat luas ini.

“Namun demikian penting kiranya kita khususnya unsur pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentinganya menyamakan dulu persepsi apa itu Islamophobia? Sebab jika tidak ada kesamaan persepsi maka semua pihak bisa membuat arti dan makna sendiri-sendiri dan akan sulit menyelesaikan persoalan bangsa akibat dari Islamphobia,” paparnya.

Ferry pun merekomendasikan agar persoalan-persoalan yang terkait dengan Islamphobia misalnya kriminalisasi ulama dan aktivis Islam harus diselesaikan secara terbuka dan fair. Dalam hal ini pihaknya juga akan mencoba melakakukan examinasi public terhadap kasus-kasus tersebut.

“Hal ini penting, sebab jika dibiarkan maka akan menjadi referensi orang atau kelompok lain,” jelasnya.

Sementara itu Dr. Hadiyanto A.Rachim,S.Sos,M.I.Kom selaku Akademi dan Pemerhati Sosial Politik dalam paparannya menyampaikan bahwa secara pribadi dirinya menilai tidak perlu adanya UU Anti Islamophobia khususnya di Indonesia. Ia berasalan Indonesia yang penduduknya moyoritas beragama Islam sangat ironis jika ada UU Anti Islamophobia. 

“Ini seperti ummat Islam yang mayoritas justru malah ikuat arus mainstream. Pasti ini persoalan yang mendasar,” jelasnya.

Namun demikian dirinya sangat setuju dan mendukung jika para pelaku penistaan agama Islam dan pelecehan terhadap ulama serta tindakan diskriminatif terhadap Islam harus mendapat mendapat penanganan hukum secara adil dan transparan. Dirinya pun mengajak elemen umat Islam untuk memiliki dan membangun kesadaran kolektif yang sifatnya kolaboratif.

“Kolaboratif tentunya dalam segala bidang, jangan sampai ekonominya jalan sendiri, politiknya jalan sendiri, atau pendidikannya jalan sendiri. Harusnya kolaboratif itu bukan sekedar tataran wacana atau diskusi saja melainkan dalam tataran praktik di lapangan,” ajaknya.

Sementara itu terkait dengan adanya Gerakan Islamophobia, KH. Athian Ali M.Dai.Lc.MA selaku Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) memberikan sarannya. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan kaum muslimin khususnya di Indonesia.

“Pertama, tidak melayani atau menanggapi apa yang dilakukan orang atau kelompok yang melakukan Islamophobia di mana tanggapan tersebut hanya dilakukan di dunia maya. Tetapi harus dilaporkan secara bersama-sama dan masif sehingga diharapkan aparat penegak hukum pun segera ambil tindakan,” ungkapnya. 

Kedua, menurut KH.Athian, jangan terbawa arus dengan pengkotak-kotakan Islam versi mereka misalnya istilah Islam Moderat, Islam radikal, Islam Garis Keras hingga Islam intoleran dan sebagainya.

“Yang ketiga adalah mendesak DPR RI untuk merativikasi keputusan PBB dimana 15 Maret sebagai hari Anti Islamophobia untuk keluarnya UU Anti Islamophobia,” ungkapnya. [syahid/voa-islam.com]

sumber: www.percikaniman.id


latestnews

View Full Version