View Full Version
Ahad, 27 Jul 2014

Pengalaman Pertama di Haram

Sahabat Voa-Islam...

Melihat Kakbah untuk pertama kali, rasanya seperti bertemu dengan kekasih yang dirindu meskipun sebelumnya tak pernah bersua. Buncah rasa di dada. Perjalanan panjang Madinah-Mekkah kemudian berjalan kaki dari penginapan ke Masjidil Haram yang berjarak sekitar 1,5 km seolah tak terasa.

Masjidil Haram! Akhirnya jasad ini bisa berkunjung ke tempat suci yang dirindu oleh semua mukmin sedunia. Setelah sujud syukur, dahaga makin terpuaskan dengan nikmatnya air zam-zam yang kemurnian rasanya benar-benar tak ada duanya. Inilah yang dinamakan air tawar yang suci. Tak berasa tapi menyegarkan. Rasanya begitu nikmat seolah ingin minum terus dan terus.

Rombongan langsung melakukan umrah ‘wajib’ di saat jamaah lain melakukan salat tarawih. Gelombang lautan manusia seputar Kakbah, Masya Allah luar biasa. Secara kasat mata, rasanya susah menembus lautan manusia itu. Tapi sebagaimana gelombang, ia janganlah disibak. Ikuti saja arusnya maka engkau akan sampai di pusarannya. Dengan jumlah rombongan yang tak sedikit (sekitar 50 orang), thawaf menjadi pelan, penuh kehati-hatian agar tak terpisah rombongan dan membaca bacaan secara keras.

Memandang Kakbah, ada satu tekad bahwa satu ketika saya harus bisa mendekatinya, menyentuhnya bahkan berlama-lama di sisinya. Dan itu tak perlu lama. Di hari-hari berikutnya, kegiatan thawaf adalah momen indah yang selalu membikin hati rindu dan syahdu jadi satu. Momen ini sangat pribadi sehingga tak jarang memisahkan diri dari rombongan menjadi satu pilihan yang harus diambil.

Salat di Hijr Ismail, awalnya enggan karena berjubelnya luar biasa. Selalu terbersit rasa hati tak tega untuk berdesak-desakan dengan muslim lain. Mereka mungkin memunyai permasalahan hidup yang lebih berat sehingga ‘harus’ menghiba cinta-Nya di posisi sedekat mungkin. Hingga di satu titik, saya pun merasa perlu untuk bisa salat di sana. Saya pun memunyai masalah untuk kuadukan pada-Nya. Dan ternyata, Alhamdulillah tidak sesulit yang dibayangkan semula untuk bisa masuk Hijr Ismail dan salat 2 rakaat. Bahkan di beberapa kesempatan, dalam satu kali thawaf, saya bisa masuk Hijr Ismail lebih dari satu kali.

Banyak kebaikan ditemui selama thawaf. Ada jamaah yang tangannya memegang satu pak tissu. Siapa pun boleh mengambil. Thawaf adalah momen banyak airmata tumpah selain juga keringat yang membanjir. Uniknya, hawa seputar Kakbah dikondisikan sedemikian rupa agar terasa sejuk seberapa pun banyaknya jamaah. Bukan hanya tissu, ada juga jamaah yang membagikan kipas terbuat dari plastik. Ah...begini seharusnya mukmin yang satu dengan mukmin yang lain. Saling membantu dan memudahkan urusan saudaranya.

Semua ras berkumpul di tempat suci ini untuk beribadah. Ketika banyak orang bilang bahwa orang Indonesia yang imut tubuhnya sering tergencet oleh orang-orang Afrika berkulit hitam, di sini sebaliknya. Orang-orang Afrika yang saya temui bertubuh sedang, tidak sebesar yang digambarkan jamaah lain. Mereka juga lumayan baik, tidak semuanya sendiri semua yang menghalangi diterjang. Jumlah mereka pun tidak begitu banyak.

Jamaah berwajah Eropa atau ras Kaukasia jauh lebih banyak saat itu. Mayoritas mereka berasal dari Aljazair, ada juga yang dari Kanada dan negara lainnya. Intinya, saya merasa nyaman berada di tengah mereka. Bila kebetulan ujung baju muslimah lain tak sengaja terinjak, dia akan mudah memberikan senyuman permakluman. Bila kaki seorang ‘brother’ terinjak atau ada siku yang tersenggol, maka wajah teduh penuh maaf meskipun tanpa didahului kata meminta maaf itu otomatis diberikan. Duhh...suasana damai seperti ini yang selalu dirindukan. Seperti inilah seharusnya cermin masyarakat yang tercelup akidah Islam itu.

Berbeda dengan thawaf, sa’i adalah rangkaian ibadah umrah yang harus dijalankan. Tujuh kali bolak-balik antara Safa dan Marwah. Nuansa yang muncul mengingatkan saya pada parade jalan sehat di pagi hari dengan orang sekampung. Setelahnya, tahalul atau memotong rambut menjadi penutup rangkaian umrah. Beberapa jamaah laki-laki memilih untuk menggunduli rambut mereka di tukang potong rambut yang banyak tersedia di dekat Masjidi Haram. [riafariana/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version