View Full Version
Kamis, 06 Oct 2016

Darurat Perceraian, Waspadai Ide Gender!

Sahabat VOA-Islam...

“Sakinah, mawaddah wa rohmah”. Serangkaian doa yang terucap dari seluruh keluarga, rekan serta kerabat untuk pasangan suami istri yang baru saja mengguncangkan seisi langit dan bumi. Bukan karena kemeriahan pernikahan, atau keramaian tamu undangan. Melainkan karena sumpah yang usai diucapkan. Sumpah dari seorang lelaki kepada Allah penciptanya.

Dengan pernikahan tersebut juga telah mengubah status dua insan yang telah berikrar. Seorang laki-laki yang harus berperan sebagai suami, ayah, dan juga kepala keluarga, dan berkewajiban menafkahi istri beserta anaknya. Begitu pula seorang wanita, berubah status menjadi seorang istri, ibu, dan sekaligus pendidik generasi. Pernikahan suci yang tercipta kehidupan sakinah, mawaddah wa rohmah itulah dambaan setiap pasangan.

Menurut Anwar Saadi, selaku Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama membenarkan peningkatan tren perpisahan suami istri di negara ini. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen

Namun, saat ini realita berkata lain. Perceraian yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, dan merupakan sebuah “peristiwa yang tabu” dalam kehidupan bermasyarakat dulunya, kini menjadi konsumsi yang biasa. Tidak saja dalam kehidupan para selebritis yang terpampang di TV, namun juga ramai di pengadilan masyarakat pada umumnya.

“Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. Data tersebut, lanjutnya, juga memperlihatkan bahwa 70 persen perceraian itu karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan” (merdeka.com). BKKBN juga telah mengingatkan, bahwa tingginya angka perceraian di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik.

Menurut Anwar Saadi, selaku Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama membenarkan peningkatan tren perpisahan suami istri di negara ini. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen.

Tren perceraian yang terjadi menunjukkan bahwa, angka cerai gugat yang permohonan dilakukan oleh pihak istri lebih banyak dari angkai permohonan cerai talak / permohonan yang diajukan oleh pihak suami. Angka tersebut mencapai 70,5 persen dan angka cerai talak hanya 29,5 persen. Pemerintah telah mengatakan bahwa Indonesia sedang darurat cerai. Terjadi 40 perceraian / jam. Lantas bagiamana pemerintah mengantisipasi? Pemerintah mengantisipasi dengan mengadakan kursus pranikah. Namun, hal ini terlihat sangat kecil dampaknya untuk meghindari perceraian. Jika pemerintah mengetahui betul akar penyebab utama perceraian di negeri ini.

Disatu sisi, masyarakat dihadapkan pada kehidupan era global yang begitu canggih akses segala berita dan juga informasi. Mereka mendapati kehidupan yang mereka iniginkan dengan angan-angan yang tinggi. Ketika dihadapkan pada kehidupan rumah tangganya yang berbeda, hal ini membuat mereka kamu wanita berubah gaya hidupnya. Menunut lebih kepada pihak suami. Sedangkan, sistem ekonomi sekarang menekan pekerja bagi kaim laki-laki dan membuka kran seluas-luasnya bagi perempuan.

Hal ini mengakibatkan para perempuan harus terpaksa keluar rumah dan hidup dengan tekanan sekelilingnya. Dengan keharusan mereka keluar rumah, berdampak pada kondisi rumah tangga mereka. Anak-anak yang tidak terurus, pergaulan bebas merajalela, dengan tidak ada kontrol dari keluarga, masyarakat maupun negara. Justru negara menjadi “gerbang” utama membuka selebar-lebarnya budaya kebebasan dalam segala bidang.

Entah pendidikan, sosial masyarakat dan budaya. Bila kita cermati lebih lanjut, tingginya perceraian yang terjadi merupakan dampak dari ide kesetaraan gender yang terus digemakan oleh pengusungnya. Mereka hendak menjadikan wanita sebagai subyek utama untuk menjadi pelaku dan juga menjadikan mereka korban. Masyarakat terus dihadapkan pada permasalahan yang mengharuskan wanita keluar rumah.

Padahal, sebenarnya tingginya perceraian yang terjadi saat ini adalah karena wanita belum mampu menempatkan diri sebagai wanita yang harusnya menjadi istri, ibu, serta pendidik generasi. Memahamkan keluarga, masyarakat dan juga Negara untuk mengantisipasi bahwa masyarakat Global sedang dijerat pemahaman yang merusak sendi-sendi pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Hal ini dalam tataran dasar, belum lagi pemikiran gender juga secara cepat akan merusak tataran masyarakat dan Negara pada tataran yang lebih besar.

Kesemuanya itu hanya akan mampu jika, masyarakat memahami bagaimana Islam mengatur kehidupan rumah tangga, hingga mengatur kehidupan bernegara. Islam yang harus menjadi dasar utama membangun pondasinya, bukan yang lainnya. Allahu ‘Alam. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Rizka K. Rahmawati,Guru MA Nur Iman Mlangi Yogyakarta 


latestnews

View Full Version