View Full Version
Ahad, 09 Oct 2022

Cerpen: Sepercik Embun Subuh

 

Oleh: Choirin Fitri

Udara dingin menyergap. Tulang tubuh serasa remuk redam. Ditambah dingin yang menusuk semakin membuat raga kian limbung. Raga seorang pemuda tampan dengan baju yang kusut masai. Amat kontras dengan tampangnya.

Pemuda itu meringkuk di sudut sebuah musala kecil. Musala di sudut kampung terpencil. Musala sederhana yang sangat jauh dari kata megah.

"Hai, anak muda, kenapa kau tidur di sini?" Seorang laki-laki paruh baya berjongkok menggoyangkan tubuh pemuda itu.

Tak ada jawaban. Laki-laki paruh baya itu tak punya banyak waktu. Ia harus segera membuka pintu musala dan menyalakan speaker untuk mengumandangkan azan. Waktu subuh sudah tiba.

Lamat-lamat pemuda yang masih meringkuk mendekap lututnya mendengar lantunan azan. Suara si bapak tua menggedor-gedor kesadarannya. Ada semacam rasa yang entah disebut apa melesat masuk ke dalam sanubarinya. Hanya kata damai yang mungkin bisa mewakili hati si pemuda.

Bapak tua mematikan mic. Lalu, ia menengadahkan tangannya. Lisannya merapal doa setelah azan. Biasanya ia akan mengumandangkan pujian pamungkas di waktu subuh, "Miftahul jannah, laailaahaillallah. Kunci suargo,  laailaahaillallah. Laailaahaillallah, Muhammad Rasulullah." Kali ini, ia mengurungkan niatnya.

Bapak tua berbaju koko putih dengan songkok hitam di kepalanya itu kembali menghampiri si pemuda. Kali ini ia membawa setengah gayung air. Ia ambil sedikit air di tangan kanan, lalu memercikkannya di muka sang pemuda.

"Bangun! Sudah waktunya salat subuh. Kalau ada warga tahu kamu meringkuk di sini dengan pakaian seperti itu, bakal dikira maling dan digebuki warga lho! Cepat sana bersihkan dirimu! Bapak ambilkan baju anak bapak. Sepertinya cocok untuk kamu."

Deretan kalimat perintah tanpa putus, lugas, dan tegas membuat sang pemuda urung melanjutkan tidurnya. Ia bangun dengan merentangkan tubuhnya ke segala arah. Bekas gebukan semalam masih terasa nyeri di badannya.

"Kamu bisa mandi dan ganti baju di gubuk itu. Itu rumah saya. Kalau pun kamu maling, enggak ada yang berharga. Saya mau salat sunnah dulu."

Pemuda itu menundukkan kepalanya sekejap. Ia berlalu sambil menikmati berbagai sendinya yang terasa patah satu per satu. Ia memasuki rumah mungil yang tak jauh dari musala. Langsung tampak kamar mandi yang terbuka. Ada setelan baju di meja samping pintunya.

15 menit berlalu. Embun subuh mulai tampak bagai kemilau mutiara-mutiara alam. Cantik, elok, dan keindahan yang tak terkatakan.

Pemuda itu sudah bersih. Badannya lebih segar. Meski tulang-tulangnya masih terasa amat sakit. Ia mengedarkan pandangannya, tak ditemukan si pemilik rumah.

"Apa belum selesai salatnya? Lama amat," gumam si pemuda sembari berjalan ke luar rumah.

"Masuk dulu, sini minum kopi! Itu ada singkong rebus sisa semalam." Pak tua menepuk pundak si pemuda.

Pemuda yang kini mengenakan kaos hitam berjingkat. Ia benar-benar kaget sang empunya rumah telah ada di belakangnya. Ia pun mengekor dan duduk di seberang bapak tua.

"Siapa namamu?"

"Saya Rendy, Pak...."

"Panggil saja Pak Tua. Orang sini memanggil saya begitu. Tak penting kamu tahu nama saya juga kan?"

