View Full Version
Rabu, 01 Jun 2011

Demi Tegaknya Jihad di Indonesia, Tinggalkan Praktik Ribawi!!

By: Eno Repap

Jika perihal tegaknya hukum Islam hanya dapat ditebus dengan pengorbanan jihad, maka sudah semestinya umat Islam mempersiapkannya sesuai kesanggupan masing-masing. Sejarah telah membuktikan, bahwa hanya di bawah payung syariat Islam, kemakmuran suatu bangsa akan tercapai dengan seadil-adilnya. Dulu, terakhir kali umat Islam di Spanyol dikalahkan pasukan salib, hanya karena baju besinya tergantikan pakaian sutra. Praktis, jika umat Islam telah hubud dunya (cinta dunia), Allah pun kelak melemparkan virus wahn (cinta dunia dan takut mati) ke dada umat Islam, kemudian mencabut rasa takut di ubun-ubun musuh, sehingga keterpurukanlah yang menimpa umat Islam.

Sekarang marilah kita mengoreksi hal sering dianggap sepele, namun kerap menghalangi eksistensi Khilafah, pra-jihad. Di dalam surat Al-Baqarah 279, terdengar jelas Allah dan Rasul-Nya akan memerangi orang-orang yang memakan riba. Bukan saja hanya diperangi, mereka juga kelak mendapatkan siksa yang pedih, An-Nisa’ 161.

Ketika petani menggadaikan traktornya di rentenir dan ketika pemilik warung mengadukan nasibnya di Bank, siapakah di antara kita yang rela membayar tagihan yang berlipat? Mungkin ada benarnya peminjam dapat membusakan pinjamannya melalui kegiatan usaha, tetapi siapa yang lebih untung besar daripada Bank itu sendiri. Persoalannya bukan pada kasus untung atau dan rugi, namun dampak yang ditimbulkan rupanya lebih besar dalam kehidupan sehari-hari. Inflasi tak dapat dihindarkan akibat spread(perbedaan antara bunga pinjaman) yang mempengaruhi tingkat pajak, upah buruh, biaya produksi, dan kualitas. Kelangkaan bahan pokok menjadi alternatif para penimbun yang diproyeksikan jatuh tempo. Praktis, Bank turut menjadi acuan harga kebutuhan di kalangan pedagang. Akhirnya pasar yang belum jenuh terjerat pengalihan harta kepada yang kaya. Pendek kata, motto yang disematkan dalam jatidiri Bank adalah: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk Bank, saja.

John Perkins, mendefinisikan perbankan merupakan mekanisme operasi para pembantai ekonomi. Parkins mengatakan, itu terjadi sejak dekade 60an, tepatnya 1986. Dia bertutur, “Kami, para penjagal ekonomi, mengembangkan sebuah imperium raksasa paling besar yang mempraktikkan penipuan terhadap banyak Negara di seluruh dunia, dan merampok triliyunan Dolar dari sistem perbankan”. Pernyataan senada juga dilantunkan Thomas Jefferson, di mana para tokoh Yahudi selalu menutupinya. Menurutnya, institusi perbankan lebih berbahaya dari tentara kolonial US group. “Seandainya saja setiap pemerintahan mengizinkan bank-bank swasta mengendalikan perputaran mata uang, melalui politik inflasi dan deflasi, maka yang terjadi adalah perebutan kekayaan rakyat sedemikian rupa. Sehingga ketika anak-anak Negeri bangun di suatu pagi hari, mereka tidak lagi memiliki harta dan rumah tinggal di Negeri yang dibangun oleh Bapak-bapak mereka”.

Fenomena di atas ternyata pernah dialami bangsa Indonesia pada tahun 1997, di mana krisis moneter memberi arti lain bagi spekulan Yahudi terkhusus George Soros. Jerat ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1997 merupakan buah perpanjangan tangan dunia perbankan – yang tidak lebih dari kontrol kendali pebisnis-pebisnis Yahudi dalam memuluskan rumusan butir prokolnya sebagai berikut, “Pemerintah non-Yahudi harus digiring agar mau hutang kepada kita, agar beban mereka terus meningkat. Kita harus berusaha agar bantuan (hutang) luar negeri seakan-akan bantuan dalam negeri. Agar kekayaan Negara yang hutang akan terus mengalir ke perbendaharaan kita. Kita harus mampu mengatur penimbunan kekayaan yang amat besar yang dimiliki oleh orang-orang non-Yahudi. Administrasinya harus dapat mengikis habis kekayaan itu secara berangsur-angsur”. Dilengkapi dengan bunyi kitab Talmud buatannya sendiri, “Orang Yahudi boleh mempraktikkan riba terhadap orang non-Yahudi dan menipunya”. (Talmud IV/2/70b)

Maha benar Allah yang tidak menginginkan kecacatan sedikitpun dalam Al-Qur’an sebagai petunjuk manusia yang berakal:

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (An-Nisa’ 160-161)

Cakupan riba yang kini bergejolak memang tidak sebatas pada aktivitas perbankan saja. Pada kata riba diartikan sebagai tambahan. Segala transaksi yang memuat syarat penambahan, termasuk di dalamnya unsur ketidakjelasan dan spekulatif. Seperti yang terjadi pada praktik asuransi, bursa saham, moneygame pada jaringan MLM, kredit berbunga, dsb.  Apatah kedok bank syariah semodel ‘HSBC Syariah’ tentunya kita tahu keuntungannya akan tersedot ke mana. Tidak maksimalnya penerapan sistem perbankan syariah di Indonesia bukan sebatas polesan SDM yang diciduk dari kalangan ekonomi kapitalis, karena sebenarnya dibatasi juga pada UU. No. 10 th. 1998 mengenai perbankan. Untuk itu ekonomi Islam di suatu Negara tidak akan pernah berjalan kaffah tanpa adanya payung hukum seperti yang disebutkan di awal.

Jujur pada diri kita sendiri, seandainya konsep riba tidak dikamuflasekan pada wajib pajak, sudah barang tentu gairah masyarakat dalam berproduktifitas akan meningkat. Masyarakat yang terampil seringkali tak ingin dipersulit dengan birokrasi yang kompleks. Bukan mustahil wacana double counting dapat dihapuskan dalam paradigma masyarakat, sehingga terkikis pula pola pikir yang serba instan – yang pada hakikatnya hanya memberi peluang pada Negara-negara maju memonopoli produk bahan setengah jadi kepada Negara-negara berkembang.

Tidak diragukan lagi jika penerapan syariat Islam secara kaffah sanggup menuntaskan problematika ekonomi yang sedang melanda banyak Negara. Hal ini telah dibuktikan pada zaman Umar bin Abdul Aziz, yang sangat popular memberantas pajak(riba) kepada rakyatnya, sehingga kemakmuran yang dijanjikan Allah itu pun datang dengan sendirinya. [voa-islam.com]

*Penulis adalah Mahasiswa Perbankan Syariah (Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Husnayain Jakarta.


latestnews

View Full Version