View Full Version
Sabtu, 23 Sep 2023

Jangan Remehkan Hutang!

 

Oleh: Aily Natasya

Ada kalanya kita ada di posisi yang mengharuskan untuk berhutang. Misalnya, harus dioperasi secepat mungkin, tapi biayanya kurang, atau kena musibah lain yang mengharuskan kita berhutang. Nggak pa-pa. Hutang itu boleh. Cuman, yang mau kita bahas di sini adalah orang yang berhutang padahal keperluannya nggak penting-penting amat. Contoh, pengen beli baju yang harganya lumayan mahal tapi uangnya kurang, jadi minjem, atau mau liburan ke luar negeri tapi pakai hutang, dan hal temeh lainnya. Belum lagi kalau bayar hutangnya ditunda-tunda mulu. Padahal udah gajian, udah ada uangnya, nggak lagi dipakai untuk keperluan yang urgent, tapi tetap aja bayarnya pakai nanti-nanti. Padahal kita tidak pernah tahu kalau-kalau orang yang kita menghutangkan uangnya ke kita itu sedang kesusahan tapi segan menagih atau bahkan takut karena yang pinjam uang lebih ganas daripada yang punya uang.

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata (yang artinya): “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dengan cara berhutang. Dan beliau menjaminkan baju besinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Lihat Fathul Baari, 5/53)

Untuk hadits ini, Ibnu Munir berkata, “Dari hadits ini kita bisa menarik kesimpulan, seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai uang niscaya beliau tidak akan menunda-nunda (pembayarannya). Begitu juga dengan harga makanan, seandainya beliau mempunyai uang, tentu tidak akan menanggung hutang. Karena beliau telah termasyhur dengan akhlaknya yang terpuji, yaitu akan segera mengeluarkan sesuatu yang mesti dikeluarkan.”

Jangan remehkan walau sedikit karena sedikit-sedikit lama-lama numpuk juga jadi sebukit. Awalnya pinjam dulu seratus ribu, lama-lama jadi seratus juta karena bersamaan dengan menunda bayar lunasan orang ini pun menambah hutangnya lagi dari orang lain. Yang sedikit saja ditunda mulu, apalagi pas udah numpuk sebukit, entah kapan, deh, itu bayarnya. Apalagi kalau konsep hutannya itu gali lubang tutup lubang, duh, ruwet juga, ya. Jangan sampai, deh, kalau sampai meninggal pun hutangnya belum dilunasi juga. Nanti, kan, jadi nggak cuman di dunia aja ribetnya, tapi di akhirat juga, gara-gara hutang. Na’udzubillah.

‘“Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.’ Para sahabat bertanya, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawanb, ‘itulah hutang!’ (HR. Ahmad [4/146], At-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir [1/59], dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [2420]).

Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan, “Karena hutang itu menjadi teror bagi sang penghutang di siang hari. Dan menjadi kegelisahan baginya di malam hari. Maka seorang hamba jika dia mampu untuk tidak berhutang, maka janganlah dia meneror dirinya sendiri. Hadits ini juga berisi larangan bermudah-mudahan untuk berhutang dan menjelaskan kerusakan dari mudah berhutang, yaitu dalam bentuk rasa takut. Karena Allah jadikan ada hak bagi pemilik harta (untuk menagih hartanya).” (At-Tanwir Syarhu Al-Jami’ Ash Shaghir, 11: 92).

Dan teruntuk orang yang menghutangkan saudaranya lalu ia ikhlaskan begitu saja, maka simak hadits ini, “Tidaklah seorang hamba muslim melunasi hutang saudaranya, kecuali Allah akan melepaskan tanggungannya pada hari kiamat,” (HR. Ad-Daruquthni). Ini hadits tidak untuk orang yang meremehkan berhutang, ya. Jangan mentang-mentang ada hadits ini kita malah jadi ogah-ogahan. Karena mau mengikhlaskan hutang tersebut atau tidak itu hak yang menghutangkan. Jadi, kalau orang yang kita pinjami uangnya ini mau mengikhlaskan uang yang dipinjam, alhamdulillah. Tapi kalau nggak, ya, nggak masalah juga karena itu hak mereka. Dan yang berhutang harus tahu diri dan takut kepada Allah dengan lekas-lekas dan mengusahakan mengembalikan uang yang ia pinjam. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version