View Full Version
Rabu, 31 Jul 2019

Sarjana Milenial: Harapkan Gaji Jutaan, Ternyata Jadi Pengangguran?

 

Oleh: Ragil Rahayu, SE

Viral, sebuah postingan di medsos tentang fresh graduate Universitas Indonesia (UI) yang menolak gaji Rp8juta perbulan di sebuah perusahaan lokal. Terlepas dari postingan tersebut jujur atau tidak, mendapat gaji besar adalah impian setiap lulusan perguruan tinggi. Apalagi PTN yang terkategori favorit. Lebih-lebih jika diterima di perusahaan internasional, terbayang sudah berapa digit gaji yang diterima. Bayangan hidup mapan setelah lulus kuliah seolah sudah di depan mata. Berbekal ijazah sarjana siap untuk menyongsong masa depan nan gemilang.

Sayangnya realita tak sesuai dengan harapan. Di era 90-an Iwan Fals telah merilis lagu yang populer berjudul "Sarjana Muda". Salah satu liriknya berbunyi : "Engkau sarjana muda, lelah mencari kerja, tak berguna ijazahmu. Empat tahun lamanya, bergelut dengan buku, sia-sia semuanya."

Inilah realita yang sebenarnya. Banyak sarjana kini menjadi pengangguran. Kesana-kemari mengirimkan lamaran pekerjaan, namun tak kunjung mendapat panggilan. Kalaupun ada pekerjaan, seringkali digaji pas-pasan. Dengan alasan belum punya pengalaman. Nah, bagaimana bisa punya pengalaman jika pekerjaan pertama begitu sulit didapatkan?

Namun yang mendapat kerja itu dianggap sudah beruntung, meski gajinya mepet UMR. Sedangkan yang lainnya bernasib mengenaskan. Sudah puluhan lamaran dilayangkan, namun semua zonk alias gagal. Akhirnya profesi sopir ojek online dilakoni. Meski tak sesuai keahlian yang didalami di bangku kuliah. Bukan hendak merendahkan profesi tertentu, tapi sepertinya tak ada satu pun mahasiswa yang bercita-cita menjadi sopir ojek online. Namun profesi itu dilakoni juga, demi mengganjal perut yang kelaparan. Karena jatah uang saku dari orang tua sudah dihentikan, sementara pekerjaan tak kunjung didapatkan. Lebih baik bekerja, meski seadanya.

Hal ini sebagaimana yang terjadi di Malang. Dilansir dari suarasurabaya.net, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) menyatakan mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Kota Malang, Jawa Timur, yang enggan pulang kampung, mendominasi jumlah pengangguran di kota pendidikan tersebut. Para fresh graduates ini tak memilih pulang kampung karena sulitnya mendapat pekerjaan di kampung halaman. Apalagi jika dilihat tetangga sudah sarjana tapi masih nganggur, tentu membuat malu sekeluarga.

Para sarjana ini akhirnya memilih bertahan di kota, meski tak punya pekerjaan. Setidaknya untuk menghindari nyinyiran tetangga di kampung. Namun kehadiran mereka di kota juga membawa masalah baru. Pengangguran kian banyak jumlahnya. Tentu bukan salah para sarjana, karena mereka tak pernah bercita-cita menjadi manusia tanpa karya. Pun juga bukan karena malas usaha. Tak terhitung lamaran kerja dikirimkannya. Jika hasilnya nihil, tentu bukan salah para mantan mahasiswa. Tak sedikit di antara mereka yang memiliki indeks prestasi tinggi. Namun sukses ternyata tak melulu soal nilai.

Pemerintah memang telah membuat job fair dan sejenisnya. Juga membuka lowongan menjadi ASN. Pesertanya membludak, namun yang diterima sangat sedikit. Ini karena pemerintah hanya berfungsi sebagai penghubung antara pencari kerja dan perusahaan. Padahal seharusnya negara bertanggungjawab menyediakan lapangan pekerjaan, berapapun mahasiswa yang lulus tiap tahunnya. Solusinya tak cukup dengan rekrutmen ASN, karena terlalu banyak ASN justru tak efektif. APBN dan APBD bisa habis hanya untuk belanja pegawai. Lantas solusinya apa?

Pengolahan kekayaan alam secara mandiri dan efektif adalah jawabannya. Sehingga membuka banyak lapangan kerja, untuk rakyat sendiri. Baik tenaga profesional maupun yang sekadar modal tenaga. Juga pengelolaan energi secara mandiri, dari hulu hingga hilir pasti butuh banyak tenaga kerja. Ditambah pertanian yang dimodernisasi. Sehingga banyak bidang bisa jadi mata pencaharian. Bukan cuma menanam lalu sudah selesai. Ah, tapi hal itu semua butuh negara bervisi.

Visi jangka panjang untuk kemajuan negeri. Bukan visi basa basi eh ternyata mengundang investasi. Tinggallah rakyat gigit jari. Toga dan ijazah tersimpan rapi. Namun kesejahteraan tak kunjung terealisasi. Justru makin tergusur dengan datangnya tenaga asing yang katanya lebih mumpuni. Mereka datang dengan undangan penguasa negeri. Lantas para sarjana harus kerja dimana? Di luar negeri kalah berkompetisi, di dalam negeri terdesak oleh tenaga asing. Katanya rakyat disuruh kerja kerja kerja, kerja dimana? Sayup-sayup terdengar suara penguasa, "Bukan urusan saya."

Ah, jadi ingat kisah Nabi Muhammad SAW yang mengarahkan pengangguran untuk membeli kapak dan mencari kayu bakar di hutan. Dengan kayu itu dia memberi makan keluarganya. Juga kisah Umar bin Khaththab yang memberi benih pada seorang pengangguran yang berdoa di masjid, agar ia bercocoktanam. Tak lupa juga kisah Umar bin Abdul Aziz yang mengentaskan semua pengangguran hingga tak ada fakir muskin mustahiq zakat. Teringat juga visi jihad Muhammad al Fatih untuk menaklukkan Konstantinopel, hingga melibatkan mayoritas rakyatnya dalam industri militer, selain tentara yang berangkat perang.

Semua kisah itu menggambarkan betapa sayangnya penguasa dan sistem Islam pada rakyatnya. Tak ada satu nyawa pun yang dibiarkan kelaparan atau tak punya pekerjaan. Semua dipenuhi hajatnya. Saat itulah menuntut ilmu tak sekadar untuk membanggakan nama kampus atau besaran penghasilan, tapi besarnya kemanfaatan bagi umat. Itulah hakikat kesuksesan. (*)


latestnews

View Full Version