View Full Version
Ahad, 04 Oct 2020

Kalau Nggak Berjilbab Sejak Dini, Emangnya Kenapa?

 

Oleh: Alga Biru

Berikut kutipan kalimat yang sering lewat di beranda maya :

“Apakah anak-anak yang berjilbab itu diberi pilihan atas apa yang dia pakai?”

Kalian sudah pada tahu dong kabar yang lagi rame?! Selaku remaja yang emang gaulnya di sosial media, nggak bisa lepas dari yang namanya berita viral. Kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Namanya anak-anak, pasti bakal manggut alias menuruti saja apa kata orangtuanya, tanpa bisa memilih secara mandiri.

Setelah kalimat-kalimat sindiran anti-hijab tersebut berseliweran, muncul praktisi dan pemikir islami selaku opini tandingan.

“Sudah pasti anak-anak ini kami ajarkan taat syariat sejak dini, terutama dalam hal menutup aurat”. 

Terlepas dari pro-kontra yang sering bikin pusing, sebagai remaja muslim kita tentu bertanya-tanya di dalam hati, kenapa kita mengenakan pakaian syari dan secara otomatis meninggalkan yang tidak syar’i? Memangnya kenapa kalau tidak berhijab, apalagi bagi anak-anak, kan mereka tidak wajib karena belum baligh? Berarti benar ya, seoalah ada paksaan ketika anak-anak itu dipakaikan jilbab.

Sebelum kita manjawab pertanyaan penting dan sensitif tersebut, coba kita bayangkan keadaan yang sebaliknya: apa yang akan terjadi jika anak tidak diajarkan menutup aurat sejak dini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa membayangkan diri kita sendiri dengan kebiasaan-kebiasaan kita setiap hari. Andaikan kita tidak diajarkan mandi secara rutin setiap hari, mungkinkah kita akan mandiri secara teratur? Belum tentu. Kalau tidak mandi, kemungkinan badan kita bau bahkan memungkinkan datangnya penyakit. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, kita secara instan bahkan mau tidak mau harus terbiasa menggunakan masker dan cuci tangan sesering mungkin. Karena sebelum pandemi tidak terbiasa memakai masker, rasanya susah sekali kalau harus dipakai terus-terusan ketika di luar rumah.

Banyak orang mengeluh, pakai masker itu bikin pengap, susah bernafas, bahkan bikin pusing karena mencium nafasnya sendiri? Namun pernahkah terpikirkan oleh kita, bagaimana perasaan para tenaga kesehatan, para pekerja di pabrik, atau profesi lainnya yang mewajibkan dirinya memakai masker seharian? Apakah mereka pengap dan sulit bernafas? Sedikit pengap mungkin iya, tapi karena sudah terbiasa, makanya lebih mudah. Apalagi jika dibandingkan dengan resikonya, sedikit pengap nggak masalah deh, daripada tertular penyakit.

Kira-kira seperti itu pula jalan pikiran orangtua yang mengajarkan anak-anak mereka sejak dini. Mumpung masih kecil, manusia lebih mudah dibentuk dan dibiasakan dengan kebiasaan baik. Kalau sudah besar, dan terlanjur dengan kebiasaan buruk, akan lebih susah untuk diluruskan. Jika kebiasaan buruk berlangsung sejak kecil dan terus menerus, kondisi psikis dan mental anak justru tidak siap dan terjadi pertentangan internal. Sedikit mirip dengan memakai masker tadi ya. Lantaran sebelum masa pandemi kita tidak diwajibkan memakai masker, maka sekarang kita agak kesulitan dan merasa gerah jika harus memakainya. Namun lama kelamaan, terlebih lagi dengan edukasi yang efektif, kita jadi termotivasi dan menjalani kebiasaan baru di era new normal ini.

Nah, maka sangatlah logis dan normal sekali ketika orangtua mengajarkan anaknya menutup aurat sedari kecil. Orangtua yang baik tidak hanya mempersiapkan anak akan kemandirian dunia tetapi juga bekal menuju akhirat. Para orangtua kelak akan dimintai tanggungjawabnya perihal apa saja yang sudah ia ajarkan kepada anak-anaknya, apakah mengajarkan kebiasaan baik ataukah buruk.

Ya benar, anak-anak memang belum wajib berjilbab, tetapi akan lebih bagus kalau kita membiasakannya. Berjilbabnya tidak wajib, kewajibannya adalah belajar taat sejak dini. Awalnya terpaksa, lama-lama terbiasa. Awalnya biasa saja, lama-lama jatuh cinta. Harapannya, ketika baligh nantinya anak-anak sudah siap dengan segala taklif dan beban hukum syara yang meliputi segala aspek kehidupan, salah satunya menutup aurat secara sempurna. 

Bagaimana jika anak yang diajarkan berjilbab bersifat eksklusif  dan merasa berbeda dari yang lain? Sendainya anak-anak kita sering melihat orang lain dan teman-temannya berhijab, tentu dampak sosial itu tidak ada, maka lingkungan islami adalah aspek lain dari pembiasaan berhijab ini. Kalau pun ada perasaan seperti itu, ambil momen kritis ini sebagai awal mula memperkenalkan islam sebagai way of life. Bagaimana pun kita tidak bisa menjadikan penilaian manusia sebagai standar kehidupan, karena pasti akan berbeda-beda sesuai kemauan dan hawa nafsunya.

Di mata seorang mukmin, jalan syariat itulah penuntun terbaik sepanjang hidup. Ketika dijalankan, hati akan menjadi tenang, hidup menjadi lapang dan tidak perlu khawatir hidup dalam perbedaan atau gunjingan. Pada akhirnya, membangun kesadaran tidak sekejab kedipan mata. Teruslah kita hadirkan idrak silla billah dalam setiap amal sholeh, agar pakaian penutup aurat ini tidak hanya sekadar penutup badan melainkan ada nilai spiritual dan pahalanya. Wallahu’alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version