View Full Version
Senin, 03 Oct 2016

Pemimpin dalam Perspektif Islam

 

Untuk membangun sebuah masyarakat yang adil, damai, sejahtera dan makmur. Maka dibutuhkan pemimpin yang bijaksana, pemimpin yang benar-benar dapat merakyat, dapat bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa melihat golongan dan asal atau paham yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat tidak membutuhkan pemimpin yang hanya sibuk di balik meja, ruang pertemuan, ruang rapat. Pemimpin yang dicari dan pemimpin idaman untuk dapat menciptakan suasana yang kondusif menciptakan masyarakat yang bermoral bermartabat tinggi adalah pemimipin yang paham dan tahu dengan kondisi umat, kondisi masyarakat di lapangan dan pengalaman ini harus membumi dan harus menjadi sebuah karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. 

Kepemimpinan sejati tulus berangkat dari pemahaman kewajiban atas pelayanan dan tanggung jawab atas tindakan. Bukan hanya dipertanggungjawabkan dihadapan pemilu atau Pilpres ataupun pilkada dan  bukan sekedar untuk mempertahankan kekuasan, tetapi untuk dipertanggungjawabkan dihadapan Ilahi Rabbi sekaligus untuk mempertahankan diri dan berlindung dari siksaan api neraka. Maka kita juga dapati Umar bin Khatab yang berjalan dikegelapan malam, memeriksa seluruh rakyatnya untuk memastikan tidak ada lagi hak rakyat terhadap penguasa yang terabaikan. Kita ketahui, bagaimana beliau yang mulia dengan punggungnya sendiri memanggul gandum dan dengan tangannya sendiri memasak untuk melayani seorang wanita dan anaknya yang kelaparan, warga negaranya, tanpa menyebutkan diri beliau seorang Amirul Mukminin dihadapan wanita itu. Memimpin bukan memainkan citra dan mempertahankan citra agar tetap langgeng di kursi kekuasaan. Melayani rakyat bukan untuk memperoleh simpati, yang dengannya dijadikan saham untuk mempertahankan kekuasaan. Memimpin adalah melayani rakyat karena Allah SWT, dimana setiap hak yang ditunaikan, setiap kewajiban yang diselenggarakan, setiap sanksi yang diputuskan, setiap kebijakan yang dikeluarkan, semuanya semata-mata karena mengharap Ridlo Allah SWT.

Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil”. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [QS.al-Baqarah:30].

Islam menghendaki setiap pemimpin menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Seperti halnya Nabi Muhammad Saw yang diatuladani oleh umatnya. Tanpa akhlaknya yang luhur, Nabi Muhammad tidak akan disebut sebagai suri tauladan yang baik, sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam Al-Quran.  ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah SWT dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59). Ayat ini menunjukan ketaatan kepada ulil amri (pemimpin) harus dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT dan rasulnya.

Pemimpin dalam  Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya. Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagian setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Oleh karena itu seorang pemimpin yang mementingkan diri, kelompok, keluarga, kedudukannya dan hanya bertujuan untuk kebendaan, penumpukan harta, bukanlah kepemimpinan Islam yang sebenarnya meskipun si pemimpin tersebut beragama Islam, berlabelkan Islam. 

 

Seorang pemimpin haruslah seorang yang kuat, bukan orang yang lemah. Abu Dzar al-Ghifari menuturkan, ia pernah berkata kepada Rasul saw., “Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat aku menjadi amil?” Abu Dzar berkata: Lalu Rasul menepuk pundakku seraya bersabda:

« يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا »

Ya Abu Dzar, sesungguhnya engkau itu lemah. Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah dan pada Hari Kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya (HR Muslim).

