View Full Version
Sabtu, 21 Sep 2019

Kerja Seorang Muslim

 

Oleh:

Faris Ibrahim

Mahasiswa Akidah- Falsafah universitas al- Azhar, Kairo

 

DI BUKUNYA Mīlad Mujtama’, Mālik bin Nabī‒ filsuf peradaban dari Aljazair‒ memandang bahwa masalah yang menimpa kaum muslimin sebagai akibat daripada mundurnya peradaban Islam tersimpul dalam beberapa hal: satu dari sekian permasalahannya adalah keadaan di mana kepribadian (syakhsīah) seorang muslim tercerai antara aspek spiritualnya (rūḥī) dan aspek sosialnya (Ijtimā’ī).

Alih- alih bertukar peran satu sama lain, alhasil‒ setelah sah bercerai‒ kedua aspek itu akhirnya malah saling memunggungi dalam memainkan perannya: aspek spiritual sibuk menggaris batas mengurusi seluk beluk amalan- amalan seorang muslim (sulūk) di masjid saja. Sedangkan aspek sosial, menghapus apa saja yang berbau amalan masjid untuk bisa diterjemahkan dalam kehidupan sosial.

Akhirnya spiritual nihil di luaran. Sebagaimana sukar ditemukan kesadaran sosial lahir di masjid. Seorang paruh baya yang khusyu’ mendengar khutbah menyentuh tentang murāqabatullāh, setelah bersimpuh cukup lama di masjid kompleknya, baru saja beberapa langkah keluar dari sana, kotak infak yang meluap bertabur angka juga warna tak mampu mengurungkan niatnya untuk mengambil beberapa.

Padahal baru saja ruhaninya terpupuk di dalam masjid, namun sedikit saja kesadaran sosial tidak juga bertumbuh saat kakinya melangkah keluar‒ berpijak di pekarangan. Terjemahnya agama hanya ada di masjid. Perhatian Allāh dirasanya hanya saat bersujud di mihrab saja. Namun, saat di pekarangan, sekejap saja rasanya diawasi oleh Allāh (murāqabatullāh) hilang begitu saja. Tidak ada yang lebih ia takutkan selain CCTV kamera ciptaan manusia.    

Spiritual dan sosial, keberceraian antara kedua aspek tersebut, menurut Binabī, membuat kepribadian seorang muslim tenggelam dalam kubang kebingungan yang kontra efektif (allāfa’ālīah) dalam segala hal: salah satunya dalam hal bekerja (‘amal). Ketika seorang muslim bekerja, ia tidak tahu pakem yang mengikat antara kerjaannya dengan tujuannya. Tidak pula ia tahu luhurnya kedudukan pekerjaan di sisi agamanya.

Kebingungan itulah yang menjelaskan lesunya kebanyakan ekonomi negeri Islam sekarang. Tidak pernah memasarkan, negeri- negeri Islam selalu saja jadi pasar. “Tempat yang paling Allāh tidak sukai adalah pasar,umat Islam termakan interpretasi sesat penjajajah yang memelintir sabda itu agar umat berbondong- bondong memaku diri di masjid saja, menjauh dari perniagaannya di pasar, demikian gubahan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara di Api Sejarah-nya.

Tak heran, sulit dewasa ini menemukan di barisan kaum muslimin sosok seperti Fujiko F. Fujio yang konon belum sempat mengakhiri Doraemon-nya saking semangatnya berkarya sampai ajalnya tiba. Sama halnya dengan Agatha Christie. Kematiannya yang tak berselang lama dengan Hercule Poirot‒  tokoh utama di cerita detektifnya, begitu mengemukakan kecintaannya terhadap profesi yang digelutinya. Christie ingin sehidup semati dengan karyanya. 

Adakah hari ini pribadi- pribadi muslim yang sangat menaruh dedikasi pada pekerjaannya sepertimana mereka? Adakah hari ini di negeri Islam, sosok seperti Jeon Tae- il‒ seorang buruh di Korea Selatan yang pada tahun 1970 membakar dirinya bersama undang- undang tenaga kerja di depan salah satu pabrik jahitan, mengutuk kondisi tempat kerjanya yang tak manusiawi, bersorak mengeluh: “kita manusia bukan mesin.”

Peradaban- peradaban besar, lahir ke dunia karena penghuninya sadar menaruh perhatian pada pekerjaan. Agatha Christie, Fujiko F. Fujio, dan Jeon Tae- Il, jiwa mereka boleh jadi dibangun di atas puing- puing pandangan alam Barat yang men-angkakan dan memesinkan manusia untuk kepentingan materi. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa Barat hari ini memang menghegemoni ekonomi dunia dengan pandangannya (yang keliru lagi sementara) itu.

