View Full Version
Senin, 11 Jan 2021

Bapak Menolak Menikahkan Putrinya untuk Dipoligami, Bolehkah Mencari Wali Guru Ngaji?

Oleh: Badrul Tamam

GAl-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam.  Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Seorang gadis dilamar untuk dipoligami. Ingin dijadikan istri kedua. Calonnya telah beristri dan memiliki dua orang anak. Wanita tadi sudah sangat mantap dengan pilihannya. Dia yakin, calonnya tadi sangat sholeh sehingga bisa memperbaiki dunia, agama, dan akhiratnya.

Masalahnya, orang tua wanita tadi –menurut gadis tadi- tidak setuju kalau anaknya di poligami. Lebih-lebih, laki-laki tadi telah memiliki 2 orang anak. Jika bapaknya menolak untuk menikahkannya, bolehkah ia mengambil wali ustadz yang membinanya atau imam masjid di tempat tinggalnya?

Apabila gadis tadi ridha kepada agama dan akhlaknya serta sangat suka kepadanya, hendaknya ia menyuruh laki-laki tadi mendatangi orang tuanya. Tentu harus ada muqoddimah darinya ke orang tuanya, ia sampaikan kelebihan-kelebihannya. Sampaikan ke orang tua, dirinya sangat suka kepadanya. Jika orang tuanya setuju dan mau menerima, maka Al-Hamdulillah. Jika ia menolak dengan argumentasi yang masuk akal maka gadis tadi tidak boleh mencari wali lain; seperti ke ustadz pembimbingnya atau imam masjid di tempat tinggalnya. Karena nikah tidak sah kecuali dengan wali.

Bersumber dari Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

لَا نِكَاحَ إِلّا بِوَلِيٍّ

“Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Abbas. Syaikh Al-Albani menyatakan keshahihannya)

Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيِرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

“Siapa saja wanita yang dinikahi dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, maka pernikahannya batil, maka pernikahannya batil.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani Menyatakan keshahihannya)

Ini berbeda jika dia menghalangi pernikahan. Sementara alasannya tidak syar’i dan tidak masuk akal. Kemudian tetap tidak mau menikahkan. Maka perwalian bisa berpindah kepada urutan terdekat setelah bapak. Seperti kakek, saudara kandung, paman, keponakan saudara laki-laki, dan seterusnya. Jika tidak ada seorangpun dari mereka atau mereka menolak menikahkan wanita tadi, maka hakim muslim bisa menjadi wali nikahnya; jika ada. Jika tidak ada hakim muslim, maka imam masjid dan tokoh kaum muslimin bisa menjadi walinya,

Namun, alasan wali menolak untuk menikahkan karena calonnya sudah beristri dan punya anak tidak termasuk orang yang menghalangi menikah apabila ia melihat itu tidak cocok bagi putrinya, khawatir diperlakukan tidak adil, atau khawatir muncul problem antara putrinya dengan istri pertama suaminya. Contoh kasus semacam ini dalam poligami sangat banyak yang akhirnya berujung perceraian.

Seorang wali wajib memperhatikan kemaslahatan orang yang ada di bawah perwaliannya. Umumnya seorang wali (orang tua) lebih bisa berpikir jernih dan bersikap arif dalam menentukan perkawinan anaknya. Karenanya, Syariat memberikan hak yang agung ini kepadanya.

Diriwayatkan dari Buraidah, ia berkata: Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'Anhumai pernah melawar Fathimah. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawa, “Sesungguhnya ia masih kecil.” Kemudian Ali datang melamarnya dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahkannya dengan Ali.” (HR. Al-Nasa’i dan dishahihkan Al-Albani)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melihat jauhnya jarak usia Abu Bakar dan Umar dengan Fathimah menjadi alasan. Berbeda dengan Ali, jarak usianya dengan Fathimah tidak terlapau jauh. Karena usia yang sebanding bisa membantu terciptanya keharmonisan. Dari sini, mungkin sekali lamaran orang berakhlak baik dan beragama bagus itu ditolak jika seorang wali melihat tidak ada keselarasan (kecocokan) dari sisi usia, atau khawatir anaknya ditelantarkan, atau akan diperlakukan kasar.

Bagi anak-anak wanita, jangan cepat berprasangka buruk kepada orang tua sehingga buru-buru mengambil keputusan dalam pernikahannya. Orang tua memiliki pengalaman dalam kehidupan. Asam dan garam kehidupan sudah banyak dirasakannya. Banyak peristiwa sudah disaksikannya. Sehingga ia akan lebih matang dalam mempertimbangkan dan memutuskan urusan anaknya. Dan terpenting, sesungguhnya orang tua selalu menginginkan kebaikan untuk anak-anaknya. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version