View Full Version
Selasa, 11 Aug 2015

Jalan Sehat versus Jalan Sesat

Oleh: Edy Mulyadi*

Gosip tentang bakal adanya reshuffle kabinet  benar-benar menyita energi. Pokok pangkalnya adalah, Presiden Jokowi tidak kunjung melakukan hak prerogatinya yang dijamin konstitusi. Padahal, banyak pihak yang sepakat, bahwa perombakan kabinet  mutlak diperlukan. Maklum, tren ekonomi nasional terus saja terjun.

Umumnya orang sepakat, bahwa biang kerok terjungkalnya perekonomian dan kian beratnya beban rakyat adalah karena kinerja tim ekonomi yang jauh di bawah banderol. Banyak pihak pun melantukan koor, bahwa kwalitas  tim yang dikomandoi Sofyan Djalil selaku Menko Perekonomian cuma sampai tataran KW-3. Padahal beratnya persoalan ekonomi yang ada membutuhkan tim dengan kualitas ori (bukan KW-1 apalagi KW-3) yang relatif merata di masing-masing personel.

Tapi sayangnya Presiden tidak kunjung mengeksekusi kesepakatan dan harapan ini. Pertanyaan besarnya, kapan reshuffle kabinet akan dilakukan? Selain itu, pertanyaan lain yang cukup menggelitik adalah, siapakah orang-orang yang bakal didapuk mengisi tim ekonomi?

Dua garis kebijakan

Sebelum membahas siapa saja yang bakal terlempar dan masuk, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah garis kebijakan seperti apa yang bakal ditapaki pasca reshuffle? Sedikitnya ada dua jalan yang lazim dipilih setiap rezim. Yaitu, jalan neolib di satu sisi dan jalan konstitusi di sisi lain.

Seperti kita tahu, selama berpuluh tahun bandul kebijakan ekonomi Indonesia terlampau ke kanan. Para petinggi negeri dengan penuh semangat mempraktikkan garis neolib, sebuah mazhab ekonomi yang menyerahkan segala sesuatunya pada mekanisme pasar. Mereka percaya betul, ‘pasar’ akan mengatur dirinya sendiri untuk  mencapai keseimbangan. Karenanya, peran negara harus direduksi seminimal mungkin. Jika perlu, sampai pada titik nol.

Ada banyak ciri yang bisa menunjukkan bahwa suatu rezim memilih jalan neolib. Indikator itu makin kentara saat menghadapi masalah atau krisis. Beberapa di antaranya yang menonjol adalah; para pejuang neolib ini nyaris hanya mengenal tiga cara. Pertama, menjual BUMN. Kedua, menambah utang. Ketiga, mengurangi, bahkan kalau bisa mencabut, subsidi. Cara ketiga ini berdampak pada meroketnya harga berbagai barang dan jasa strategis yang menjadi hajat hidup rakyat banyak.

Selama puluhan tahun pula pemerintah telah menempuh tiga cara yang sama sekali tidak kreatif itu. Nyaris bisa dikatakan, dari satu rezim ke rezim lain, Presiden dan tim ekonominya bagai tidak mampu melihat dan menemukan jalan lain, kecuali ketiga jalan keramat tadi. Akibatnya, ekonomi tidak kunjung membaik. Pastinya, sebagian besar rakyat jusru makin termehek-mehek memikul beban hidup yang kian berat.

Memang agak mengherankan, bagaimana mungkin orang-orang pintar bergelar profesor  doktor di bidang ekonomi kok sangat hobi terjerembab di lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Mereka seperti tidak pernah bisa belajar dari pengalaman, bahwa jalan yang mereka pilih dan tempuh justru membawa bangsa ini pada kehancuran. Padahal, pepatah bijak mengatakan, keledai tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Anda paham, kan, dengan pepatah ini? Keledai sudah kadung dianggap sebagai makhluk terbodoh. Meski begitu, si makhluk paling bodoh ini pun tidak mau kejeblos di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Ulangi; untuk kedua kalinya! Lalu bagaimana mungkin para profesor  doktor ekonomi tadi bisa dan hobi berkali-berkali (ulangi; berkali-kali!) ke lubang yang sama. Apakah mereka….? Ah, tentu amat tidak elok kalau kita katakan mereka lebih bodoh daripada…

Kehendak ‘pasar’

Di Indonesia, lumayan banyak para pejuang neolib. Mereka tersebar di semua titik. Ada yang di birokrasi dengan jabatan mentereng, mulai direktur, dirjen, menteri, dan Wakil Presiden (bahkan hingga Presiden?). Beberapa nama kondang di barisan ini antara lain Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, dan Chatib Basri.

