View Full Version
Selasa, 10 Sep 2019

Hijrah, Gaya Hidup atau Kebutuhan?

 

Oleh: dr. Arenta Mantasari*

Kata hijrah menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir. Ia sering disematkan pada personal-personal yang berubah ke arah yang lebih baik, yang awalnya jauh dari nilai-nilai agama, kemudian berproses menjadi hamba Allah yang taat. Fenomena hijrah pun terus merambat dari satu segmen ke segmen masyarakat lainnya.

Bila awalnya ia diinisasi oleh para aktivis di dunia kampus, lambat laun gelombangnya menyapa kalangan ibu-ibu muda, orang kantoran, anak sekolah, bahkan yang paling kekinian adalah para public figure. Makin menjamur kajian-kajian Islam di berbagai tempat dengan berbagai nama, dengan satu semangat yakni semangat hijrah. Tak heran tagline sahabat hijrah, komunitas hijrah, pun tagar #YukHijrah dan lain sebagainya pun makin banyak ditemui. Sebuah fenomena yang patut disyukuri dan terus digelorakan bersama.

Sebuah hal menarik ketika beberapa waktu yang lalu beredar video salah seorang penceramah yang mengkritik fenomena hijrah ini. Menurut beliau, ada pihak-pihak tertentu yang ingin mendulang manfaat dari masyarakat yang sedang demam hijrah. Masih menurut beliau, banyak kajian maupun forum yang menjual “sertifikat hijrah” dengan banderol harga tertentu, padahal dari forum-dorum tersebut tidak dapat dipastikan manfaatnya bagi orang-orang yang hadir. Sehingga menurut beliau, kaum Muslimin tidak seharusnya terlalu euforia dengan fenomena hijrah ini, justru harus berhati-hati karena ada udang di balik batu.

Apa Itu Hijrah?

Kata hijrah merupakan serapan dari bahasa Arab, yang artinya berpindah atau perpindahan. Masalahnya, perpindahan seperti apa yang dimaksudkan? Jika diulas dari sisi bahasa saja, hijrah bisa berarti sekadar berpindah dari sesuatu ke sesuatu yang lain, atau meninggalkan sesuatu menuju sesuatu yang lain. Misal seseorang yang berganti domisili dari kota A ke kota B, itu sudah dikatakan hijrah. Namun makna hijrah tak sesempit itu. Secara syar’i, hijrah berarti berpindah, meninggalkan atau menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan (Ibnu Rajab al-Hanbali, dalam Fathul Bari). Sehingga jika dijabarkan lebih lanjut, maka cakupan dan bahasan hijrah akan menjadi jauh lebih luas lagi.

Bila kembali pada definisi di atas, maka fenomena hijrah yang melanda kaum Muslimin dunia, khususnya di Indonesia, saat ini tentu termasuk dalam definisi kedua. Yaitu perubahan ke arah yang lebih baik. Sayangnya, banyak pihak yang membatasi hijrah mereka pada perkara tertentu semata. Ambil contoh ada yang berhijrah pakaian saja, atau berhijrah pola makan saja, atau pun berhijrah dari yang awalnya merupakan pelaku riba menjadi tidak sama sekali. Sedang selain itu mereka masih acuh dan bertahan dengan kebiasaan lama. Apakah hal tersebut keliru? Tidak sepenuhnya, namun bisa dikatakan orang-orang tersebut belum berhijrah secara kaffah.

Sebagai seorang Muslim, Rasulullah saw merupakan satu-satunya uswah hasanah. Dan dalam 23 tahun perjalanan dakwah beliau, berbagai kitab sirah menuangkan perjalanan hijrah beliau dari kota Mekkah menuju Madinah. Apakah dalam hijrahnya tersebut, Rasulullah saw hanya berpindah tempat tinggal semata? Ataukah ada aspek lain dari hijrah beliau saw beserta para shahabatnya dari kalangan muhajirin?

Hijrah ala Rasulullah

Sejarah mencatat, hijrah Rasulullah terjadi di tahun ke-13 kenabian, setelah beliau melakukan perjuangan dakwah yang menguras tenaga, pikiran, harta, jiwa bahkan nyawa bersama para shahabat di Mekkah al Mukarromah. Hal ini terjadi setelah semakin parahnya perlakuan tak menyenangkan dari kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah dan para shahabat, sebagai respon atas dakwah Islam mabda yang mereka sampaikan. Penyiksaan secara verbal maupun fisik, terpisah dari keluarga dan pasangan yang disayangi, bahkan pemboikotan selama 3 tahun telah dialami.