Rendy hanya mengangguk. Jujur perutnya terus bernyanyi. Ia segera meneguk hingga tandas segelas kopi. Lalu, sepiring singkong rebus juga berhasil mendiamkan nyanyian di perutnya.

"Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu meringkuk di musala dengan pakaian seperti orang yang baru dikeroyok massa? Kamu benar-benar maling? Pencuri?"

Rendy buru-buru menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar bukan maling seperti yang dituduhkan. Ia hanya pemuda yang tersesat.

"Saya bukan maling, Pak. Saya hanya...."

"Pak Tua ada yang meninggal. Kita harus segera menggali kuburan." Suara menggelegar dari luar rumah membuyarkan cerita yang ingin disampaikan Rendy.

"Iya, iya, aku ambil cangkul dulu," sahut Pak Tua berjalan ke belakang rumah.

"Kamu istirahat saja di sini, kalau mau. Assalamualaikum!"

Pak Tua itu pamit. Rendy tercekat. Ia ingin membalas salam yang diucapkan Pak Tua, sayang nyalinya menciut. Kata-kata papanya semalam terngiang begitu tajam.

"Berani-beraninya kamu pindah agama menjadi seorang muslim. Bukannya kamu tahu agama Islam itu agama teroris? Agama yang bakal membuat hidup kamu sengsara."

"Papa tak sudi mewariskan harta Papa padamu jika kamu masih belum mau kembali ke agama kita. Bahkan, papa lebih rela mencoret namamu dari keluarga kita meski kamu anak semata wayang papa. Paham?"

Kalimat-kalimat itu terngiang beserta rasa nyeri karena gebukan tongkat baseball yang diayunkan seiring ancaman sang papa. Seorang laki-laki kaya raya, pemilik beberapa perusahaan jasa tour and travel.

Rendy memejamkan mata. Untung saja semalam ia berhasil melarikan diri. Nahas, motor yang dikendarainya kehabisan bensin. Ia pun harus meninggalkan motornya di tengah jalan raya dan lari hingga dia kini berada di sebuah rumah tua.

Rendy merebahkan badannya di kursi panjang. Rasa kantuk datang menyergap. Ia ingin kembali terlelap.

Entah berapa lama pemuda itu tidur. Tahu-tahu sinar matahari sudah menerobos rumah semi permanen. Suara azan dari Pak Tua juga kembali terngiang.

Rendy bergegas ke kamar mandi. Kali ini ia tak mau ketinggalan jemaah salat seperti pagi tadi. Sayang perutnya tak bisa diajak kompromi. Saat iqomah berkumandang, ia masih terdiam di kamar mandi.

Pak Tua masuk rumah. Tak didapatinya pemuda yang ditolongnya itu. Padahal, ia sudah membawa dua bungkus nasi pemberian warga.

"Aku kira kamu sudah pergi dari rumah ini," ucap Pak Tua saat melihat Rendy keluar dari kamar mandi.

"Apa Bapak mengusir saya?"

"Tidak begitu. Sudah makan dulu! Bicaranya nanti, Bapak lapar."

Pak Tua menyodorkan sebungkus nasi. Rendy membukanya. Ia terbelalak. Nasi jagung lengkap dengan sayur dan lauk yang ia tak tahu namanya.

"Kenapa? Kamu belum pernah makan yang seperti itu?"

Raut wajah Rendy mudah ditebak. Ia menggelengkan kepala.

"Sini kalau kamu enggak mau!" Pak Tua menarik bungkus nasi yang ada di depan Rendy.

Rendy menahannya. Ia langsung melahap makanan seperti orang kelaparan. Kata enak berulang kali meluncur dari bibirnya.

Selepas bersendawa dua laki-laki berbeda usia itu tertawa terbahak-bahak. Mereka pun menutup acara makan siang dengan air putih.

"Pak, ajarkan cara wudu dan salat pada saya! Saya seorang mualaf. Baru beberapa hari ini saya masuk Islam." (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version