Masih di shaf neolib, mereka juga ada yang menjadi pengamat atau biasa disebut pakar ekonomi. Selain itu, ada pula yang berbagi peran membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka semua inilah yang rajin menyanyikan koor pentingnya memperhatikan dan mengakomodasi kehendak ‘pasar.’

Pasar dalam konteks ini yang dimaksud adalah lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, ADB, dan para investor, baik lokal maupun, terutama, asing. Mereka inilah yang bermain dan malang-melintang di bursa-bursa internasional, di paper market yang memperdagangkan berbagai komoditas, termasuk currency. Mereka mendikte perekonomian dunia dari pasar-pasar maya. Seolah-olah nasib perekonomian dunia berada di ujung-ujung jemari mereka yang menekan keyboard komputer dan atau laptop belaka.

Pelaku pasar yang mereka dimaksudkan pastilah bukan mbok-mbok yang berdagang sayuran di pasar-pasar tradisional. Pasar yang dimaksudkannya pasti juga bukan toko-toko kelontong yang menempati kios-kios kumuh di pasar tradisional yang sebagian besar masih becek dan pengap.

Nah, para menteri ekonomi yang diterima pasar pastilah mereka yang akan bekerja untuk menyenangkan para majikannya. Para majikan yang tidak peduli atas nasib rakyat suatu bangsa. Di kepala para majikan tadi yang ada hanyalah bagaimana caranya menggelembungkan kekayaan lewat berbagai cara. Mereka biasa berspekulasi di ‘pasar’, termasuk dengan memanipulasi ‘pasar’. (Silakan lihat lagi artikel saya berjudul Seri Reshuffle Kabinet-4: Indonesia Tidak Butuh Menteri Pro Pasar).

Pada titik ini, pilihan Jokowi menjadi sangat kritikal. Siapa pun personel yang dipilih Presiden, maka jalan itulah yang bakal ditempuh. Kalau Jokowi salah memilih, maka apa boleh buat, Indonesia akan kembali terperangkap di jalan neolib. Jalan yang berkali-kali terbukti sesat dan menyesatkan!

Lagi pula, kalau Jokowi (kembali) salah memilih orang, maka Indonesia akan menjadi negara paling aneh di kolong langit. Bayangkan, saat kampanye Capres, Jokowi rajin menabur janji bahwa dia akan mengusung Trisakti dan konsep Nawacita. Mantra yang pertama adalah warisan Soekarno. Sedangkan yang kedua, adalah konsep ekonomi konstitusi versi Jokowi dan tim suksesnya sebagai turunan dari Trisakti Soekarno. Itulah sebabnya akan jadi dagelan yang sangat tidak lucu, jika untuk kedua kalinya Jokowi mengingkari janji-janjinya, dan jsutru kembali dalam cengkeraman neolib.

Jalan kedua, adalah jalan ekonomi konstitusi. Untuk garis ini, tidak terlalu rumit. Ciri utamanya merujuk pada pasal 33 UUD 1945 sebelum berkali-kali diobrak-abrik amandemen yang ugal-ugalan.

Persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah, kebijakan ekonomi yang berpihak pada kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Untuk itu, para eksekutornya harus orang-orang yang berkompeten. Mereka harus paham masalah dan tahu solusi yang dibutuhkan. Hanya mereka yang punya kapasitas, kapabilitas, dan integritas dengan rekam jejak teruji yang boleh memangku jabatan amat penting ini.

Jadi, bingkai besarnya, Indonesia membutuhkan Presiden, menteri, dan semua pejabat publik yang mau bekerja ekstra keras untuk mewujudkan tujuan didirikannya negara Indonesia seperti tercantum dalam alinea empat Pembukaan UUD 1945. Para pejabat publik yang bertekad melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa… 

Siapakah mereka? Mosok, sih, Presiden tidak tahu? Rasanya saya tidak perlu menyebut nama, deh. Karena hal itu bagai memberi tahu Presiden, bahwa benda langit di siang hari yang terang-benderang itu bernama matahari.

Tapi baiklah, kadang-kadang mata memang menjadi silau karena cahaya teramat terangnya matahari, sehingga tidak bisa melihat matahari itu sendiri. Saya beri tahu, ya. Di jajaran ini kita bisa menemukan antara lain, Rizal Ramli, Hendri Saparini, Revrisond Baswir, dan Ichsanuddin Noorsy. Selama belasan bahkan puluhan tahun, mereka telah meninggalkan jejak keberpihakan terhadap banga dan rakyat Indonesia dengan sangat kentara. Mereka terbukti setia menempuh jalan ekonomi konstitusi, jalan yang sehat dan menyehatkan.

Ayo pak Presiden, anda mau ambil jalan mana? Jalan sehat atau jalan sesat? [syahid/voa-islam.com]

*Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS), [email protected]


latestnews

View Full Version