Tersebab kondisi dakwah yang semakin sulit, ditambah jumudnya para penduduk Mekkah sehingga pikiran dan hati mereka kebal terhadap cahaya kemuliaan Islam, akhirnya perintah hijrah pun turun. Hijrah menuju sebuah wilayah yang bernama Yatsrib, yang siap menerima, men-support dan membela dakwah Rasul, sehingga dakwah Islam dan penegakan syariat-syariat-Nya dapat terwujud secara total.

Satu hal menjadi catatan pada hijrah Rasulullah ini adalah, bahwasannya beliau tak hanya pindah tempat tinggal atau tempat berdakwah. Ada sebuah poin penting yang terkadang luput dari penikmat sirah beliau yakni perbedaan antara Mekkah dan Madinah. Esensi hijrah dapat kita temukan dalam perjalanan beliau ini, ketika kita memposisikan Mekkah saat itu sebagai tempat yang dipenuhi keburukan, dan Madinah sebagai tempat yang dipenuhi oleh banyak kebaikan.

Mengapa saat itu Mekkah dikatakan berisi keburukan? Karena dakwah Islam tak bisa berkembang di sana, sehingga masuk Islamnya masyarakat pun menjadi terhalang. Lebih-lebih jika melihat  kemustahilan diterapkannya syariat Islam. Jangankan syariat seputar hablumminannas, ibadah ritual saja amat sangat dimusuhi serta dibatasi sedemikan rupa oleh kaum kafir Quraisy. Kondisi yang teramat buruk jika dilihat dari kacamata Islam.

Di sisi lain, Madinah saat itu gemilang sebagai efek keberhasilan dakwah Mush’ab bin Umair ra. Kota suci ini siap 100% untuk menerima dakwah Rasulullah, bahkan siap berperang demi membela agama Allah. Bahkan termasuk mereka ridho Rasulullah memimpin serta mengatur hidup mereka dengan syariat Islam. Sungguh sebuah kondisi yang berkebalikan dengan yang ada di Mekkah. Sampai-sampai satu hadits Rasulullah menyatakan : Madinah ibarat tungku api (tukang besi) yang dapat membersihkan debu-debu kotor dan membuat cemerlang kebaikannya (HR. Bukhari).

Hijrah Zaman Now

Kondisi getirnya dakwah Rasul pada fase Mekkah kurang lebih dapat dianalogikan seperti dakwah di era ini. Opini-opini Islam dianggap virus mematikan yang harus dieradikasi, bahkan para penyampainya tak luput dari kursi pesakitan. Dipersekusi secara verbal dan tulisan, dilabeli sebagai radikalis yang layak untuk dibunuh karakternya, bahkan beberapa di antaranya menjadi penghuni hotel prodeo. Semuanya terjadi karena terganggunya kepentingan pihak-pihak yang berkuasa, entah ia berlabel penguasa maupun orang-orang di belakangnya. Persis seperti pembesar Quraisy yang bergoyang singgasananya akibat dakwah Rasul yang menyerang sistem kufur jahiliyah saat itu.

Indonesia dan dunia saat ini dapat dikatakan sama persis dengan Mekkah pra hijrah Rasul yang mengandung keburukan, kerusakan dan kebathilan. Berbagai kebaikan yang nampak hanya bersifat semu, karena seburuk-buruk kondisi bagi seorang Muslim adalah ketika syariat Islam tidak ditegakkan. Harus ada seruan hijrah yang terus digelorakan di seluruh penjuru negeri kita tercinta ini, agar mewujud hijrah hakiki tidak hanya pada tataran individu, melainkan mewujud pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bukan pula menyempitkan makna hijrah sebagai suatu gaya hidup, melainkan menjadi sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan.

Sebagaimana Rasulullah dan para shahabat tidak mencukupkan kebaikan hanya bagi diri mereka semata, namun terus berdakwah dan berupaya serius mewujudkan masyarakat Islam yang satu pemikiran, perasaan dan peraturannya. Sehingga ketika kita ingin merealisasikan seluruh sunnah-sunnah beliau, salah satu yang harus serius kita ikhtiarkan saat ini adalah hijrah hakiki menuju segala kebaikan Islam. Berdakwah tanpa kenal lelah, menyadarkan umat akan urgensi menjemput rahmatan lil alamin melalui penerapan Islam secara kaffah.

Ialah Rasulullah yang berkorban banyak hal, demi mewujudnya sebuah institusi pelaksana syariat Islam bernama Daulah Islam Madinah. Maka kita sebagai pengikutnya pun harus siap berjuang serta berkorban untuk menjemput bisyarahnya, yakni Khilafah ‘ala minhaaji an-nubuwwah. Sehingga akan kembali tersemat sebuat khoiru ummah dalam diri kaum Muslimin sedunia. (rf/voa-islam.com)

*Penulis adalah anggota Muslimah Peduli Generasi.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version