Kuat di sini bukanlah kuat secara fisik meski kekuatan fisik juga sangat membantu seorang pemimpin untuk menunaikan tugas kepemimpinannya. Kuat di sini bermakna kuat syakhshiyah (kepribadian)-nya, yakni kuat ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya. Pola pikirnya haruslah pola pikir islami; ia memahami berbagai perkara berdasarkan akidah dan syariah Islam. Pola sikapnya juga haruslah pola sikap islami; ia menjalankan kepemimpinan dan mengelola perilakunya layaknya pemimpin sesuai dengan akidah dan syariah Islam. Kekuatan kepribadian ini harus diiringi dengan sifat takwa dan kontrol diri yang juga kuat supaya tidak kebablasan. Karena itu pemimpin harus memiliki sifat takwa baik berkaitan dengan dirinya sendiri maupun dalam ri’ayah (pemeliharaan)-nya terhadap urusan rakyatnya. Seorang pemimpin yang bertakwa kepada Allah, senantiasa ber-taqarrub kepada-Nya dan sadar senantiasa diawasi oleh Allah tentu tak akan berani menindas rakyat. Namun demikian, ketakwaan seorang pemimpin tidak seharusnya menghalangi dirinya untuk bersikap tegas dalam menegakkan kebenaran. Ini karena pemimpin harus terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Dengan demikian kuat di sini juga mencakup sikap tegas terhadap setiap bentuk kemaksiatan dengan tetap bersikap seimbang dan adil menurut tuntunan syariah terhadap pelakunya tanpa pandang bulu.

Allah SWT telah mewajibkan pemimpin untuk memerintah rakyat hanya dengan syariah-Nya saja. Allah SWT mengharamkan pemimpin untuk menerapkan hukum-hukum kufur atau yang berasal dari luar Islam. Allah SWT mensifati orang yang tidak berhukum dengan syariah-Nya sebagai kafir (QS al-Maidah: 44), zalim (QS al-Maidah: 45) atau fasik (QS al-Maidah: 47). Islam melarang kaum Muslim, termasuk pemimpin mereka, untuk mencari dan mengambil dari selain Islam atau mendatangkan sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam Islam. Semua itu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Karena itu dengan tegas Allah memerintah kita untuk menghukumi masyarakat dengan hukum Islam dan tidak mengikuti hawa nafsu manusia atau rakyat. Allah SWT berfirman:

﴿فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾

Karena itu hukumilah mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu(TQS al-Maidah [5]: 48).

            Pada hakekatnya untuk menjadi seorang pemimpin itu tidak semudah seperti membalikan telapak tangan.  Seorang pemimpin itu harus mempunyai jiwa kepemimpinan terutama dalam kepemimpinan yang bersifat umum seperti menjadi seorang pemimpin rakyat dan negara. Ketika seseorang mempunyai jiwa kepemimpinan, maka dia itu akan merasa bertanggung jawab atas apa yang telah dia lihat, dia ucapkan dan dia perbuat. Untuk mempunyai jiwa kepemimpinan seseorang harus merasakan dan mengetahui apakah dirinya itu dapat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri kepada jalan yang benar. Selain daripada itu, untuk menambahkan jiwa kepemimpinan, sesorang itu harus bergaul dengan orang yang sudah berpengalaman dalam kepemimpinan. Dan jiwa pemimpin itu didapat ketika kita dapat memberanikan diri dalam menegakan kebenaran, dan memberantas kemadharatan.

Itulah gambaran tentang  pemimpin atau penguasa terhadap rakyatnya yang telah ditentukan oleh Islam. Semua itu hanya akan bisa terwujud dalam sistem pemerintahan yag islami. Itulah Khilafah ar-Rasyidah. Sosok pemimpin yang baik saja tidak cukup. Pemimpin yang baik harus ada dalam sistem pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan yang baik tentu harus bersumber dari Zat Yang Maha Baik, Allah SWT. Ketakwaan pemimpin, kesadarannya akan tanggung jawab kepemimpinan yang akan dimintai pertangungan jawab di akhirat, hubungan penguasa dengan rakyat yang dilandasi suasana keimanan dan penerapan hukum Islam secara kaffah tentu tidak bisa terwujud tanpa sistem pemerintahan Islam. Dan pemimpin sejati yang demikian, hanya ada pada sistem Khilafah. Dalam sistem demokrasi, kita hanya akan mendapati pemimpin yang hanya mengedepankan pencitraan, tidak  lebih dari itu. Karena itu, Khilafah ar-Rasyidah yang menerapkan syariah secara total harus sesegera mungkin diwujudkan. Dan itu adalah tanggung jawab kita semua, seluruh kaum Muslim. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [syahid/voa-islam.com]

 

Penulis

 

Yuli Puji Astutik

Guru SMK Patria Babat-Lamongan


latestnews

View Full Version