View Full Version
Senin, 25 Jan 2021

Efek Buruk dari Dosa yang Menumpuk, Tinggalkan!

 

Oleh: Sunarti

Seharusnya semakin banyak pengalaman, kita akan mendapat semakin banyak pelajaran. Semakin hari, berusaha memperbaiki diri dalam segala hal untuk menuju keberhasilan yang tertinggi, ridhaNya.

Ya, walau sering pula tersedak, tersengal hingga terjungkal, itu hal biasa. Hambatan-hambatan kecil begini yang seharusnya menjadi batu loncatan untuk terus melangkah. Belum sampai Allah memberikan ujian seperti saudara-saudara kita di seebrang pulau atau di tempat lain. Layaklah disyukuri, masih bisa menikmati kehidupan  dan bisa fokus bersyukur dengan apa yang tersaji. Alhamdulillah.

Fakta kini memang tidak seindah impian. Kadang harapan juga tak sebaik apa yang menimpa. Fakta pula kehidupan di alam kapitalisme-sekulerisme telah membawa penghuninya menjadi penghuni yang sibuk dengan urusan dunia. Mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan meraih kedudukan yang setinggi-tingginya. Itulah standar kehidupan manusia dengan kepemimpinan berpikir ala kapitalis, kebahagiaan tertinggi adalah bertumpuk harta dan tingginya tahta.

Tidak bisa dipungkiri, alam kapitalisme-sekulerisme memang membuat suasana (secara paksa) agar manusia di dalamnya berpikir bagaimana esok mendapatkan uang dan kedudukan. Tidak sedikit yang mengambil cara dengan jalan pintas. Tidak lagi peduli dengan jalan yang ditempuh itu haram ataukah halal. Dalam dikte kapitalisme, otak disetir untuk menempuh jalan pintas yang haram.

Misalnya saja, mengumpulkan harta dengan instan, seperti korupsi, penipuan, investasi bodong dan cara-cara lain yang cepat dan mudah. Tanpa berusaha keras dan jangka waktu yang lama. Cara instan yang 'tampak layak'. Akan tetapi akibat buruk di dunia dan di akhirat tak pernah terpikirkan dalam benak. Itulah alam kapitalisme-sekulerisme, kebahagiaan berstandar pada kepuasan, keinginan dan kepentingan, mutlak.

Adanya dorongan/petunjuk, keinginan  dan tanggapan dari pihak lingkungan sangat berpengaruh terhadap cara-cara instan seperti di atas. Apapun akan ditempuh, karena sudah dianggap kebiasaan yang bisa diterima oleh khalayak, maka sah-sah saja. Ditambah dengan payung hukum yang tidak tegas, lengkap, cara instan pengumpulan harta dan meraih tahta menjadi budaya. Astagfirullah.

Namun, di sisi lain, sisi yang (bisa jadi) luput dari pengamatan orang lain adalah, perjalanan mereka yang seolah telah menempuh cara instan di atas. Perjalanan mereka sebelum terlihat sebagai seorang koruptor atau seorang penipu ulung.

Bisa saja mereka sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu adalah seorang yang memulai perjalanannya dari nol. Dengan menggunakan cara mengumpulkan harta sedikit demi sedikit dan meraih jabatan-jabatan dari bawah. Mereka meraih efek menumpuknya sekarang.

Sayangnya yang menjadi tujuan aktivitas adalah urusan dunia. Ya, orientasi dunia, tanpa berdasar pada patokan hukumNya. Sayang memang, usaha yang berangkat dari ketelatenan, ketekunan dan kesabaran, salah arah.

Bukankah semua akan menuai akibatnya? Jika tidak di dunia, kelak di akhirat, pasti akan mendapatkan balasannya.

Sesungguhnya, memilih aktivitas baik atau buruk di mata Allah, masih dalam batas wilayah yang kita kuasai. Jika kebaikan dan keburukan bersandar pada akal manusia, yang terjadi adalah tumpang tindih antara manusia satu dengan yang lainnya. Semua akan tarik ulur sesuai kepentingan dan keinginan manusia, termasuk dalam ranah hukum. Bila seperti ini  maka tidak akan pernah selesai. Ambyar.

Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik kehidupan, memiliki seperangkat aturan yang sudah tinggal dipakai oleh manusia. Segala aktivitas yang dilakukan seharusnya kembali kepada hukum asal perbuatan manusia. Yakni, halal dan haramnya.

Allah dan Rasulullah telah memberi peringatan kepada manusia sebagai patokan. Memilih aktivitas yang Allah ridha dengan berpedoman pada aturanNya, seharusnya menjadi prioritas. Maka kita akan tersibukkan dengan aktivitas kebaikan dan tidak akan terjadi kita disibukkan dengan aktifitas kebatilan. Insyaallah.

"Jiwa manusia  selalu memiliki hasrat yang bergejolak. Jika jiwa itu tidak kamu sibukkan dengan kebenaran, ia akan menyibukkan kamu dalam kebatilan." (Ibnu Katsir)

Nasehat yang begitu menampar.

Jika tidak ingin efek menumpuk adalah sesuatu yang merugikan, terutama kelak di akhirat, maka selalu kumpulkan aktivitas yang mendatangkan pahala. Ingat pula jika Rasulullah pernah menggambarkan efek dari dosa-dosa kecil yang dikumpulkan. Ibaratnya mengumpulkan ranting-ranting yang bisa membakar dan mendidihkan air dalam belanga. Akumulasi dosa-dosa kecil yang tanpa disadari oleh manusia, bisa berefek buruk kelak di akhiratNya.

“Seperti inilah dosa-dosamu setiap hari. Sepertinya terlihat tidak ada, padahal kelak di hadapan Allah Swt. ternyata terkumpul banyak.”

"Jangan sepelekan kekuatan fenomenal efek menumpuk. Terutama yang berefek buruk di mata Allah."

Jangan sampai kita menjadi manusia merugi saat di akhirat nanti. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version