View Full Version
Selasa, 15 Oct 2019

"Bagiku Ini adalah Teguran, Karena Menunda Shalat!"

 

Oleh:

Ana Nazahah (Revowriter Aceh)

 

TINGGAL sebentar lagi. Sesaat lagi. Batinku. Mengejar waktu tengah hari. Untuk menunaikan ibadah pada Ilahi Rabbi. Saat memutuskan pulang, beberapa menit kemudian memang suara azan terdengar. Namun karena merasa waktu masih bisa terkejar, aku memutuskan menunda salat hingga tiba di rumah. Toh perjalanannya ga terlalu lama pikirku. Tapi tiba-tiba saja, motor yang kunaiki oleng.

Sangat mendadak. Begitu saja. Sejenak aku seperti di alam mimpi. Yang kuingat, ada yang mendorongku keras. Dua jari kakiku seolah terlipat sempurna. Sepatu kets yang kukenakan sangat lembut menyapu aspal yang kasar. Tubuhku terhempas keras, di pinggir jalan berumput dan berbatu cadas.

Aku merasa seperti terseret di atas lantai yang licin. Bisa kurasakan pasir dan kasarnya bebatuan itu, dengan kedua telapak tanganku yang terbuka. Wajahku mencium bau tanah dan rumput sawah. Aku bingung mengekspresikannya. Terasa panas menyengat, namun terasa ringan. Sesaat aku seperti mengantuk. ingin sejenak menutup mata. Menikmatinya.

Kenapa tidak ada yang peduli? Kemana temanku, apa dia tidak sadar aku jatuh dari motor? Atau aku sedang bermimpi? Pikiran itu memaksaku membuka kedua mataku. 

Ternyata bukan mimpi, perlahan wajahku terasa panas campur perih, pun kedua telapak tanganku. Aku baru sadar, sedang mengalami kecelakaan. Astaghfirullah, sekonyong- konyong aku ingat temanku, dimana dia? 

Aku bangkit dan berdiri. Motor yang dikendarai olehnya juga tidak ada. Aku mendekat ke depan. Entah sejak kapan, keramaian datang.

Agak sedikit men-jorok ke dalam. Di pinggir sawah, tepat di atas parit kecil penuh lumpur. Temanku terdiam tak bergerak sama sekali. Saat dua orang laki-laki mendekat dan mencoba membantu mengeluarkan dia dari lumpur, dia hanya diam. 

Jantungku berpacu kencang. Yang kuingat dan kusesali, kami belum shalat siang. Bagaimana jika ini adalah waktunya? Kedua tangan dan kakiku dingin seketika. Kudekati dia, hendak menolong. Lokasi yang agak dalam dan penuh tumbuhan berduri menusuk kedua kaki,  membuatku sadar. Sepatu dan kaos kakiku tak lagi di tempatnya. 

Kondisiku boleh dibilang ringan. Tapi temanku, setelah sadar, ia mengaku dadanya kesakitan dan sulit bernafas. Ya Allah! Aku tak bisa menjelaskan betapa bingungnya aku. Apalagi, dia mengaku tak bisa bergerak sama sekali.

Hampir berjam- jam sesak itu dialaminya. Sementara, rasa penyesalan menunda shalat itu masih terus terngiang. Saat diperiksa tulang rusuk depan dan bagian belakangnya menghimpit paru-paru dan menghambat pernafasan. Dalam rintihan sakitnya, dia minta dibantu untuk menunaikan shalat. 

Yaa Allah, yaa Rabbi. Kalaulah waktu bisa kembali. Kewajiban shalat takkan kuakhirkan. Sungguh tak bisa kubayangkan, jika ajal datang sementara diri masih hutang kewajiban. Rasa menyesal yang sangat. Di tengah kegundahan, dan rasa kesakitan teman. Ini adalah teguran keras dari Allah, bagiku yang coba melalaikan kewajiban. 

Tepat sebulan sudah sejak kejadian itu. Alhamdulillah temanku telah melewati masa kritisnya. Setelah dua kali kritis. Meski saat ini pun dia masih terbaring lemah. Empat tulang rusuknya patah, tebentur pematang sawah dan ditimpa motor yang jatuh tepat di atas tubuhnya. Sementara aku, saat ini sudah sembuh total, Alhamdulillah. Meski bekas luka ini masih meninggalkan nyeri tak terlupakan.

Tentu saja, rasa sakit ini belum sepenuhnya pulih. Apalagi rasa penyesalan, menunda kewajiban. Sangat berharap ke depan, semoga saja tidak akan terulang. Dan bagi yang baca kisahku, semoga menjadi pelajaran.**


latestnews

View Full Version