View Full Version
Kamis, 31 Oct 2019

Bucin, Istilah dan Fenomena Baru Kaum Milenial

 

Oleh: Muzsuke Abdillah

Fenomena Butjin

Istilah Butjin (baca=bucin) yang merupakan singkatan dari "budak cinta" tengah banyak dipakai netizen negeri +62. Utamanya kata "bucin" ini paling banyak dipakai kalangan remaja untuk mengekspresikan kekagumannya pada sang idola. Contohnya seperti: A adalah bucinnya Oppa Korea, sebab ia rela berkorban dan mau melakukan apapun demi bisa mensupport sang idola.

Fenomena kebucinan menggambarkan tentang betapa seorang budak cinta itu mencintai idolanya, ingin mendukung sepenuh hati apapun yang dilakukan idolanya, berharap bisa berada dekat dengan idolanya, dan selalu menghayal bahwa idolanya adalah miliknya. Ada juga yang sudah terkategori ekstrim, yakni: menganggap bahwa idolanya adalah dewa yang tidak pernah salah.

Perilaku yang biasanya timbul dari sifat bucin adalah: seseorang jadi candu terhadap hal-hal apapun yang berkaitan dengan idolanya. Pagi, siang, malam, ia harus mencari kabar tentang sang idola. Ia pun jadi lebih agresif ketika mendapati idolanya dihujat atau direndahkan oleh orang lain. Baginya, kebahagiaan sang idola adalah prioritas utamanya.

Untuk membahagiakan sang idola, seorang bucin rela melakukan apa saja. Jika idolanya adalah seorang pemain film, maka ia akan aktif mempromosikan sang idola dan menonton setiap filmnya. Jika idolanya adalah penyanyi, maka bucinnya akan membeli banyak album walaupun harga per pcs-nya ratusan ribu, rela datang ke konser dan fansignnya, serta membeli aneka merchandise yang berkaitan dengan sang idola.

Jika idolanya adalah seorang penguasa atau politikus, maka seorang bucin biasanya akan sangat aktif menyebarkan berita-berita baik tentang sang idola, dan menampik secara tegas berita-berita negatif tentang idolanya. Apalagi di masa-masa pemilu, bucin politikus lebih masif lagi dalam membela idolanya, tak peduli walaupun caranya harus dengan melakukan black campaign dan menyebarkan fitnah-fitnah tak berdasar pada kompetitor idolanya.

Butjin dalam Pandangan Islam

Sejatinya kita semua paham bahwa kata budak identik dengan seseorang yang stratanya rendah, sebab budak adalah seseorang yang harus tunduk dan patuh pada apapun yang diperintahkan tuannya. Perbudakan yang sewenang-wenang diharamkan dalam Islam. Justru dengan turunnya Islam yang dibawa oleh sayyidina Muhammad SAW, praktik perbudakan jahiliyah ala kafir Quraisy yang tidak manusiawi dihapuskan.

Islam datang untuk mengangkat derajat manusia dan untuk menjadi rahmatan lil 'alamin. Setelah datangnya Islam, Bilal bin Rabbah yang dulunya seorang budak milik Umayyah sang pemimpin Quraisy kemudian menjadi seseorang yang merdeka. Zaid bin Haritsah yang dulunya dibeli di pasar budak, oleh Rasulullah kemudian diangkat menjadi anak angkat. Inilah bukti bahwa Islam telah memuliakan manusia.

Lalu saat ini ketika Islam telah menjadi agama kita sejak lahir, kenapa kita malah merendahkan diri dengan menjadi budak cinta dari orang lain? Padahal belum tentu idola kita itu melihat kita, melihat perjuangan kita. Bahkan belum tentu ia mengakui eksistensi kita di antara jutaan penggemarnya yang lain.

Apalagi ketika kita menjadi bucin yang radikal dengan membenarkan setiap kalimat yang disampaikan oleh idola kita. Ketika idola kita berkata: "negara kita harus banyak ngutang agar bisa membangun infrastruktur", janganlah kita amini begitu. Sebab yang dikatakannya itu adalah sebuah kekeliruan dan hal itu tidak diperkenankan dalam Islam.

Sebagai muslim, kita hanya boleh menghambakan diri pada Allah SWT. Sebab Allah adalah pencipta kita yang tahu betul apa yang kita butuhkan. Allahpun telah berfirman di dalam Al-qur'an: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu" (TQS Adz-Dzariyat:56). Ayat ini adalah seruan bagi manusia agar tidak menghambakan diri pada yang lain karena tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah SWT saja.

Oleh karena itu, berhentilah menjadi bucin. Manusia bukanlah sosok yang bisa kita agungkan, hanya Allah Yang Maha Sempurna. Mengidolakan seseorang boleh-boleh saja, seperti kita mengidolakan guru-guru kita, para alim ulama, para pengusaha yang sukses dengan cara-cara Islami, para pemimpin yang amanah, dll, hukumnya boleh. Tapi ada batasannya.

Ikutilah mereka selama mereka mengajak kita untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya. Tinggalkan mereka saat mereka mengajak kita berma'shiyat pada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya ketika kita mengidolakan manusia, kita harus sadar bahwa mereka hanya makhluk yang bersifat lemah dan terbatas. Jadi tidak boleh kita menghambakan diri pada mereka. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version