View Full Version
Jum'at, 07 Aug 2020

Food Estate untuk Ketahanan Pangan, Berhasilkah?

 

Oleh:  Tari Ummu Hamzah

“Jika pembangunan pangan kami dapat dikatakan mencapai keberhasilan, maka hal itu merupakan kerja raksasa dari suatu bangsa secara keseluruhan," kata Soeharto seperti dikutip dari buku Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto (2006) karya Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Adi Sage (hlm. 92).

Kutipan kalimat mantan presiden Soeharto ini bermakna bahwa, bangsa kita haruslah bergotong royong dalam membangun ketahanan pangan sendiri. Ini jelas membutuhkan banyak komponen dan peran semua pihak. Akan tetapi faktanya dari rezim ke rezim ketahanan pangan Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan. Contohnya foodstate yang digadang-gadang akan memenuhi kebutuhan dan ketahanan pangan dalam negeri, masih banyak terbengkalai.

Menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, rencana ini sudah pernah diinisiasikan mulai dari pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto (satu juta Ha tahun 1996-1997) , lalu juga di periode pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (Ketapang 100 ribu Ha). Jokowi sendiri pun sudah pernah mewacanakan pembangunan lumbung padi (rice estate) di Merauke (1,2 juta Ha) yang hingga kini tak terealisasi. Dengan pengalaman tersebut, ia mengatakan proyek lumbung pangan selalu berujung pada kegagalan. (Detikfinance.com)

Ini membuktikan bahwa pemerintah hanya membuang anggaran dan waktu saja. Sebab ini terkesan seolah pemerintah melakukan usaha pengembangan pangan tapi belum siap secara SDM. Karena pembangunan lumbung pangan atau food estate butuh banyak sekali pihak. Sayangnya pihak-pihak terkait dalam pembangunan pangan pun juga tidak memiliki SDM yang mencukupi. Wajar jika food estate mengalami kegagalan.

Beberapa pakar pangan seperti Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar dan pengamat pertanian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah, mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah mempertimbangkan pembangunan lumbung pangan. Sebab dari pada melakukan pembangunan pangan yang selalu gagal, lebih baik meningkatkan kualitas para petani, serta mengelola paham pertanian yang sudah ada. Kedua pakar tersebut senada dalam usaha peningkatan petani lokal.

Faktor kegagalan food estate lainya adalah, pemerintah hendak menjadikan sektor lumbung pangan berbasis korporasi. Sebab pemerintah telah menugaskan BUMN (PT Rajawali Nusantara Indonesia/RNI) untuk turut menggarap lumbung pangan. Ini jelas menyalahi aturan, sebab yang namanya pertanian itu dikerjakan perorangan bukan korporasi. Meskipun di dunia barat para petani menanam gandum, tetap basisnya adalah perorangan, tidak dijalanan oleh BUMN dan korporasi. Jika dalam tata kelolanya saja sudah menyalahi aturan, maka wajar jika pembangunan pangan tidak segera terlaksana dan pemerintah terkesan seolah kurang serius dan menghamburkan milyaran anggaran dalam pembangunan pangan.

Persoalan pangan memang menjadi isu yang selalu akan dibahas tiap tahunnya. Persoalan pangan, impor pangan, swasembada, hingga foodstate menjadi isu yang selalu dibahas setiap pemimpin yang berkuasa. Sebab sebagai negara agraris kerja keras pemerintah Indonesia dalam mengolah pangan jelas menjadi sorotan masyarakat. Isu ini juga dibawa-bawa ke arena panggung politik. Beragam janji yang dilontarkan para calon pemimpin pusat dan daerah, tentang ketahanan pangan. Tapi janji tinggal janji, realisasi belum terjadi.

Kekacauan demi kekacauan yang terjadi di negeri ini wajar terjadi selama demokrasi dijadikan dasar negara. Ini mungkin terdengar sangat sensitif ditelinga masyarakat awam. Sebab demokrasi yang diusung negeri ini telah dipercayai banyak masyarakat. Padahal sistem ini hanya melangsungkan kerusakan  dan menyuburkan hawa nafsu para pemimpin dan kapital. Mengapa? Sebab demokrasi itu sendiri adalah turunan dari kapitalisme. Dimana sistem ini menonjol pada sistem ekonomi kapitalis yang melahirkan korporat-korporat kapital. Jadi wajar pula jika semua sektor yang awalnya bisa dikerjakan oleh badan milik pemerintah, diambil alih oleh para korporat. Tujuan sama, hanya untuk memperkaya diri dan memenuhi hawa nafsu mereka.

Jika kapitalisme terbukti merusak semua sektor kehidupan masyarakat, maka bagaimana islam mengatur masalah pangan?  Dalam politik pertanian Islam, pertanian akan diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi. Sebab dalam pandangan Islam pertanian adalah salah satu sumber premier ekonomi. Sehingga keberlangsungannya harus dijaga ketat oleh pemerintah islam, agar tidak terjadi penimbunan dan unsur dikte dari asing dan korporasi.

Selain itu optimalisasi infrastruktur untuk pertanian juga dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Tidak sampai merusak lingkungan dan menghamburkan banyak dana. Sehingga optimalisasi lahan pertanian untuk bahan pokok bisa merata. Ini dibutuhkan ketelitian dalam memetakan potensi pertanian disemua wilayah negeri, benih terbaik, pupuk, teknologi pertanian dll. Sehingga ketersediaan pangan dan distribusinya mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang mudah dan murah. Karena pertanian dalam islam dikerjakan mandiri oleh masyarakat dan hasilnya akan dirasakan pula oleh masyarakat, tanpa adanya campur tangan asing dan korporasi.

Islam adalah agama paripurna, sehingga apapun yang menjadi persoalan ummat manusia bisa diselesaikan dengan tuntas oleh Islam. Selain itu keberpihakan islam terhadap masyarakat juga sangat besar. Wallahu a'lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version