View Full Version
Ahad, 07 Mar 2021

Menuju Dilegalkannya Minol, Budaya atau Buah Kegagalan Sistem?

 

Oleh: Tari Ummu Hamzah

Indonesia kaya akan budaya. Tidak hanya budaya kesenian, tetapi juga budaya kuliner khas daerah menjadi primadona di negeri ini. Tapi apa jadinya jika minuman beralkohol (minol) menjadi primadona dan minuman khas Indonesia? Dilansir dari Jeda.id, data menunjukkan 38,7% pengkonsumsi minol lebih memilih minol lokal. Minol lokal ini terus dikembangkan masyarakat sebagai bagian dari budaya dan kearifan lokal.

Bicara tentang budaya dan kearifan lokal, sebenarnya ada bukti sejarah bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal pembuatan minol sejak jaman Majapahit. Ini dibuktikan dengan catatan Nagarakretagama (1365) yang ditulis pada masa keemasan Kerajaan Majapahit abad ke-14. Dalam naskah itu dikisahkan, minuman beralkohol seperti tuak nyiur, arak kilang, dan tuak rumbya menjadi hidangan utama sebuah jamuan.

Salah satunya dilakukan Sri Raja Kertanegara, raja terakhir pemimpin Singasari, kerajaan Hindu (Siwaisme)-Budha di Nusantara. Dia adalah seorang Tantrayana, yang menjalani tradisi pemujaan. Ragam ritual yang hadir pun tak lepas dari pelbagai kebiasaan seperti minuman beralkohol dan seks demi pencapaian nirwana.

Catatan sejarah ini jelas menunjukkan bahwa minol memang tak bisa lepas dari kemaksiatan. Sayangnya meskipun sudah terbukti menyesatkan peminumnya, minol lokal tetap dikembangkan secara turun temurun hingga melekat sebagai budaya dan kearifan lokal. Maka tak heran jika dalam upacara adat tertentu masyarakat ramai-ramai menenggak air "Nirwana" Ini. Sebutlah nama Ballo, minol khas Tana Toraja yang terbuat dari fermentasi getah pohon lontar. Minuman ini sering disajikan masyarakat Toraja ketika sedang mengadakan pertemuan atau menggelar ritual keagamaan.

Arak bali. Arak dibuat dari fermentasi dari sari kelapa dan buah-buahan. Arak Bali disinyalir punya kadar alkohol tinggi, yakni mencapai 30-50 persen. Minol khas bali ini disajikan pada saat upacara adat tertentu. Tapi mengkonsumsinya dimaksudkan hanya untuk keakraban saja.

Meskipun tujuan dibuat minol ini sebagai bagian dari adat dan kearifan lokal, tetapi minol tetaplah minol. Mau minol merek asing atau lokal, banyak atau sedikit jumlah konsumsinya, tak seharusnya minol ini menjadi bagian masyarakat. Sebab efek penggunaannya menjadikan seseorang bisa lupa diri, bahkan menjerumuskan masyarakat dalam tindakan kriminal dan kemaksiatan.

Disinyalir pesatnya aktivitas pembuatan minol lokal di Indonesia, tak lepas dari masa penjajahan Belanda. Belanda yang notabene masyarakatnya pengkonsumsi alkohol, tentu memiliki cara agar kebiasaan ini tetap terjaga meskipun di tanah jajahannya. Ketika bangsa Eropa datang ke Nusantara, mereka mengenalkan teknik destilasi dalam pembuatan minol. Ditambah lagi mereka memakai buah dan tanaman lokal di Nusantara sebagai bahan bakunya, sehingga makin beragamlah jenis minol lokal di Nusantara.

Selain itu dengan pemahaman kapitalisnya, Belanda memperkenalkan kepada masyarakat budaya liberal dan hedonisme, termasuk kebiasaan mengkonsumsi minol. Minol disinyalir merupakan buah dari budaya hedonis penjajahan, yang mereka paksakan masuk ke dalam urat nadi kehidupan masyarakat. Minol lokal pun menjadi gaya hidup bersenang-senang tapi dengan modal yang murah. Jelas ini akan diburu masyarakat.

Kedatangan Belanda ke Indonesia bukan berarti mereka tidak memahami budaya lokal. Mereka juga ikut mempelajari budaya lokal tanah jajahannya. Ini dimaksudkan agar Belanda bisa memberikan tindakan yang tepat bagi tanah jajahannya. Jadi mereka paham aktivitas minol lokal. Tapi kedatangan mereka malah mengubah keberadaan minol yang awalnya sebagai simbol adat, dirubah menjadi barang konsumsi sehari-hari. Sehingga minol malah beredar luas di masyarakat. Masyarakat pun dijerumuskan ke arah hedonisme, sehingga kriminal dan kemaksiatan semakin merajalela.

Itulah sebagian deskripsi sistem kapitalis yang selalu menciptakan kerusakan dan membuahkan kegagalan dalam mengurusi rakyat. Lain halnya dengan sistem Islam. Islam memperjelas hal-hal yang haq dan bathil. Meskipun budaya dan adat istiadat masyarakat melekat bak urat nadi, tapi jika budaya tersebut bertentangan dengan islam, maka jelas akan dihapuskan lalu diganti dengan kebiasaan dan budaya islam. Pun dengan kearifan lokal. Jika hal-hal yang menjadi kearifan lokal adalah budaya kufur, maka islam tidak akan membiarkan untuk melekat pada kehidupan masyarakat. Sehingga budaya kuffur tidak akan diteruskan hingga turun temurun.

Jadi apapun budaya yang melekat di masyarakat, tapi jika yang menguasainya adalah sistem rusak, maka rusaklah tantangan hidup masyarakat. Seperti halnya kapitalisme. Sistemnya saja sudah rusak, maka tak heran jika sistem ini akan melahirkan budaya dan masyarakat yang rusak pula. Seperti hedonisme, individualisme, sekuler dsb. Jelas sistem ini pada akhirnya menuai kegagalan.

Tapi lain cerita jika sistem Islam yang menguasai. Islam datang memberikan kemuliaan, menarik masyarakat dari lembah kekufuran dan menuju lembah penuh ketaqwaan kepada Allah. Dengan kondisi masyarakat semulia ini, kehadiran minol tidak akan ditoleransi apalagi dilegalisasi. Jadi, perkara minol saja sungguh membutuhkan institusi kekuasaan untuk mengentikan produksi, peredaran, maupun investasinya. Semoga umat Islam dimampukan untuk itu, insya Allah. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version