View Full Version
Jum'at, 27 Nov 2020

Guru di Indonesia, Pahlawan tanpa Kesejahteraan?

 

Oleh: Nasya Amaliah S.Pd

Tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru nasional. Penghormatan ini diberikan karena jasa mereka yang begitu besar demi kemajuan bangsa. Ya, guru yang dijuluki pahlawan tanpa jasa ini memang pantas mendapatkan penghormatan luar biasa atas jasanya. Mereka adalah orang tua kedua bagi anak bangsa yang bersekolah.

Perjuangan mereka dalam mendidik pun luar biasa. Seperti kisah guru honorer Zulkifli Katili dari Desa Sentra Sari, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Guru honorer berusia 23 tahun tersebut mengalami kesulitan dalam menjangkau murid-muridnya karena lokasi mereka yang berada di pelosok. Dalam kondisi yang terbatas, Zulkilfli mengajar kelas-kelas di SMP Negeri dan SMA Negeri di Toili Sulawesi Tengah.

Di masa pandemi sekolah mewajibkan pelaksanaan pengajaran dengan daring. Sinyal di daerah tinggal Zulkifli masih kurang memadai untuk mengadakan kelas video conference. Tidak jarang Zulkifli harus mencari tempat tinggi seperti menara atau menuju lapangan agar bisa mendapatkan sinyal yang bagus. Karena tidak semua siswanya memiliki gadget, Zulkifli mendatangi para siswa ke rumahnya dan mengajarkan pelajaran.

Saat ditanya gajinya berapa, bapak guru satu ini hanya tersenyum. Dia bergaji 350ribu per bulan dan itu pun baru akan diterima 3 bulan setelah mengajar. 

Sungguh miris sepenggal kisah seorang guru di atas. Dengan perjuangannya yang luar biasa, ia berjuang demi mencerdaskan anak bangsa. Sayangnya, jasanya dan kesejahteraannya tidak diperhatikan oleh pemerintah. Mereka diabaikan, kesejahteraan mereka dilupakan, jasa mereka seakan tak berarti apa-apa untuk negeri ini.

Dalam Islam guru adalah sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah SWT. Dengan ilmunya itu dia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh, serta menuju kebaikan di dunia maupun di akhirat. Selain itu guru tidak hanya bertugas mendidik muridnya agar cerdas secara akademik, tetapi juga guru cerdas secara spritual yakni memiliki kepribadian Islam.

Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar.

(1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).

Selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.

Sungguh luar biasa, dalam sistem Islam para guru terjamin kesejahteraannya. Mereka bisa memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya tanpa harus dipusingkan lagi untuk membagi waktu dan tenaga untuk mencari tambahan pendapatan. Tidak hanya itu, negara juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru menjalankan tugas mulianya.

Kesejahteraan guru seperti di atas tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.  Karena hanya sistem Islam lah, kesejahteraan dan rahmatan lil alamin akan tercipta. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version