Oleh: Adil Nugroho (Pemerhati Sosial Politik)
Ketidak berdayaan pemerintah bahkan keanehannya menyikapi kasus Tolikara semakin mengundang tanda tanya besar. Kedatangan pendeta GIDI terduga kasus pembakaran masjid dan kios-kios kaum muslimin Tolikara di Istana Negara itu semakin mengokohkan sebuah indikator bahwa GIDI tidak berdiri sendiri.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya oleh Kepala BIN Sutiyoso adanya intervensi asing dan terbukti beredarnya secara umum simbol-simbol Israel. Bukan saja Sutiyoso, nada yang sama disampaikan pula oleh Mantan Kepala Staf Umum TNI Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo, menilai kerusuhan yang meletus di Tolikara, Papua, Jumat pekan lalu, bukan masalah agama.
Menurutnya, apa yang terjadi di Tolikara persis seperti yang terjadi sebelum Timor Timur lepas dari Indonesia. Seolah-olah bahwa kasus Intoleransi Tolikara adalah pintu masuk untuk lebih mengokohkan lagi intervensi asing bisa merealisasikan disintegrasi Papua lepas dari Indonesia.
Sekalipun menurut Sri Bintang Pamungkas dalam salah satu akunnya, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Anti-Subversif PNPS 11/1963 seperti dinyatakan berlaku oleh Rezim Orde Baru Soeharto, dan sudah dicabut pada Mei 1999. Dicabut, karena memuat pasal-pasal karet yang bisa dipakai menuduh dan menghukum lawan-lawan politik Soeharto di dalam negeri secara asal-asalan.
Padahal tuduhan Subversif dengan ancaman hukuman mati itu lebih ditujukan untuk mencegah kejahatan terhadap negara atas keterlibatan asing. Beberapa kali sudah dbuat RUU Keamanan Negara; tapi belum ada yang pas betul, karena masih memuat pasal-pasal yang melanggar HAM. Meskipun, per-undang-undangan Keamanan Nasional di negara-negara lain pun banyak melanggar HAM.Masih menurut Sri Bintang Pamungkas, soal kejahatan terhadap keamanan negara sudah dimuat dalam KUHP lewat Pasal 2 104-110 tentang MAKAR; Pasal 2 111-120 tentang PENGKHIANATAN; dan Pasal 2 121-129 tentang PERJANJIAN YANG MERUGIKAN Negara. Fakta-fakta dalam aktivitas Gereja Injili Di Indonesia/GIDI di Tolikara selama seminggu sebelum dan seminggu sesudah Idul Fitri itu bisa dijerat dengan pasal 2 tentang KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA.
Seminar Internasional yang melibatkan dukungan kepada negara Yahudi Israel; sementara NKRI tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Terutama karena Israel melakukan agresi dan teror terhadap bangsa Palestina selama hampir 100 tahun, di atas tanah Palestina. Aksi sosial yang diisi dengan acara pengibaran 7.000 bendera Israel. Serta dengan mewajibkan penduduk mengecat dinding rumah-rumah mereka dengan simbol bendera Israel; serta hukuman bagi yang menolak.
Bakti Sosial dengan tujuan memboikot upacara peringatan kemerdekaan 17 Agustus. Aksi politik dengan membuat petisi untuk kemerdekaan Papua Barat yang ditandatangani oleh 100 ribu penduduk. Semuanya adalah jelas-jelas pelanggaran terhadap konstitusi dan perundang-undangan NKRI.
Tetapi sungguh ironis pendeta otak pelaku Tolikara dari GIDI yang berafiliasi Israel itu justru dipanggil ke Istana Negara sementara di saat yang sama PM Inggris datang menyerukan untuk menindak aksi terorisme yang dialamatkan kepada kaum muslimin di tengah peredaman secara masif kepada seluruh kaum muslimin atas nama perlunya membangun kerukunan antar umat beragama setelah mereka menginjak-menginjak kehormatan Islam melalui pembakaran masjid dan kios-kios kaum muslimin Tolikara. Yang terbaru yang sangat menyakitkan adalah dikeluarkannya ijin Freeport untuk melakukan eksport konsentrat. Justru dilakukan di saat rekonsiliasi persoalan Tolikara belum usai ujung penyelesaiannya.
Dimana pada saat yang hampir berbarengan sedang berlangsung hajatan besar dengan dana triliunan yang ditopang dari sumber dana ABPD Propinsi dan Kabupaten ditambah dari sponsor. Muktamar NU yang akan menentukan pimpinan tertinggi ormas islam terbesar di Indonesia itu. Antara kubu Sa'id Aqil Siradj-Musthofa Bisri dengan As'ad Ali-Hasyim Muzadi yang disinyalir dipenuhi dengan manuver persaingan penuh dengan permainan politik.
Sebuah kenyataan yang bertentangan dengan tradisi NU yang sangat berhati-hati menerima amanah kepemimpinan sebagaimana dicontohkan oleh KH As'ad Syamsul Arifin yang menolak amanah kepemimpinan karena merasa tidak layak. Hajatan besar yang diawali dengan dialog nasional difasilitasi oleh Dahlan Iskan berjudul Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan menghadirkan narasumber Menag (Lukmanul Hakim), PBNU (Sa'id Aqil Siradj) dan PP Muhammadiyah (Din Syamsuddin). Hajatan nasional besar itu beragenda utama pentingnya membangun dan memasifkan Islam Nusantara yang dianggap sebagai antitesa dari gambaran Islam Timur Tengah dan adaptif terhadap Barat untuk menjauhkan kesan phobia Islam.
Alhasil kasus Tolikara menyingkap gambaran keadaan kaum muslimin di Indonesia penuh dengan potensi tragedi. Antara pembakaran masjid dan kios-kios, upaya disintegrasi Papua melalui kasus Tolikara diback up oleh kekuatan internasional (AS, Israel dan Inggris), seruan berbagai pejabat negara tentang pentingnya membangun toleransi antar umat beragama pasca kasus Tolikara, intervensi asing (keterlibatan Israel) terhadap GIDI atas kasus Tolikara, diundangnya pendeta di istana negara, seruan PM Inggris untuk menindak para terorisme yang dialamatkan pada para mujahidin, dikeluarkannya ijin eksport konsentrat Freeport dan masifnya propaganda Islam Nusantara melalui agenda Muktamar NU sebagai ajaran Islam yang searah dan adaftif terhadap penjajahan asing.
Tidak cukupkah fakta-fakta tragedi itu untuk menggerakkan arah perjuangan yang sama untuk merumuskan kalimat yang sama siapa lawan dan siapa kawan. Wallahu a'lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]