View Full Version
Senin, 19 Oct 2015

Resensi: Membincang Problematika Umat dengan Kicauan

Judul Buku: Dari Jilboobs Hingga Nikah Beda Agama

Penulis     : Awy A. Qalawun

Penerbit   : Mizania

Cetakan   : I, Februari 2015

Tebal       : 234 halaman

                Teknologi telah mengubah banyak hal saat ini termasuk cara berdakwah. Berasal dari kicauan di media sosial twitter,penulis yang bernama pena Awy A. Qalawun mengeluarkan buku. Karena topiknya yang tidak bisa dibilang ringan, laki-laki kelahiran 1983 ini merasa perlu menyertakan latar belakang pendidikannya pada bagian tersendiri.

                Judul buku mampu memberikan gambaran bahwa topik yang dibahas cukup beraneka-ragam. Mulai diskusi seputar thaharah, salat, zakat, puasa, zakat, pakaian syar’i, wanita dalam Islam, rumah tangga, hingga hal-hal umum di masyarakat termasuk transaksi. Sayangnya, dalam bab pakaian syar’i, sedikit sekali disinggung tentang fenomena jilboobs dan itu pun hanya menjadi sambilan dalam paragraf akhir. (hal. 112)

                Bab thaharah, salat, zakat, puasa dan zakat berisikan kicauan yang sudah jamak ditanyakan. Semisal batal tidaknya wudhu bila suami istri bersentuhan, mengqodho salat atau puasa, aturan zakat dan semisal. Penulis memberi jawaban dengan menyajikan pendapat masing-masing imam madzab yang empat yaitu Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’i. Semuanya dijabarkan secara pendek dan singkat. Namanya juga kicauan. Hal ini diyakini sendiri oleh penulis di bagian akhir buku.

                Untuk masalah kontemporer, penulis membahas masalah nikah beda agama yang ide ini banyak digagas oleh orang JIL (Jaringan Islam Liberal). Setelah memberikan argumennya, sayangnya di akhir penulis menyerahkan pada masing-masing orang apabila nekat ingin nikah beda agama. Bahkan jika ada muslimah  menikah dengan laki-laki kafir (penulis menolak sebutan kafir dan diganti dengan non muslim)penulis berharap hal ini dinilai sebagai ijtihad bila disandarkan pada pendapat kaum liberal. Meskipun di akhir kalimat diberi embel-embel ‘meskipun caranya aneh, atau bahkan salah (hal. 163).

                Hal ini berlaku juga pada bahasan tentang hukum mengucapkan selamat Natal pada umat Kristiani. Hanya mendasarkan tak adanya dalil yang menyebutkan tentang haramnya hal ini, maka penulis tidak mengharamkannya. Lebih jauh, ia menyebut mereka yang mengharamkan pengucapan selamat hari Natal sebagai pembuat syariat baru. (hal. 216).

                Membaca buku ini yang disampaikan dengan bahasa ‘nyantai’ cukup membuat pembaca harus memunyai filter yang bagus sebelumnya. Terlepas dari ketidakkonsistenan penggunaan kata ‘aku’ dan ‘saya’ yang berubah-ubah tak tentu tempatnya, buku ini cukup renyah terutama bagi pembaca awam. Sebagaimana nama twitter, kicauan ini cukuplah bila sekadar untuk membunuh waktu luang. (riafariana/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version