View Full Version
Ahad, 10 Jul 2016

Konsep Adab dalam Islam

“Mengenai sebab dalaman dilemma yang kita hadapi sekarang bagi saya, masalah dasar dapat disimpulkan pada suatu krisis yang jelas saya sebut sebagai kehilangan adab (the loss of adab). (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2011, hal. 129).

Adab merupakan salah satu prasyarat penting bagi para penuntut ilmu dan kepada siapa ilmu diberikan. Menurut Syaikh Muhammad Najih Maimoen, dalam pendidikan Islam terdapat tiga komponen penting yang harus dimiliki oleh mu’allim dan muta’allim yaitu ilmu yang benar, amal, dan adab.

Adab dijelaskan oleh sebagai pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan, dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan untuk disiplin diri agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal. 129). Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah swt dan ‘meletakkan’-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan (Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, hal. 78).

Adab merupakan sebuah keniscayaan dan telah lama berakar dalam ajaran Islam. Berwudlu’ sebelum memegang kitab suci Al-Quran merupakan adab terhadap sumber ilmu yang benar. Keseluruhan ibadah terhadap Allah Ta’ala sesungguhnya merupakan bentuk adab manusia sebagai hamba terhadap Penciptanya. Dalam Al-Quran, seorang anak harus selalu berbuat dan bergaul dengan baik orang tuanya walaupun tanpa harus mengikuti kekafiran mereka. Pemimpin yang fasiq tidak semestinya dilengserkan kecuali ketika memerintahkan terhadap kekafiran, tetapi perlu diingatkan dengan nasehat yang benar.

Adab ditampilkan sebagai sikap selayaknya terhadap otoritas yang sah, dan otoritas yang sah mengakui hirarki otoritas yang puncaknya adalah Nabi Muhammad SAW. Pengakuan tersebut adalah dengan penghormatan, cinta, kerendahan hati dan kepercayaan yang cerdas atas ketepatan ilmu yang ditafsirkan dan dijelaskan oleh otoritas tersebut. Penghormatan, penghargaan, cinta, kerendahan hati dan kepercayaan yang cerdas hanya akan terwujud pada seseorang jika ia mengakui hakikat bahwa ada suatu hirarki dalam tingkatan manusia dan dalam otoritas mengikuti kecerdasan, ilmu spiritual dan budi pekerti. (Al-Attas, Ibid., hal. 130).

Pesantren telah menanamkan pendidikan adab sejak berabad-abad lamanya. Penanaman adab tersebut bukan hanya dalam beretika antara guru dan murid, namun juga dalam pemilihan ilmu-ilmu yang diajarkan yang berasal dari para otoritas berwibawa (ulama) yang diakui kesinambungan ilmu sampai pada ajaran Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama dan tindakan para shahabat (maa ana ‘alaihi wa ashhabi) seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Alfiyyah li Ibn Malik, Tafsir al-Jalalain, Bulugh al-Maram, Ta’lim al-Muta’allim, dsb.

Maka dari itu, apabila sekarang di dunia pendidikan Indonesia sedang ramai penggalakan pendidikan berkarakter, maka akan timbul pertanyaan: Apakah cukup? Sekarang kata “akhlak” diganti dengan kata “karakter”. Karakter diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tapi karakter juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara drama atau lakonan.

Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Sangat manusiawi tapi tidak mesti berdimensi Ilahi. Seorang bisa berkarakter tapi belum tentu beradab. Pemimpin berkarakter jika ia seorang yang tekun, berwibawa, santun dengan masyarakat, namun ia tidak beradab jika melegalkan judi, minuman keras, tempat prostitusi, dsb. Maka, bagi umat Islam pendidikan karakter saja tidak cukup namun juga pendidikan adab.

Pengingkaran terhadap adab menimbulkan kekacauan (chaos) dan ketidakadilan, yang pada gilirannya menampakkan kebingunan atau kekeliruan dalam ilmu. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebingungan terhadap ilmu ini akan berdampak pada munculnya pemimpin-pemimpin palsu yang akan menambah pesatnya kekeliruan ilmu dan ketidakadilan. Dalam keadaan seperti inilah peran ulama yang benar akan hilang (mati) dan manusia-manusia jahil akan bermunculan. Hal inilah yang telah diingatkan Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama beabad-abad lalu dalam Hadits dari Abdullah bin ‘Amr  bin al-‘Ash:

لا يقبض الله العلم إنتزاعا ينتزعه من عباده، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا

“Allah tidak mencabut ilmu dengan serta-merta dari hamba-hambanya, namun Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa ulama sehingga ketika nanti tidak lagi ada orang alim maka manusia akan bertanya tentang perihalnya kepada orang-orang jahil lalu mereka memberi fatwa, dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (Ibn Abi Jamrah, Mukhtashar al-Bukhori, hadits no. 14)

 لا تقوم الساعة حتى يقبض العلم

 “Hari Kiamat tidak akan datang sehingga ilmu dicabut.” (Ibid., hadits no. 60)

Mengenai peseorangan, kekeliruan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan alamnya (worldview) sering menjadikan jenis individu yang angkuh; ia berfikir bahwa dirinya setara dengan orang lain yang sebenarnya lebih unggul darinya, kerasa kepala, angkuh, dan cenderung menolak otoritas. Ia merasa dirinya tahu padahal tidak tahu. Merasa benar padahal salah. Akhirnya nafsu yang menguasai tindakan dan keputusannya dalam hidup.

Pengingkaran terhadap hirarki otoritas ini menimbulkan kebingungan terhadap ilmu yang akhirnya menjerumuskan mereka kepada keraguan. Sikap ragu (shakk, rayb, skeptic) inilah yang menimbulkan kesalahan ilmu yang terus-menerus. Kebingungan menurunkan murid yang bingung, begitu seterusnya. Kesalahan dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu.

Dengan memahami konsep adab ini mampu sebagai alat diagnose terhadap krisis keilmuan yang sedang mewabah di kalangan muslim. Syi’ah tidaklah beradab karena mengingkari kekhilafahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mencemooh Aisyah, bahkan menganggap Nabi Muhammad telah ‘menggarong’ kenabian dari Ali.

Tidak beradab pula golongan yang mengingkari madzahib al-arba’ah sebagai rujukan syariat yang dapat dipertanggungjawabkan. Kaum liberal, feminis, dan sekuler juga sangat tidak beradab karena merombak hukum-hukum Allah yang telah dipertahankan oleh selama beabad-abad dan berguru kepada kaum orientalis yang mendasarkan pandangannya terhadap Islam pada sikap skeptis dan agnostis. Belum lagi tentang Ahmadiyah, Lia Eden, Bathiniyyah, dsb. WaLlahu A’lam.


latestnews

View Full Version