View Full Version
Rabu, 02 Dec 2020

Ugur Sahin dan Ozlem Tureci, Pasagan Ilmuwan Muslim Penemu Vaksin Covid19

 
Oleh: Frida Nurulia
 
Ugur Sahin lahir di Iskanderun, Turki pada 1965. Keluarganya pindah ke Jerman saat usianya 4 tahun. Di Jerman sang ayah menjadi buruh di pabrik mobil Ford.
 
Sahin tumbuh di Jerman, dan menguasai bahasa Jerman sebagai bahasa keduanya. Setelah lulus SMA, Sahin kuliah di University of Cologne jurusan kedokteran dan melanjutkan sampai jenjang PhD di universitas yang sama. Sahin ini mungkin jenius. Dia mendapatkan gelar PhD hanya 3 tahun setelah lulus sarjana.
 
Selama 8 tahun Sahin menjadi residen di Saarland University Hospital sebelum akhirnya bergabung dengan University of Mainz pada tahun 2000, dan menjadi professor di universitas tersebut pada tahun 2006.
Selain aktif di rumah sakit kampus, Sahin juga terlibat di berbagai perusahaan. Salah satunya adalah Ganymed Pharmaceuticals, perusahaan yang didirikannya bersama temannya, seorang dokter dan ahli imunologi, Ozlem Tureci pada tahun 2001. Perusahaan ini mengembangkan immunoterapi untuk kanker. Tahun 2016 perusahaan ini dibeli oleh Astellas Pharma seharga USD 450 juta.
 
Tahun 2002 di tengah kesibukannya meneliti, Sahin menikah dengan Ozlem Tureci. Tureci adalah teman kerja dan teman satu lab Sahin. Sama seperti Sahin, Tureci adalah seorang dokter berdarah Turki. Bedanya, Tureci lahir di Jerman.
 
Mereka berdua sama-sama mencintai penelitian, bahkan dalam sebuah artikel, baju pernikahan mereka adalah jubah lab. Setelah aqad nikah dilaksanakan keduanya kembali ke lab untuk bekerja. Pernikahan mereka dikaruniai seorang putri.
 
Tahun 2008 Sahin dan Tureci mendirikan BioNTech, sebuah perusahaan di bidang bioteknologi. Fokus perusahaan ini juga meneliti imunoterapi untuk kanker dan penyakit-penyakit langka. Perusahaan ini dimodali oleh Struengmann bersaudara, dua pengusaha asal Jerman.
 
Saat ini Sahin menjabat sebagai CEO BioNTech dan istrinya sebagai CMO. Tahun lalu, Sahin menerima penghargaan Mustafa Prize di bidang kedokteran dan teknologi atas upayanya menemukan obat dan vaksin kanker. Jurnal Sains menyebut Mustafa Prize sebagai Muslim Nobel karena Prize ini hanya diberikan kepada muslim yang berkontribusi untuk kemanusiaan di berbagai bidang.
 
Pada Januari 2020, saat terjadi endemi di Wuhan, China, Sahin memutuskan seluruh peneliti di BioNTech, yang sedang fokus meneliti vaksin untuk kanker, banting stir untuk mencari vaksin untuk penyakit yang disebabkan nCov, belakangan disebut Covid-19. Penelitian ini membutuhkan biaya yang besar, dan untuk mendapatkan biaya tersebut BioNTech bekerjasama dengan perusahaan farmasi raksasa, Pfizer.
 
Pada 9 November 2020, Pfizer dan BioNTech mengumkan hasil dari uji tahap tiga vaksin buatan mereka: 90% efektif. Pengumuman ini membuat Pfizer dan BioNTech sebagai perusahaan pertama yang mengumumkan keberhasilan riset vaksin Covid-19. Disusul dengan pengumuman dari perusahaan Moderna seminggu kemudian.
 
Vaksin yang dikembangkan oleh tim Sahin dan Ozlem ini menggunakan teknologi terkini yaitu mRNA (messenger RNA). Jadi, ada cara klasik membuat vaksin yaitu: Pertama, dengan merusak RNA/ DNA virus dan virus mati ini dimasukkan ke dalam tubuh, lalu sistem imun tubuh membangun imunitas terhadap virus tersebut. Kedua, memotong si virus dan mengambil bagian tertentunya saja untuk dikenali oleh sistem imun, dan sistem imun membangun imunitas terhadap virus itu. Namun yang dilakukan oleh tim Sahin bukanlah keduanya.
 
Mereka membaca RNA novel coronavirus sepanjang 30.000an RNA dan meneliti RNA mana yang mengandung informasi 'mahkota' (corona), dari virus tersebut. Memotongnya, dan potongan RNA inilah yang jadi vaksin. Uji coba tahap III pada 45.000 manusia sudah membuktikan vaksin mereka efektif untuk mencegah infeksi Covid-19. Masih ada informasi lain yang akan mereka rilis akhir November 2020 ini. Kita tunggu saja ya!
 
Pada CNBC, Sahin mengatakan bahwa dia menargetkan perusahaannya bisa membuat 300 juta dosis vaksin per April 2021 dan bisa disuntikkan pada orang-orang setidaknya saat musim gugur 2021 (sekitar September, Oktober, November).
 
Nah, begitulah...
Saat seluruh ilmuwan di dunia sedang berlomba menemukan vaksin atau obat untuk Covid. Saat semua negara sedang berusaha menangani pandemi. Di saat bersamaan juga tingkat Islamophobia di Eropa semakin sengit. Tak disangka, ilmuwan yang pertama mencapai garis finish adalah sepasang ilmuwan muslim. Imigran. Kulit berwarna. Semuanya terjadi atas izin Allah.
 
Yang jelas tak ada vaksin yang siap pakai di bulan November. Pemimpin negara yang ngomong begitu sepertinya harus memecat pembisiknya dan mengganti dengan orang-orang yang mumpuni di bidang ini. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
 
 

latestnews

View Full Version