View Full Version
Ahad, 07 Feb 2021

Durhakanya Anak pada Orangtua, Salah Siapa?

 

Oleh: Sunarti

"Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua". (HR At-Tirmidzi, HR. Al-Hakim, Ath-Thabrani).

Kedudukan ridha orang tua sedemikian rupa, demikian pula murka orang tua adalah murka Allah SWT juga. Inilah kedudukan mulia orang tua di mata Allah. Namun sayang kondisi saat ini tidaklah demikian. Peribahasa "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah," benar adanya. Kebaikan orang tua yang tidak terbatas ibarat air susu dibalas dengan air tuba apabila anak tumbuh menjadi durhaka.

Ambil contoh saja kasus yang saat ini sedang menjadi perbincangan hangat, yaitu gugatan anak kepada ayah kandungnya. Seperti diberitakan di KompasTV tentang anak yang menggugat ayah kandungnya senilai Rp 3 miliar di Bandung, Jawa Barat. Selain karena nilai gugatan, perseteruan antara anak dan ayah ini juga menjadi perhatian publik karena melibatkan anggota keluarga kandung lainnya sebagai pengacara kasus ini. Sungguh menyedihkan, perseteruan antar keluarga yang seharusnya tidak terjadi.

Harta dan Orang Tua, Ujian Dunia

Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah)

Islam mendudukkan persoalan harta dengan bijak. Selain urusan hak waris, Islam juga memiliki aturan mengenai harta yang dimiliki seorang anak dan hak orang tua di dalamnya. Sebagaimana tertera dalam hadis di atas bahwa orang tua, memiliki hak atas seluruh harta anaknya.

Pada masa Rasulullah Saw, pernah terjadi ada seorang anak yang melaporkan kepada Nabi, bahwa ayahnya mencuri hartanya. Ayah dari anak tersebut dipanggil oleh Rasulullah Saw. Pemanggilan bukan untuk diadili, akan tetapi sebagai penjelasan dan pemberitahuan akan anak dan orang tua. Pada kesempatan itulah hadis di atas disabdakan oleh Rasulullah Saw. Jelaslah bahwa harta anak adalah harta orang tua juga.

Tak sedikit kasus gugatan terhadap orang tua terjadi karena persoalan harta. Anak yang pikirannya dikuasai oleh kapitalis seolah buta siapa yang dia gugat dan dalam kondisi yang seperti apa. Kebanyakan pula, dari pihak anak sudah menjadi orang sukses dan paham soal hukum yang berlaku saat ini. Sementara orang tua mereka telah dalam kondisi yang renta dan lemah.   

Orang tua tidak dipandang lagi sebagai sosok yang seharusnya dihormati dan disegani. Akan tetapi dianggap hanya sebagai sosok yang sama dengan kebanyakan orang-orang lainnya. Sehingga terlihat wajar jika anak menggugat dan menjebloskan ayahnya (orang tua) ke dalam penjara sekalipun. Miris memang keadaan seperti ini.

Mencari Akar Masalah Fenomena Anak Durhaka

Saat ini peradaban sekulerisme-kapitalisme memang telah mendarah daging. Tidak sedikit para penghuni alam kapitalisme ini tercengkeram dengan cara berpikir yang disetir oleh materi (uang). Hubungan antara orang tua dan anak pun bisa terputus dengan persoalan harta.

Banyaknya petunjuk/isyarat/cue dan dorongan juga penghargaan atas berbagai kemaksiatan, menjadikan kasus-kasus anak durhaka semakin hari semakin bertambah dan dengan berbagai macam latar belakang. Tidak mengherankan apabila ini menjadi hal yang semakin lama juga menjadi hal yang wajar. Dan parahnya lagi, khalayak menerima kondisi ini. Sungguh ironis jika ini terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Pengorbanan orang tua yang telah mengandung, melahirkan hingga mendidik dan membesarkan telah terhapus di benak anak-anaknya. Padahal perjuangan pada masa-masa mereka masih dalam kandungan, masa dalam pengasuhan dan masa pendidikan hingga mereka sukses, bukanlah hal yang mudah bagi orang tua. Masa-masa tersulit yang pernah dialami oleh orang tua, belum tentu pula dialami oleh anak-anaknya. Pasalnya, orang tua cenderung tidak menginginkan anak-anaknya mengalami perjalanan hidup yang serupa dengannya. Orang tua selalu berupaya agar kesengsaraan dan kesulitan hidup yang dialaminya, tidak lagi dialami oleh anak-anaknya.

Memang benar, pengaruh penerapan sebuah aturan sangat kentara. Manusia yang bernama anak, bisa durhaka sedemikian rupa. Kehidupan yang berkutat pada materi membuat para penghuninya melakukan aktivitas yang sulit diterima akal.

Apakah hal demikian bisa dikatakan sebagai masa-masa lunturnya nilai-nilai adab anak terhadap orang tua? Atau bisakah dikatakan masa-masa tercuram (The Dip) hilangnya moral manusia?

Sekiranya benar apa yang dikatakan oleh Seth Godin dalam bukunya The Dip, bahwasanya ada masa-masa tersulit atau masa-masa paling terpuruk. Dan saat ini bisa menjadi bukti nyata akan teori tersebut pada peradaban manusia. penerapan sistem sekulerisme-kapitalisme telah sampai pada titik nadir keterpurukannya. Sebagai bukti adalah manusia telah berada di titik keterpurukan terhadap perilaku, moral dan juga adab. Telah lenyap nilai-nilai peradaban mulia yang menyangkut hubungan anak dan orang tua.

Pada Islam Kukan Kembali

Di titik terendah ini zaman ini, mustinya bukan untuk dinikmati dan dilanjutkan dengan kondisi yang 'seolah terlihat benar' ini. Semestinya manusia-manusia yang ada di dalamnya berupaya keluar dan bangkit dari titik keterpurukan akibat peradaban rusak ini. Saat ini kita berada di peradaban yang mengesampingkan dan memisahkan aturan Allah sebagai satu-satunya yang memiliki hak atas seluruh alam. Hal yang seharusnya dilakukan adalah berani keluar dari kesalahan dan mengambil keputusan yang benar, yaitu meninggalkan sistem yang rusak ini dan kembali kepada sistem Islam yang Allah Ridha.

Bukankah kehidupan yang berkah yang hendak dicapai oleh manusia? Jika demikian halnya, mengapa memilih jalan buntu untuk terus terlarut dalam sistem kufur ini?

Jika seperti ini keberkahan tentulah sudah tidak bisa diharapkan. Karena keberkahan itu bermakna bertambahnya kebaikan dan terus bertambah dengan kebaikan di mata Allah. Bukan sebaliknya yaitu berada pada posisi yang stagnan, tidak berubah dan seolah buntu (kuldesak). Maka seperti ini bisa dikatakan manusia itu wujuduhu ka’adamihi atau adanya seperti tidak ada.

Orang tua adalah salah satu pintu surga yang Allah berikan kepada manusia. Dengan berbakti kepadanya, insyaallah, bisa menjadi jalan masuknya seorang anak dengan melewati salah satu pintu ini. Jika kedurhakaan yang dimunculkan maka, secara otomatis salah satu pintu surga ini ditutup oleh Allah. Dalam banyak nash, Allah memberikan peringatan akan hal ini. Salah satunya adalah sabda nabi Muhammad Saw.

Rasulullah Saw bersabda: “Tak ada dosa yang lebih pantas untuk Allah segerakan azabnya di dunia disamping juga diakhirat kecuali dosa durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Abu Daud). Wallahu alam bisawwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version