View Full Version
Jum'at, 15 Oct 2010

Benarkah Ibu yang Meninggal Saat Melahirkan Diampuni Segala Dosanya?

Oleh: Badrul Tamam

Sebuah pertanyaan unik yang kami dapatkan dalam situs www.almeshkat.net tentang keutamaan bagi wanita saat melahirkan. Keyakinan ini sering didengung-dengungkan oleh para penceramah saat menjelaskan keutamaan mengandung dan melahirkan bagi seorang wanita. Yaitu seorang ibu yang meninggal dunia saat melahirkan akan diampuni segala dosa-dosanya laksana bayi yang baru dilahirkan dan kuburnya nanti akan ditempatkan di taman-taman surga. Berikut ini kami translate ulasan Syaikh Abdurrahman al-Sahim ketika menjawab pertanyaan serupa.

Menurut Syaikh Abdurrahman Al-Sahim pernyataan bahwa seorang wanita ketika melahirkan maka dosa-dosanya akan terampuni tidak memiliki landasan hadits yang shahih. Sedangkan hadits yang ada menyebutkan, “Tidakkah salah seorang kalian ridla apabila dia hamil dari suaminya dan suaminya ridla terhadapnya, maka dia mendapatkan seperti pahala orang berpuasa dan berperang di jalan Allah 'Azza wa Jalla. Apabila dia dicerai maka penduduk langit dan bumi tidak tahu apa yang disembunyikan untuknya dari (nikmat-nikmat) yang menyejukkan mata. Apabila melahirkan maka tidaklah keluar dari susunya satu teguk dan tidaklah payudaranya dihisap satu kali hisapan kecuali baginya pada setiap tegukan dan setiap hisapan dihitung satu kebajikan. Dan apabila dia terus terjaga di malam hari maka dia mendapatkan pahala seperti membebaskan 70 budak yang dimerdekakan di jalan Allah. Tahukan kalian untuk siapa semua ini? yaitu untuk wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, shalihat, dan taat pada suaminya yang mereka itu tidak mengufuri kebaikan suaminya.” Hadits ini diriwayatkan al-Thabrani dalam al-Ausath, Ibn al-Jauzi dalam Al-Maudhu’at, lalu beliau, “Abu Hatim bin Hibban berkata, ‘Amru bin Sa’id yang meriwayatkan hadits maudhu’ ini dari Anas tidak boleh disebutkan di kitab-kitab kecuali untuk menguji para ahli’.”

Syaikh Al-Albani mengomentari hadits ini: Maudhu’. Yakni hadits itu didustakan atas nama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang tidak boleh menukil dan menyebarkannya di tengah-tengah manusia kecuali untuk menjelaskan dan memperingatkan (untuk menolaknya).

Ibn al-Jauzi rahimahullaah juga meriwayatkan hadits lain dalam al-Maudhu’at,

“Apabila seorang wanita hamil, maka baginya pahala orang puasa, shalat, mukhbit (tunduk patuh), dan mujahid fi sabilillah. Apabila dia dicerai, maka tak seorangpun makhluk yang tahu pahala yang didapatkannya. Dan apabila dia melahirkan, maka baginya pada setiap gerakan pahala membebaskan budak.”

Ibn al-Jauzia berkata, “Abu hatim berkata: Hadits ini tidak memiliki asal. Dan al-Hasan bin Muhammad suka meriwayatkan hadits-hadits maudhu’. Tidak boleh berhujjah dengannya. Dan Abu Ahmad berkata; semua hadits-haditsnya munkar.”

Syaikh Al-Albani mengomentari hadits ini sebagai hadits maudhu’.

Terdapat sebuah hadits yang menyebutkan bahwa seorang wanita yang meninggal dunia saat melahirkan akan mendapatkan pahala orang mati syahid, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

الشُّهَدَاءُ سَبْعَةٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ : الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ ، وَالْحَرِقُ شَهِيدٌ ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيد .

“Syuhada’ (orang-orang mati syahid) yang selain terbunuh di jalan Allah itu ada tujuh: Korban wabah tha’un adalah syahid, mati tenggelam adalah syahid, penderita penyakit lambung (semacam liver) adalah syahid, mati karena penyakit perut adalah syahid, korban kebakaran adalah syahid, yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid, dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud, dan al-nasai, juga Ibnu Majah. Berkata Syu’aib Al Arnauth: hadits shahih).

Ibnu Baththal berkata, “Adapun wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),” di dalamnya terdapat dua pendapat: Pertama, wanita yang meninggal karena melahirkan sedangkan anaknya yang berada di perutnya telah sempurna penciptaannya. Dikatakan juga: Apabila dia meninggal ketika nifas maka dia syahid, baik dia telah mengeluarkan anaknya lalu meninggal atau dia meninggal sementara anaknya masih berada di perutnya.

Kedua, adalah wanita yang meninggal masih perawan, sebelum ia mulai menstruasi tersentuh laki-laki. Dan pendapat pertama lebih masyhur secara bahasa.

Imam al-Qurthubi berkata dalam Al-Mufhim: Adapun ‘wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),’ dikatakan: dengan didhammahkan Jim dan dikasrahkannya, yaitu wanita yang meninggal dalam kondisi hamil, sementara anaknya masih ada di perutnya. Dikatakan: Dia adalah wanita yang meninggal dalam nifasnya dan karena nifas. Dikatakan juga: Yaitu wanita yang meninggal masih perawan dan belum dipecahkan keperawanannya. Dikatakan juga: Perawan yang belum dinikahi. Sedangkan pendapat pertama yang lebih baik dan lebih jelas. Wallahu Ta’ala a’lam.

Imam al-Nawawi berkata, “Adapun ‘wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),’ -dengan mendhammahkan jim, menfathahkan dan menkasrahkannya, sedangkan dengan  dhummah yang lebih masyhur- dikatakan: Wanita yang meninggal dalam kondisi hamil bersama anaknya yang masih di perutnya. Dikatakan juga: Dia adalah wanita perawan, sedangkan yang shahih adalah yang pertama.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa wanita yang bersabar dan berharap pahala saat mengalami sakitnya melahirkan akan mendapat pahala. Dan sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya kesabaran . .

Ibnu Hajar berkata, “Adapun ‘wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),’ –dengan mndhammahkan jim dan mensukunkan mim, terkadang huruf jim difathahkan dan dikasrahkan-, adalah wanita-wanita yang nifas; Dan dikatakan: Wanita yang anaknya meninggal di perutnya lalu ibunya ikut meninggal karena sebab itu… dikatakan: Wanita yang meninggal masih perawan. Dan pendapat pertama yang paling masyhur.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa wanita yang bersabar dan berharap pahala saat mengalami sakitnya melahirkan akan mendapat pahala. Dan sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya kesabaran sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Al-Zumar: 10) Wallahu Ta’ala A’lam. . . .

[PurWD/voa-islam.com]

Sumber: www.almeshkat.net


latestnews

View Full Version