View Full Version
Selasa, 07 Sep 2021

Di Balik Istilah Akhi-akhi Trash

 

Penulis:

Keni Rahayu || Influencer Dakwah Millenial

 

PERNAH dengar istilah akhi-akhi trash? Bagus lah kalau belum pernah hehe. Tapi kalau udah pernah dan kamu setuju sama istilah itu, hmm baiknya duduk dulu sebentar kita obrolin masalah ini bersama. Sepakat? 

Akhi-akhi trash adalah sebuah gagasan diangkat oleh seorang influencer muda, yang kemarin sempat ramai karena gagasannya untuk memilih childfree. Si mbak G menyampaikan beberapa intro di instagram story-nya tentang akhi-akhi trash, kemudian direspon oleh followers-nya. Banyak followers menceritakan pengalaman mereka bersinggungan langsung dengan akhi-akhi trash. Beberapa diunggah di instagram story mbak G dan dibubuhi komentar beliau. Setelah dibahas, beberapa story disimpan di highlight (HL) instagram story. Sampai hari ini pun masih ada di HL (6/9/21), sehingga masih bisa terbaca meskipun kita tertinggal bahasan tersebut. 

Dari beliau, digambarkan bahwa akhi-akhi trash ini adalah laki-laki yang nampak alim tapi ternyata kelakuannya kayak trash (baca: sampah). Misalnya, kelihatannya aja alim, tapi ngerendahin perempuan. Faktanya aja apal Qur'an 30 juz, tapi bergaul parah sama perempuan. Bahkan beberapa followers menceritakan tentang ayahnya sendiri, katanya suka nyeramahin istri tapi dia sendiri zalim ke keluarga. Macem-macem lah. 

Yang lebih disayangkan lagi, kata si mbak, bahwa lingkungan sekitar ini gak adil. Kenapa selalu cewek yang disalahkan, padahal akhi-akhi juga kelakuannya banyak yang kek sampah. Terus, di balik itu semua ada patriarkis yang mendukung hal tersebut. Seolah laki-laki gak apa-apa salah, namanya juga pemimpin. Atau perempuan juga tetap harus manut meski pemimpinnya "begitu". Ini gagasan beliau lho ya. 

Waduh, sayang sekali mbak G bergagasan demikian. Coba kita cuplik satu-satu ya, kita cari solusi masalah ini. Apa iya akhi-akhi trash ini sebuah masalah yang kemudian diperparah dengan patriarki yang mengakar di masyarakat? Cekidot. 

Kaca mata memang menentukan sekali cara pandang kita. Dengan kaca mata hitam, kita melihat dunia jadi lebih gelap. Kaca mata plus dan minus memperlihatkan pandangan yang begini dan begitu. Sama juga dengan kehidupan ini. Kaca mata apa yang kita pakai, disitulah kita bisa menilai. 

Jika mbak G memandang akhi-akhi trash ini bagian dari permasalahan patriarki, bahkan penjajahan perempuan berkedok agama dan sebagainya saya malah melihat sebaliknya. Saya lihat akhi-akhi trash ini adalah bentuk hijrahnya sobat milenial (khususnya lelaki) yang hijrahnya masih setengah jalan. Di satu sisi ia mulai mengenal agama Tuhannya, ia jalankan. Di sisi lain, ia masih terjerembab di lumpur kotor kelamnya dunia. Jadi yang terlihat adalah lelaki berkedok agama tapi isinya "sampah". 

Saya malah memandang ini sebagai hal positif, dampak dari riuhnya aktivitas dakwah. Ternyata, dakwah ke pemuda milenial berdampak, meskipun belum kafah alias masih setengah-setengah. Tak apa, wajar. Lagian bukankah hijrah itu menjalani yang bisa diupayakan meski sebagian, daripada meninggalkan seluruhnya sama sekali dengan dalih ketidakmampuan? 

Anak kecil aja sebelum bisa lari, dia belajar jalan dulu. Iman juga begitu. Sebelum anak adam bisa taat total pada Tuhannya, ia akan menjalani sebuah proses namanya istikamah menuju totalitas ibadah, menjalankan semua aktivitas sesuai hukum syara'. Begitu. 

Kalau negatip ke Islam, apa pun faktanya pasti dipandang negatip orang emang gak pro ke ide Islam kan? Lah namanya supportnya ide feminis, balik lagi jadinya ngunggulin feminisme dan jelek-jelekin Islam. Lagian, mana ada orang sempurna di dunia ini? Gak ada. Cuma nabi Muhammad yang sempurna. Manusia pasti banyak cela, itulah mengapa ia perlu belajar mengkaji Islam secara istikamah. 

Kalau mau fair, harusnya mikirnya gini: yang kenal agama aja trash, apalagi yang enggak? Betul dong? Emang yang gak boleh trash cuma orang beragama (specificly muslim)? Yang gak bawa-bawa agama pun juga gak boleh trash lah. Hidup buat apa kalau cuma jadi trash? Ye gak? 

Apa kita jadi bisa maklum ke orang-orang yang gak bawa agama di kehidupan umum, bahwa mereka jadi boleh trash gitu? Padahal baik atau buruk itu potensi setiap manusia. Manusia alim punya potensi berbuat buruk. Manusia trash pun punya potensi berbuat baik. Itulah mengapa manusia diberi akal agar ia bisa mengupayakan setiap amalnya bernilai baik, tentunya atas standar Allah swt ya, jangan atas akal itu sendiri. Sebab salah satu kelemahan manusia adalah ketika ia menuhankan akalnya, seolah ia segalanya dan bebas berbuat apa saja. Basi. Fir'aun uda tenggelam di laut gegara mikir begituan.

Dah lah, gak saatnya rebahan. Bangun gaes. Ngaji, belajar Islam terapin kafah jangan setengah-setengah. Nanti yang jadi jelek agama Allah, padahal kita yang gak bener bawanya. Dah, yuk hijrah, yuk istikamah, yuk kafah! Wallahu a'lam bishowab.*


latestnews

View Full Version