View Full Version
Kamis, 12 Jan 2012

SBY : Sufisme bisa jaga kestabilan bernegara, benarkah?

Kamis, 12 Januari 2012 16:53:51

JAKARTA (Arrahmah.com) – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat terkesan terhadap kejernihan dan keteduhan berpikir, serta kesediaan kaum tarikat untuk terlibat mengatasi persoalan bangsa. “Jika pikiran, komitmen, dan tindakan seperti itu juga dimiliki segenap komponen bangsa, insya Allah, negeri kita akan semakin maju,” kata Presiden Yudhoyono dalam sambutan pembuka Muktamar XI Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah (Jatman) di Pondok Pesantren Al Munawwariyyah, Desa Sudimoro, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Rabu, 11 Januari 2012.

Muktamar bertema “Dengan Thariqah Kita Perkokoh Keberadaan Umat dan Bangsa untuk Perdamaian dan Kesejahteraan Dunia” itu akan berlangsung hingga Sabtu, 14 Januari.

Dalam acara itu, SBY didampingi antara lain oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Djoko Suyanto, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Panglima TNI Laksamana Agus Soehartono, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Timur Pradopo.

SBY berpendapat bahwa kaum tarikat menjalankan tradisi, pendekatan, dakwah, dan perilaku sufi dengan teduh, jernih, substantif, mendidik, dan tanpa kekerasan. Jalan seperti itu, kata Presiden, merupakan pilihan paling tepat dan mampu meningkatkan pembangunan bangsa menuju Indonesia yang makin maju, adil, dan sejahtera.

Pendekatan sufisme oleh kaum tarikat terbukti mampu ikut menjaga kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan ini juga dirasa tepat untuk mengatasi berbagai perselisihan, konflik, dan bahkan benturan dalam kehidupan bangsa dan negara.

“Indonesia adalah bangsa yang amat majemuk, kehendak dan aspirasinya amat banyak serta beragam. Terlebih saat ini dalam era demokrasi, kekebasan—terkadang jadi kebebasan yang kebablasan—dan keterbukaan. Akibatnya tuntutan masyarakat kita amat dinamis. Benturan dan kekerasan bisa terjadi setiap saat. Namun perbedaan harus kita kelola dengan arif, bijak, dan tepat. Tiap pelanggaran hukum harus ditindak tegas,” SBY menegaskan.

Sebelumnya, Rais Aam Jatman Habib M. Luthfi Ali dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menegaskan kesiapan dan kesetiaan kaum nahdliyin untuk tetap mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Habib Luthfi mengatakan, pilihan tema muktamar ini berasal dari Presiden Yudhoyono.

Said Aqil mengatakan, banyak kemajuan yang dicapai oleh pemerintahan SBY dan Boediono, terutama kemajuan di bidang ekonomi. Mengenai kelemahan-kelemahan yang ada, harusnya disikapi oleh semua komponen bangsa dengan sikap optimistis. “Jangan kita hanya bisa mengkritik dan mencela, terus bersikap pesimistis. Nahdlatul Ulama siap berkontribusi dengan sikap yang selalu optimistis,” kata Said seperti dilansir tempo.co.

Suffiyah Dalam Timbangan

Tasawuf atau sufisme, selama ini banyak dipahami sebagai ajaran yang mengambarkan kesederhanaan, kezuhudan ataupun kehidupan yang nyaris tak tersentuh ‘peradaban’. Menilik sejarahnya, nama sufi sebenarnya nisbat dari sekelompok manusia yang beribadah secara berlebihan, dengan berbagai tata cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah.

Tasawuf  diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Penganutnya disebut Shufi  selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, dan jamaknya adalah Sufiyyah . Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di Zaman Rasulullah SAW, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5)

Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullah Saw sendiri. Beliau Saw, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah SWT melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Saw dengan membawa ilmu syariat. Ketika ilmu itu telah mantap, turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Saw pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib Ra, dan Al-Hasan Al-Bashri Rhm menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal.7-8)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami Rhm  berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah r. Dengan kedustaan, ia  menuduh bahwa beliau r menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu. Karena Allah SWT telah memerintahkan Rasul-Nya SAW untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya:

“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah: 67)

Dari bahasan di atas, jelaslah bahwa Tasawuf bukan ajaran Rasulullah Saw dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi ThalibRa. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir Rhm  berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah SWT di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tashawwuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)

Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil Rhm berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah I di dalam memerangi Allah I dan Rasul-Nya r. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini.

Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)

Kesesatan-Kesesatan Ajaran Tasawuf

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:

1. Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah I menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah I dapat masuk ke dalam makhluk-Nya.

Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi r bahwasanya beliau bersabda: “Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.” (Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

2.  Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah SWT.
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).

3. Keyakinan kafir bahwa Allah SWT adalah makhluk dan makhluk adalah Allah SWT, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya.

Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3

4. Keyakinan bahwa tidak ada perbedaan di antara agama-agama yang ada.
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).

Jalaluddin Ar-Rumi,  berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”5

5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih.
Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi r secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau r mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).

6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat.
Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah I. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini. Mereka berdalil dengan firman Allah I dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99: yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri Rhm berkata: ‘Sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”

Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)

7. Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah SWT itu bukan karena takut dari adzab Allah SWT (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah SWT. Padahal Allah SWT berfirman:

“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (‘Ali Imran: 131)

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (‘Ali Imran: 133)

8. Dzikirnya orang-orang awam adalah Laa ilaha illallah, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah  / Allah”, / huwa (dibaca: huu)”, dan / aah” saja.
Padahal Rasulullah r bersabda:

“Sebaik-baik dzikir adalah Laa ilaha illallah.” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Ra, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).7

Syaikhul Islam t berkata: “Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha illallah adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah / Huwa, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-’Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)

9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.
Allah I dustakan mereka dalam firman-Nya:

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

10. Keyakinan bahwa Allah SWT menciptakan Nabi Muhammad SAW dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah I ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad SAW.

Padahal Allah berfirman :

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).

“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)

11. Keyakinan bahwa Allah SWT menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad r.    Padahal Allah I berfirman:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwa ajaran Tasawuf bukan dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Sehingga jelaslah  kesesatan mereka dapat tidak akan pernah menjaga kestabilan negara, terutama dari azab Allah SWT. Dan pola hidup sufiyyah yang mengajarkan kepasrahan yang salah, menyebabkan enggannya umat melakukan produktifitas. Sehingga sufiyyah bukanlah berkah bagi suatu negeri tetapi kemunduran.

                         
Wallahu a’lam bish shawab.

 (bilal/arrahmah)


latestnews

View Full Version