View Full Version
Jum'at, 06 May 2016

Kisah Mualaf Paul dari Austin, Ingin Menyangkal Al Quran Membawanya pada Islam

Namaku Paul tapi sejak masuk Islam aku lebih suka dipanggil Faruk. Aku tumbuh dan besar di kota sebelum akhirnya pindah ke kota Austin. Masa remajaku cukup normal, sekolah dan bergaul dengan teman-teman sebagaimana yang lain.

Awal aku mengenal Islam atau lebih tepanya Muslim adalah peristiwa 9 September yang heboh itu. Saat itu aku tidak tahu apa maksud dari 9 September dan apa hubungannya dengan Islam atau Muslim. Dari situ aku kemudian mencari tahu. Aku benar-benar tidak tahu tentang Islam, bahkan susah membedakannya dengan agama lain yang pemeluknya memakai turban di kepala. Bagiku, kedua agama ini seolah sama saja.

Aku pun berusaha mencari kebenaran dari berbagai sisi, apa yang benar dan apa yang salah. Aku berusaha memahami mengapa terjadi perang di dunia ini, mengapa agama biasanya dijadikan alasan atas peperangan yang ada, dan sebagainya.

Akhirnya aku menemukan kebenaran, penyebab sesungguhnya dari adanya perang di dunia ini. Brother Martin memintaku untuk membaca Al Quran dan mencarinya di sana. Banyak kebenaran yang ditemui di dalam Al Quran. Padahal saat itu aku membaca A Quran karena ingin menyangkal isinya. Aku berharap menemukan ‘sesuatu’ sehingga bisa berkata bahwa ‘isi Al Quran ini salah’. Tapi aku sama sekali tak bisa menemukan satu kesalahan pun di dalam Al Quran.

...Aku berharap menemukan ‘sesuatu’ sehingga bisa berkata bahwa ‘isi Al Quran ini salah’. Tapi aku sama sekali tak bisa menemukan satu kesalahan pun di dalam Al Quran...

Brother Martin saat itu berkata padaku, “Perhatikan, banyak kedalaman makna yang bisa kamu dapatkan dari Al Quran. Perhatikan lebih dalam lagi, ada maksud tertentu di dalam keajaiban Al Quran ini.”

Beberapa saat kemudian, aku pun berikrar syahadat di masjid dan bersalaman dengan Imam masjid. Saat itu ada sekitar 400 jamaah menyaksikan keislamanku. Benar-benar momen yang menyentuh meskipun sederhana.

Usai bersyahadat, kudengar ada salah seorang ikhwan menangis di belakangku. Seperti anak kecil, aku pun bertanya padanya, “Mengapa kamu menangis? Ini hal yang baik kan aku masuk Islam.” Baru setelah kemudian aku paham tentang Islam secara lebih baik, aku memahami makna tangisan ikhwan tersebut ketika aku baru saja bersyahadat.

Setelah masuk Islam, aku harus menghadapi reaksi keluarga. Ketika akan salat Subuh, aku sempat takut ayahku mendengar aku membaca Quran dalam salat. Aku pun melakukannya dengan sangat pelan-pelan. Ayahku belum tahu tentang keislamanku.

Ayahku adalah veteran perang Vietnam. Dia adalah sosok yang sangat khas barat dan agak rasis terhadap Islam. Jadi memberitahunya tentang keislamanku adalah hal yang menakutkan sekali saat itu. Aku butuh mempersiapkan diri dulu. Aku pun memilih meninggalkan rumah.

Dua bulan kemudian aku memberitahu ayah tentang keislamanku. Brother Martin membantuku meyakinkan ayah. Alhamdulillah ayah bisa menerima kabar ini dengan baik. Setiap brother Martin datang, ia pun mengucapkan salam pada ayah. Aku berharap satu ketika nanti ayah juga akan bersyahadat. Dan untuk ibu, aku berharap kita bisa berbincang tentang Islam dan satu ketika nanti hati pun pun bisa menerima kebenaran Islam. Insya Allah. (riafariana/sunnahway/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version