View Full Version
Sabtu, 30 Jul 2022

Slebew Effect, Perlukah Ditakuti?

 

Oleh:

Yana Sofia || Pegiat Literasi Aceh

 

HAI Sobat! Yakin neh nggak peduli dengan fenomena CFW. Udah menular ke mana-mana neh. Dari Surabaya, Makasar, bahkan Aceh. Wah-wah! Udah kayak acara menjelang tujuh belasan aja ya. Digelar di mana-mana. Ternyata, budaya berlenggang-lenggok di jalanan ini kiranya sangat diminati remaja-remaji.

Serius neh, mau bersikap 'masa bodo'?Mendiamkan generasi kita hidup ala slebew? Ya, walo makna slebew sendiri aku masih bingung. Belum ada di KBBI soalnya. Yang jelas, jika ditelaah sih, impactnya negatif. Arahnya ke pornografi.

Lho, ko arahnya pornografi?

Gini penjelasannya, Sobat! Awal-awal sih, emang fashion, jalan lenggak-lenggok on the street. Mula-mula sih, emang ajang kongkow-kongkowan. Tapi, sadar nggak? Hal-hal yang lahirnya dari budaya hedonisme ini akan bawa generasi ke mana? ujung-ujungnya, ya, apa lagi kalo bukan liberalisme pergaulan. LGBT, aktivitas sodom, dan kehidupan liar lainnya akan semakin diberi ruang. Mereka dapat 'panggung' dengan ajang ini.

Dan apa hubungannya dengan aktivitas Slebew itu? Ya tentu saja ada dong! Istilah yang dekat maknanya dengan aktivitas maksiat ini, yakni ajang mepet-mepet dengan yang bukan mahram, adalah fakta yang tidak boleh dipisahkan dari fenomena CFW.

Cek deh, pada awalnya ngapain mereka kongkow-kongkowan? Dari zaman Nadia dan Tegar udah viral, juga. Adik-adik usia SMP, yang ngaku, lagi cari pasangan buat alai-alaian. Yang kalo diwawancarai biasanya bilang, "Baru pacaran 2 jam yang lalu. Mau nembak, tapi masih belum ketemu yang pas. Yang katanya udah punya pacar, tapi mau pacaran lagi," dsb. Bikin urut-urut dada deh, pokoknya.

Ini adik-adik masih usia sekolah, lho. Masih minta jajan ke ortu. Masih kecil sekali. Mereka terlibat hubungan yang mereka nggak ngerti. Budaya rusak ini, mendorong mereka, mengakui keberadaan mereka, mengeksiskan mereka. Sehingga mereka semakin kehilangan arah. Tak sadar yang mereka lakukan akan berpengaruh besar.

Ya, CFW adalah masalah besar bagi Indonesia. Pengakuan beberapa tokoh publik akan eksistensi CFW dan abainya negara telah memicu gelombang gerakan tiruan CFW di beberapa kota besar lainnya. CFW jadi magnet kepopuleran. Jelas, hal ini akan merekonstruksi budaya lokal. Remaja kita sedang dijejali budaya asing yang rancu, yang nantinya akan menggeser budaya asli. Muruah, adab, agama sedang dipertaruhkan.

Sampai di sini, jelas terang benderang bukan? Apa impact CFW dan hubungannya dengan aktivitas slebew. So, Citayam effect ini tak bisa dianggap sepele?

Trus kenapa kalo emang bermasalah? Harus jingkrak-jingkrak gitu? Ribut sana-sini tanpa mau mengerti dunia remaja yang sedang mencari jati dirinya?

Haish, tentu saja bukan itu maksud aku sampai titik di kalimat ini. Poin penting yang pengen aku omongin di tulisan ini adalah, kita perlu upaya untuk mmengonter dan mengahalau liberalisasi budaya ini semakin meluas. Agar tidak ada lagi Bonge, Jeje ,dan Kurma lainnya. Yang menjadi korban dunia hedon, kemudian menjadi tren kepopuleran bagi remaja kita yang latah.

Tentu saja, itu tidak pure salah mereka. Akan merepotkan sekali jika kita mencari sumber (pelaku) masalah dari fenomena ini. Lebih baik kita fokus pada bagaimana menyelamatkan generasi kita yang terpapar budaya slebew.

Sebab, jika segenap elemen masyarakat  cuma diam dan abai. Maka yang bersalah kemudian adalah mereka yang berkemampuan mencegah (elemen masyarakat tersebut), karena memilih abai. Ya, siapa pun itu. Mereka inilah yang telah memberi 'panggung' kaum slebew itu eskis.  Baik itu kaum pelangi atau kaum pelangak, pelongok. Sama! Siapa pun yang dia punya kekuatan dan suara, bertanggung jawab dalam upaya penyebaran fenomena ini.

Makanya, dari awal sekali, mari ingat-ingat lagi pesan para pendahulu kita, khususnya ulama dan habaib yang senantiasa mengingatkan bahwa menjaga generasi itu penting. Karena generasi kelak akan menjadi penerus estapet kepemimpinan. Ulama dan tengku-tengku kita senantiasa mengingatkan pentingnya orang tua menjaga anak-anak dan menyeru agar ditegakkan aktivitas dakwah. Di mana para dai adalah generasi muda yang dibina dan didik dengan pemahaman dan budaya Islam.

Lalu, apakah sudah terlambat, Sobat? Tentu saja tidak! Telah menjadi qada kauniyah, Allah menggariskan bahwa di akhir zaman kita akan melihat musibah besar dan kehancuran, di mana budaya kafir dielukan dan para pengemban dakwah dianggap hina dan tercela.

Hari ini, konser-konser dangdut dengan penyanyi dan penari berpakaian kurang bahan itu difasilitasi. Menari on the street di apresiasi. Sedangkan kajian Islam, baik itu skala besar atau kecil malah dihalangi.

Ini fakta, Sobat! Betapa peliknya kondisi umat, jika membiarkan pemimpin pilih kasih, tak adil, atau malah terkesan diskriminasi. Khususnya terhadap Islam dan umatnya.  Semua problem ini menjadi tumpang tindih, melahirkan berbagai kerusakan yang tak terhindarkan. Masalah ini menjadi satu kesatuan yang menimpa negeri kita tercinta.

Dan hal ini terjadi karena orang-orang yang memiliki kuasa, telah mengabaikan Islam sebagai solusi. Slebew effect ini adalah buah dari ketidakpedulian penguasa dan diamnya para punggawa. Dan lebih dari itu, ini semua terjadi karena umat Islam tidak menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan dalam kehidupan. Saat Allah hanya dianggap sebatas Tuhan untuk disembah saat salat saja, namun dalam kehidupan Islam Kaffah ditinggalkan. Maka kehancuranlah yang terjadi.  Nah, gimana? Masih mau tetap diam dan nggak peduli?

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda:

رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ


Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka ingkarilah dengan hatinya. Ini menunjukkan serendah-rendahnya iman” (HR. Muslim no. 49).

Wallahu 'alam.*


latestnews

View Full Version