View Full Version
Sabtu, 17 Aug 2019

Kemaksiatan di Malam Tasyakuran Hari Kemerdekaan, Miris!

Tasyakuran malam 17 Agustus. Bagaimana kabarnya, kawan? Syahdukah? Mengingat perjuangan para pahlawan yang rela mengorbankan diri, harta, keluarga bahkan nyawa. Atau sebaliknya? Setelah seremoni basa-basi dan ditutup doa secuil, hura-hura gegap gempita mengisi perayaan kemerdekaan negeri dari tahun ke tahun?

Seorang kawan bercerita bahwa di kampungnya, malam tasyakuran diisi dengan penampilan anak SD lengkap dengan seragamnya berdansa-dansi mesra dengan lawan jenis. Para orang tua yang ada di situ malah bersorak menyemangati dan memvideokan. Miris!

Yakin kejadian serupa tak hanya di satu tempat saja. Nyaris semua panggung tirakat yang seharusnya berisi rasa syukur atas kemerdekaan dari penjajah, diisi dengan penjajahan gaya baru. Penjajahan akan jahilnya cara mengisi kemerdekaan. Penjajahan akan jahilnya terhadap serangan budaya yang tak sesuai dengan kepribadian bangsa apalagi agama dalam hal ini Islam.

Dari tahun ke tahun tradisi seperti ini seolah dilestarikan. Berbahagia karena Indonesia merdeka, katanya. Haruskan rasa bahagia itu diwujudkan dalam bentuk kejahilan berupa kemaksiatan seperti itu?

Pernah nggak sih ada yang berpikir bahwa perayaan demikian sesungguhnya merusak mental dan moral anak-anak bangsa secara laten?

Bayangkan jika sejak kecil mereka dibiasakan merayakan kemerdekaan dengan hura-hura dansa-dansi serupa itu. Sejak seragam putih merah seolah dimaklumi saat mereka bermesraan dengan lawan jenis. Bukan hanya dimaklumi, disoraki, didukung, diabadikan melalui foto dan video dan kemudian dibanggakan ke mana-mana. Sedikit lebih besar mereka kemudian menjadi generasi gaul bebas sehingga bayi tak berdosa lahir di mana-mana akibat perzinaan. Inikah generasi yang mereka harapkan? Naudzubillah.

Begadang semalam suntuk menjelang pagi, adalah lanjutan dari kegiatan yang katanya tasyakuran. Apa kabar salat Subuh berjamaah di masjid? Jangankan berangkat ke masjid, apa kabar salat Subuh di rumah tanpa acara kesiangan? Jangan-jangan bablas pula karena tubuh terlalu lelah setelah semalam menghabiskan malam dengan alasan tirakat dan tasyakuran.

Pernahkah terpikir di benak mereka, inikah yang dimau oleh para pahlawan yang telah gugur itu? Hura-hura dan foya-foya dengan alasan bergembira karena telah merdeka seperti inikah bentuk rasa syukur itu? Tidakkah ada cara lain untuk memaknai kemerdekaan dengan lebih hakiki?

Merdeka dari penjajah bernama Jepang dan Belanda secara fisik, memang iya. Tapi bagaimana dengan penjajah bernama pendangkalan akidah yang terus dilancarkan setiap hari? Keteguhan menjalankan syariat Islam dilabeli teroris. Keinginan untuk diatur oleh hukum Allah dan bukan hukum peninggalan penjajah Belanda, dianggap mengancam eksistensi negeri. Sudahkah kita merdeka atau masih terus dijajah oleh mereka yang juga menyebut dirinya muslim tapi enggan diatur oleh hukum Islam?

Harusnya momen tirakat semalam diisi dengan renungan seperti ini. Karena dari renungan ini, akan muncul satu sudut pandang baru bagaimana mensyukuri kemerdekaan selama 74 tahun ini. Setelahnya akan muncul amal yang itu akan menjadi sumbangsih bagi negeri untuk generasi yang lebih baik. Generasi yang menjaga diri karena pemahaman agamanya tentu jauh lebih bisa diandalkan daripada generasi yang hobi foya-foya dan hura-hura. Dan ini menjadi PR bersama untuk mensterilkan panggung tirakatan dari maksiat menjadi panggung tirakatan yang penuh dengan ketaatan pada Allah dan segenap hukumNya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version