View Full Version
Senin, 10 Aug 2015

Benarkah Ketua Umum NU dan Muhammadiyah yang Baru adalah Tokoh Liberal ?

JAKARTA (voa-islam.com) - Dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang kemarin, KH Said Aqil Siraj akhirnya kembali terpilih menjadi Ketua Umum. Prediksi banyak pihak benar bahwa dengan sistem Ahlul Halli wal Aqdi akhirnya Aqil Siraj menjadi Ketua Umum dan Rais Amnya KH Mustafa Bisri. Gus Mus kemarin mengundurkan diri dan akhirnya yang maju menjadi Rais Am adalah KH Makruf Amin.

Bagaimana NU ke depan di bawah Aqil Siraj? Bisa diprediksi tidak banyak perubahan. Dengan naiknya Aqil Siraj, kalangan muda NU yang banyak terhinggapi penyakit liberal mungkin tambah subur. Karena Said Aqil sendiri mempunyai pandangan yang liberal. Ia pernah menulis bahwa semua agama mempunyai Tuhan yang sama (pluralisme) dan juga aktif mendukung gerakan Syiah.

Kelompok NU Garis Lurus yang terdiri dari banyak kiyai Jawa Timur, mengharapkan Said Aqil segera bertobat dan tidak melanjutkan pemikiran dan geraknya mendukung aliran-aliran sesat. Mereka mengharap agar Said Aqil kembali mengikuti khittah NU KH Hasyim Asyari. Aqil Siraj lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 3 Juli 1953. Ia lulus S1 di Universitas King Abdul Aziz, jurusan Ushuluddin dan Dakwah.

Kemudian melanjutkan S2 di Universitas Umm al-Qura, jurusan Perbandingan Agama, lulus 1987 dan S3 di University of Umm al-Qura, jurusan Aqidah/ Filsafat Islam, lulus 1994. Pengalaman organisasinya dimulai dengan menjadi Sekretaris PMIIRayon Krapyak Yogyakarta (1972-1974). Kemudian pernah menjadi Katib Am PBNU (1998-1999), Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (Gandi) (1998), Penasehat PMKRI (1999-sekarang) dan Anggota Kehormatan MATAKIN (1999-2002).

Sedangkan Haedar Nashir, meski belum banyak dikenal, buku-bukunya banyak beredar di tanah air. Dalam tulisan-tulisannya Haedar banyak mengritik gerakan Islam Syariat, seperti FPI, Hizbut Tahrir, DDII dan lain-lain. Pemikiran-pemikiran Haedar berdekatan dengan pemikiran Islam Liberal. Haedar lahir di Bandung 14 Juli 1963. Sehari-hari bekerja sebagai dosen di Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Ia hijrah ke Yogyakarta ketika mengambil gelar S1 di STPMD Yogyakarta. Gelar S2 dan S3nya diselesaikan di Fisipol UGM pada bidang Sosiologi. Ia pernah menjabat sebagai Ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 1983-1986.

Di Muhammadiyah saat itu, terutama di kalangan mudanya terdapat dua arus besar. Arus yang diawaki oleh Syafii Maarif dengan gerakan liberalnya dalam Maarif Institute dan arus yang dikomandani Amien Rais dengan gerakan Islam Internasional. Maarif Institute yang sekarang dipimpin oleh Riza Fajar Ziaulhaq, adalah gerakan di Muhammadiyah yang mengarahkan Muhammadiyah ke gerakan Islam Liberal.

Terakhir mereka menulis buku tentang Fiqih Kebhinekaan. Dimana buku itu intinya mengajak kaum Muslim Indonesia untuk menerima dengan ikhlas bila dipimpin oleh kaum non Muslim

Terakhir mereka menulis buku tentang Fiqih Kebhinekaan. Dimana buku itu intinya mengajak kaum Muslim Indonesia untuk menerima dengan ikhlas bila dipimpin oleh kaum non Muslim. Mereka tidak mempermasalahkan dalam kepemimpinan soal agama. Gerakan yang kedua, dipimpin Amien Rais adalah gerakan di Muhammadiyah yang mengarahkan Muhammadiyah menjadi gerakan Islam Internasional yang bisa menjadi alternatif kebuntuan dunia Islam saat ini.

Amien dalam ceramah-ceramah dan tulisannya mengingatkan bahwa gerakan Islamofobia di dunia –juga di Indonesia yang sayangnya juga didukung sebagian kaum Muslim—selalu ingin membonsai Islam. Amien mengingatkan bahwa umat Islam harus kembali meneladani perjuangan Rasulullah saw agar Islam kembali tampil menjadi teladan di dunia ini.

Melihat dua arus utama gerakan di Muhammadiyah itu, nampaknya Haedar Nashir cenderung ke Syafii Maarif daripada Amien Rais. Mudah-mudahan ia bertobat dan segera meluruskan pemikirannya yang telah banyak bengkok. 

Nah dengan sejumlah fakta tersebut, benarkah keduanya berhaluan liberal? [Gus Nuim/sharia.co.id]


latestnews

View Full Version