Charlie Chaplin saja menyadari betul kekeliruan pandangan itu sebagaimana dipidatokannya: “Kamu bukanlah mesin. Bukan pula ternak. Kamu adalah manusia.” Jemari buruh- buruh Irlandia di Manchester yang raup digilas mesin para borjuis kelak menjadi bara yang menggelorakan pemberontakan kaum proletarian yang disuarakan oleh Friedrich Engels‒ menentang kesemena- menaan ayahnya‒ meruntuhkan tatanan lama. 

Zaman bergulir semenjak manusia menentang pemesinan dirinya. Namun, bukan malah berubah, anehnya, hari ini mereka yang workholic malah seakan gembira menjadi mesin. Cerminannya adalah tahun ini, saat World Health Organisation (WHO) memasukkan burnout sebagai salah satu jenis gangguan mental yang kerap menjangkiti kalangan milenial berusia 22 hingga 38 tahun di seluruh dunia.

Gejalanya itu terlukis ketika terdapat banyak orang hari ini yang menganggap pekerjaannya sebagai segala- galanya. Rumah adalah Kantor. Kantor adalah rumah. Bermain dengan anak, bersanda gurau dengan isteri, tidak ada lagi. Gangguan mental itu, membuat mereka yang terjangkit gelisah untuk melakukan hal apapun, selain bekerja.  Sebangun tidur, sampai tidur lagi, jemari mereka terasa kaku apabila tidak dipakai mengetik.

Umat Islam hari ini sedang menonton siaran ketimpangan itu: yang satu siaran tentang anak- anak peradaban di Barat sana yang gila kerja layaknya mesin sampai- sampai kering kemanusiannya. Siaran kedua adalah gambaran tentang kondisi anak- anak peradabannya sendiri yang lebih ‘manusiawi’ daripada anak- anak peradaban Barat, namun kering etos kerjanya; karena bercerai aspek spiritual dan sosialnya.

Hilang semangat bekerja seperti mesin, umat tidak pula mampu menciptakan mesin untuk memudahkan pekerjaannya. Menurut Binabī‒ pasca dinasti Muwahhidun (1133- 1269 M), kematian para filsuf besar Islam menanadakan kematian produksi. Perdaban Islam lebih senang mengoleksi (takdīs) produk- produk luaran, ketimbang membangun (binā’) peradabannya lewat produk- produk yang diciptanya sendiri.

Kegamangan yang berbelit antara aspek spiritual dan sosial itu, harus bisa diurai dengan membangun kesadaran tentang ketidakterpisahan antara keduanya. Beragama bukan hanya di masjid, Islam adalah agama yang komprehensif (syāmil) mengatur seluk beluk perkara pemeluknya hatta urusan pasar. Kesadaran itulah yang membuat Abdurrahmān bin Auf percaya diri berseloroh: “tunjukanlah kepadaku arah ke pasar.”

Ketimbang hidup nyaman di bawah ketiak Sa’ad bin ar- Rabī’‒ saudara barunya di Madinah, Abdurrāhman bin Auf lebih senang apabila jerih payahnya sendirilah yang menegakkan tulang sulbinya; karena Abdurrahmān tahu, kedudukan mulia kerja di sisi Islam. Bahkan apabila upah manusia tidak memenuhi harapannya, Abdurrahmān tahu: kecil besarnya pekerjaannya, Allāh pasti memberikan gaji terbaik untuknya.

Bagi seorang muslim yang memahami martabat kerja di sisi agamanya, pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa Islam bukan hanya menyerunya untuk sekedar bekerja, dalam Islam pekerjaan itu sendiri maknanya adalah ibadah. Ada nilai spiritual dalam setiap aspek sosial seorang muslim. Masjid bukanlah satu- satunya tempat beribadah, menggerakkan mesin ekonomi umat di pasar juga merupakan ibadah.        

Di buku Adwā’ alā an- Nudzum al- Islamīah, guru- guru kami di al- Azhar mengintisarikan pekerjaan sebagai sebab nyata dari keberadaan manusia sendiri (sabab adz- zāhir lil wujūd al-Insānī dzātuhu). Manusia diciptakan oleh Allāh untuk bekerja sebagai khalifah-nya di muka bumi. Artinya manusia diciptakan untuk bekerja.  Entah apapun itu pekerjaannya, menjadi khalifah yang memakmurkan bumi adalah profesi utama manusia.

Karenanya, kerja keras seorang muslim yang merasa diberi mandat menjadi khalifah berbeda dengan kerja seorang Agatha Christie, Fujiko F. Fujio, dan Jeon Tae- Il yang bekerja hanya sekadar bekerja layaknya mesin. Rasūlullāh ﷺ bersabda: “Mencari rezeki yang halal adalah jihad, dan sungguh Allāh mencintai seorang mukmin yang giat bekerja.” Di dalam pekerjaan seorang muslim ada spiritualitas. Ada perjuangan (jihād). Ada tujuan yang dicita-citakan untuk mendaulat cinta Allāh sebagai upahnya. Allāhu a’lam.*


latestnews

View Full Version