View Full Version
Selasa, 12 Mar 2013

Ustadz Ahmad Yani: Tidak Sah Menikah Beda Agama

JAKARTA (voa-islam.com) - Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu pelaksanaan dari syariat Islam, menjalankan sunnah nabi dan sebagai tahap awal pembentukan keluarga Islami untuk selanjutnya membentuk masyarakat yang Islami. Dengan demikian, pernikahan tidak semata-mata mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang wanita, tapi memiliki tujuan jangka panjang, tidak hanya di dunia ini saja, tapi sampai ke akhirat nanti.

“Karena visi besar pernikahan begitu agung, maka diperlukan lelaki dan wanita yang kelak menjadi suami dan isteri yang satu visi dengannya. Karena itu, ketika seseorang masih memiliki komitmen keislaman, rasanya tidak mungkin ia menikah dengan non muslim, sebab dalam Islam, jangankan memilih non muslim, memilih yang muslim saja harus yang shaleh atau shalehah.” Demikian dikatakan Ketua Lembaga Dakwah Khairu Ummah, Drs. H. Ahmad Yani kepada voa-islam di Jakarta.

Rasulullah saw bersabda: Wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, kemuliaannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah karena agamanya maka engkau akan beruntung.“ ( HR Bukhari dan Muslim ).

Berdasarkan hadits tersebut, faktor yang amat mendasar dalam Islam adalah aqidah atau tauhid (yakni mengakui Allah swt sebagai Tuhan, beriman dan taat kepada-Nya). Bila seseorang menikah dengan orang kafir, musyrik atau non muslim, bagaimana hal ini bisa berjalan menurut syariat Islam. Sebab, tidak mungkin ada titik temu antara akidah tauhid murni dan akidah musyrik, penyembah berhala, atau yang tidak mempercayai adanya Tuhan sama sekali. Karena itu, Allah swt tidak membenarkan adanya pernikahan antara muslim dan non muslim sehingga bila itu tetap dilakukan menjadi tidak sah.

Allah swt berfirman: “Dan, janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan, janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.“ ( QS al-Baqarah [2]: 221) .

Namun muncul pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan dibolehkannya menikah dengan wanita ahli kitab? Allah swt berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak ( pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.“ (QS al-Maidah [5]: 5).

Dikatakan Ahmad Yani, pada dasarnya laki-laki muslim memang dibolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab yang memang beriman kepada Allah swt sebagai Tuhan.  Namun, itupun harus memperhatikan syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar ia dapat menikahi. Ia harus perempuan baik-baik yang menjaga kehormatannya bukan perempuan yang memerangi dan memusuhi Islam dan tidak ada fitnah.

Dalam konteks sekarang, kata Ahmad Yani, menjadi perdebatan besar apakah orang kristen yang sekarang benar-benar ahli kitab yang tidak kafir kepada Allah swt, ataukah mereka itu memang kafir dari kalangan ahli kitab.  Maka, agar selamat dan demi kehati-hatian, lebih baik seorang Muslim tidak menikahi perempuan ahli kitab karena sulitnya untuk memenuhi syarat-syaratnya dan karena banyaknya mudarat yang akan timbul karena perkawinan beda keyakinan tersebut. Karena itu, Rasulullah saw dalam hadits di atas menekankan menikahi Muslimah saja yang baik agamanya dan shalihah.

“Karena  itu, pernikahan orang yang berbeda agama haram hukumnya dan tidak sah. Hal itu juga sesuai dengan fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional II pada 1980 yang mengharamkan pernikahan beda agama karena mafsadah (keburukan) nya lebih besar dari manfaatnya.” 

Bila orang kafir mau menikah dengan orang Islam, hendaknya didahului dengan masuk Islam terlebih dahulu, maka nikahnya sah yang memang dilakukan secara Islam, namun bila ternyata ia murtad, pernikahannya itupun menjadi batal demi hukum, sebagaimana anak yang murtad tidak mendapat hak waris dari ayah muslim yang meninggal. Begitu juga suami yang wafat otomatis pernikahannya menjadi cerai dan sang janda boleh menikah dengan lelaki lain sesudah habis masa iddahnya, meskipun suaminya tidak menceraikannya.  Wallahu a’lam bish shawab ■ desastian


latestnews

View Full Version