View Full Version
Rabu, 04 Feb 2015

Syarat Amal Ibadah Dinilai Shalih Sehingga Diterima Allah

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Ibadah seorang muslim tidak akan diterima oleh Allah sehingga tegak dua syarat pokok di dalamnya. Pertama, ikhlas niat untuk Allah Ta’ala semata. Yaitu kehendak hamba dalam segala semua ibadahnya baik berbentuk perkataan atau perbuatan yang dzahir maupun batin untuk mencari wajah Allah Ta’ala (kecintaan dan keridhaan Allah; pahala dari-Nya) semata. Tidak ada harapan pujian, sanjungan, dan balasan materi dari selain Allah Ta’ala.

Kedua, ibadah tersebut sesuai tuntutan syariat yang Allah kehendaki. Yaitu mengikuti cara ibadah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Tidak menyelisihi tuntunan manusia pilihan Allah ini. Ibadah tersebut bukan hasil kreasi yang diada-adakan orang; baik bentuknya, tata caranya, waktunya, tempatnya, dan selainnya. [baca: Ibadah Tidak Sesuai Sunnah Akan Tertolak]

Dalil yang menerangkannya cukup banyak, di antaranya:

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110) Maksudnya hendaknya beramal dengan ikhlas untuk Allah dan benar sesuai dengan syariat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Keduanya merupakan rukun amal yang diterima, yaitu ikhlas dan benar.

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat tersebut, “(Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya), maksudnya: pahala dan balasan baik dari-Nya. (maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih), maksudnya: amal yang sesuai syariat Allah. (dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya), dan yang dikehendaki dengan amal itu adalah wajah Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Beliau Rahimahullah melanjutkan,

وهذان ركنا العمل المتقبل لابد أن يكون خالصا لله صوابا على شريعة رسول الله صلى الله عليه وسلم

Kedua hal ini adalah rukun amal yang diterima, yaitu haruslah amal itu ikhlas untuk Allah, benar sesuai syariat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.“ (lihat Tafisr Al-Qur'an al-‘Adzim, Ibnu Katsir dalam tafsir ayat tersebut)

. . . hendaknya beramal dengan ikhlas untuk Allah dan benar sesuai dengan syariat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Keduanya merupakan rukun amal yang diterima, yaitu ikhlas dan benar. . .

Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam I’lam al-Muwaqi’in membagi amal hamba menjadi 4 bagian. Dari yang empat itu hanya satu diterima, sedangkan yang tiga tertolak. Amal yang diterima, menurut beliau, adalah amal yang dikerjakan secara ikhlas karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sementara tiga yang tertolak adalah amal yang kehilangan dua sifat di atas atau salah satunya. Kemudian beliau menyitir firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

"(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. Al-Mulk: 2)

Giliran perkataan Al-Fudhail bin ‘Iyadh yang beliau nukil untuk menjelaskannya, “dia adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar.” Kemudian beliau ditanya tentang maknanya, beliau menjawab;

 

إِنَّ الْعَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ ، وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا ، وَالْخَالِصُ إِذَا كَانَ لِلَّهِ ، وَالصَّوَابُ : إِذَا كَانَ عَلَى السُّنَّةِ

“Sesungguhnya, apabila sebuah amal itu ikhlas namun tidak benar, niscaya tidak akan diterima. Apabila benar namun tidak ikhlas juga tidak diterima, sehingga amal itu ikkhlas dan benar. Ikhlas adalah amal itu untuk Allah. sedangkan benar adalah amal itu sesuai sunnah.” Kemudian Al-Qadhi ‘Iyadh membaca firman Allah QS. Al-Kahfi: 110.

Sesungguhnya amal yang maqbul (diterima) adalah yang dikerjakan secara ikhlas dan sesuai sunnah. Amal itulah yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Selain itu, amal tersebut tidak disukai Allah Ta’ala. Bahkan Allah membenci amal tersebut dan mencela pelakunya.

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata, "beramal tanpa ikhlas dan mengikuti Sunnah laksana musafir yang memenuhi tempat minumnya dengan pasir, sangat memberatkannya dan tidak memberinya manfaat." Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version